Menghalalkan Segala Cara, Cabang Olahraga Senam Australia Sarat Kekerasan
Atlet senam di Australia mengalami berbagai jenis kekerasan, pelecehan seksual, dan diskriminasi yang terjadi secara sistematis selama bertahun-tahun. Atlet yang protes diancam tidak akan bisa menang kompetisi.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Para atlet senam di Australia dituntut untuk tampil prima demi memenangi berbagai perlombaan, seperti Olimpiade dan kompetisi antarnegara Persemakmuran. Akan tetapi, bukannya diberi dukungan mental dan emosional, sejumlah atlet mengungkapkan, yang mereka dapat malah berbagai jenis kekerasan, pelecehan seksual, dan diskriminasi yang terjadi secara sistematis selama bertahun-tahun.
”Masalah yang terjadi banyak sekali. Ada pelecehan seksual, pemaksaan diet, metode latihan yang menyiksa, dan ancaman kepada atlet yang hendak membocorkan perkara ini ke pihak luar,” kata Kate Jenkins, Ketua Tim Penyelidik Komisi Hak Asasi Manusia Australia untuk kasus kekerasan terhadap para atlet senam di Sydney, Senin (3/5/2021).
Olahraga senam di Australia memiliki 321.000 atlet. Sebanyak 77 persen dari jumlah ini adalah perempuan, dan 91 persen di antaranya berusia di bawah 12 tahun. Penyelidikan dimulai sejak Agustus 2020, berawal dari beberapa atlet yang memakai akun samaran di media sosial mengunggah cerita berbagai siksaan yang mereka alami, baik di pusat pelatihan nasional, negara bagian, maupun wilayah.
Salah satu atlet yang bersaksi di dalam penyelidikan Komisi HAM adalah Yasmin Collier. Ia mengaku pelatihnya kerap meminta ia menanggalkan busana, demikian pula dengan terapis yang merawatnya. Collier mengutarakan penolakannya, tetapi ia tidak berdaya melawan otoritas yang mengancam.
Kekerasan verbal, menurut para atlet yang diwawancara harian Sydney Morning Herald, menjadi makanan sehari-hari sejak mereka masih kecil. Umumnya mereka bergabung dengan klub senam ketika masih duduk di sekolah dasar dan terus berlatih untuk berkompetisi di ajang yunior hingga profesional.
”Umur saya 11 tahun dan berat saya 22 kilogram waktu saya diterima di Institut Olahraga Australia (AIS), tetapi pelatih menyebut saya gendut. Ada anak perempuan lain berumur 9 tahun dengan bobot 18 kilogram yang juga sering dipanggil gendut,” kata seorang pesenam yang menolak disebutkan namanya.
Kalimat itu terpatri di benaknya sehingga ia menghabiskan masa pertumbuhannya sibuk menjalani berbagai diet tidak sehat demi memiliki tubuh kurus sesuai standar pelatih. Ia mengungkapkan, pola makan berantakan itu membuat para pesenam tertatih-tatih mengikuti rezim latihan yang keras, tetapi pada waktu itu mereka mengira tidak ada pilihan lain.
Para pesenam juga menjalani metode pelatihan yang menyiksa, terlepas mereka sudah di ambang batas kemampuan fisik. Prinsip yang diterapkan di klub-klub senam adalah atlet harus direnggangkan badannya sampai mereka menangis, tak peduli usianya. Seorang mantan pesenam menceritakan pelatihnya menarik tubuhnya di saat pemanasan sampai ia kesakitan dan menangis.
”Salah satu pelatih menyuruh saya berjongkok di atas undakan setinggi 30 sentimeter, lalu dia duduk di atas lutut saya. Katanya untuk menguatkan otot, tetapi rasanya kaki saya seperti mau patah,” tutur pesenam lain.
Jenkins memaparkan, klub-klub senam Australia menganut prinsip menghalalkan segala cara untuk menang. Ketika seorang atlet berhasil meraih prestasi, pelatih dan persatuan olahraga sebagai sebuah lembaga menjadikan kemenangan itu sebagai pembenaran atas segala penyiksaan dan pelecehan itu. Apabila atlet protes, mereka diancam tidak akan bisa memenangi kompetisi atau bahkan dikeluarkan dari tim.
”Para atlet juga tidak memiliki pengetahuan tentang perlindungan anak, kekerasan berbasis jender, dan metode pelatihan yang tidak manusiawi. Sejak kecil, mereka dilarang berkomunikasi dengan orangtua sampai berhari-hari supaya tidak mengadu,” kata Jenkins.
Gymnastic Australia, lembaga pengelola olahraga senam nasional, dilansir di laman News.com.au, mengutarakan akan bertanggung jawab penuh terhadap kesejahteraan fisik dan mental pesenamnya. Organisasi ini yang meminta Komisi HAM untuk menyelidiki laporan kekerasan di berbagai klub naungan mereka. Ada 12 rekomendasi yang diberikan oleh Komisi HAM. Salah satunya ialah meminta Gymnastic Australia meminta maaf secara formal kepada semua atlet dan individu yang mengalami kekerasan.
Lembaga pengawasan olahraga federal, Komisi Integritas Olahraga Australia (SIA), juga melakukan penyelidikan tersendiri terkait kasus ini. Mereka berhasil mendapatkan 35 laporan penyimpangan di cabang olahraga senam. Tujuh dari laporan itu masih dalam penyelidikan.
Kasus penyalahgunaan wewenang di klub senam tidak hanya terjadi di Australia. Belanda, Jepang, Selandia Baru, dan Inggris juga tengah melakukan penyelidikan kepada pusat pelatihan senam nasional atas dugaan pelecehan seksual dan kekerasan. Belanda bahkan menangguhkan program pelatihan nasional senam sampai penyelidikan dinyatakan usai.
Skandal terbesar sebelumnya dialami oleh tim senam Amerika Serikat. Dokter mereka, Larry Nassar, yang telah bekerja di pusat pelatihan nasional selama 29 tahun terbukti melakukan pelecehan seksual terhadap 160 atlet. Pada Januari 2018 pengadilan Negara Bagian Michigan menjatuhkan vonis penjara 175 tahun kepadanya.
Pada pertengahan April 2021 dalam Kejuaraan Senam Artistik Eropa di Swiss, tiga atlet putri dari Jerman memutuskan memakai pakaian senam terusan dengan lengan dan celana panjang. Keputusan mereka didukung oleh Federasi Senam Jerman. Salah satu atlet, Sarah Voss, mengatakan ingin menunjukkan kepada rekan-rekannya bahwa pesenam bisa memakai baju yang memungkinkan mereka beraksi total, tetapi juga nyaman.
”Pesenam putra boleh memakai celana panjang. Kenapa pesenam putri tidak boleh? Semestinya ada pilihan busana bagi para atlet,” ujarnya. (AP/AFP)