L\'Oreal Indonesia Ajak Perempuan Lawan Pelecehan Seksual di Ruang Publik
Mengatasi pelecehan seksual ini tidak hanya dengan mengedukasi perempuan yang sudah menjadi korban atau calon korban.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pelecehan seksual terhadap perempuan di ruang publik diyakini sebagai isu yang penting. Mengatasi pelecehan seksual ini tidak hanya dengan mengedukasi perempuan yang sudah menjadi korban atau calon korban. Tak kalah penting mengedukasi semua pihak, baik perempuan maupun laki-laki, yang menyaksikan aksi pelecehan seksual di ruang publik, untuk berani bertindak secara tepat dan bijak.
Pada perayaan Hari Perempuan Internasional, Senin (8/3/2021), L’Oreal Paris Indonesia meluncurkan secara daring program kampanye Stand Up Melawan Pelecehan Seksual di Ruang Publik. Kampanye ini bagian dari kampanye global L’oeral Paris tentang Stand Up Againts Street Harassement sejak tahun 2019. Kampanye Stand Up di tahun ini juga sebagai wujud merayakan 50 tahun slogan L’oeral Paris “Karena Kita Begitu Berharga”.
Dari survei internasional L’Oreal Paris dan lembaga penelitian dunia IPSOS Tahun 2019 yang melibatkan lebih dari 15.500 orang dari delapan negara, termasuk Indonesia, terungkap isu pelecehan seksual di ruang publik berada di tempat teratas dari berbagai isu yang dihadapi perempuan. Terbanyak di usia 18-25 tahun yang mencapai 57 persen perempuan. Secara global, isu pelecehan seksual di ruang publik lebih tinggi dari isu kekerasan rumah tangga, upah setara, kekerasan seksual, stereotip gender, hingga kurangnya peran kepemimpinan perempuan.
Manashi Guha, General Manager Consumer Products Division L’oreal Indonesia mengatakan, dari hasil survei, didapati sekitar 82 persen perempuan Indonesia pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik, lebih tinggi dari rata-rata delapan negara yang disurvei.
“Kami ingin ikut berperan aktif melawan isu pelecehan seksual di ruang publik. Kampanye Stand Up Melawan Pelecehan Seksual di Ruang Publik bertepatan dengan peringatan Hari Perempuan Internasional sebagai aksi nyata kepedulian kami terhadap perempuan Indonesia,” jelas Manashi.
Maria Adina, Brand General Manager L’Oreal Paris Indonesia, perempuan dan anak perempuan Indonesia menganggap isu pelecehan seksual di ruang publik sangat penting untuk diatasi. Sebanyak 74 persen responden pernah menjadi saksi atas kejadian pelecehan seksual di ruang publik. Namun, sekitar 51 persen saksi tidak mengintervensi saat melihat pelecehan seksual.
“Ada yang karena takut dan tidak ingin membahayakan diri sendiri maupun tidak tahu harus melakukan apa,” ujar Maria.
Ada sekitar 91 persen responden Indonesia yang setuju masih kurang adanya pelatihan tentang cara melakukan intervensi dalam mengakhiri pelecehan seksual ketika menjadi saksi atas peristiwa ini. “Kami tergerak dan merasa penting untuk membantu masyarakat dan perempuan di Indonesia melawan pelecehan seksual lewat eduaksi. Saksi dan korban dapat sama-sama berperan aktif melawan pelecehan seksual di ruang publik,” kata Adina.
L’Oreal Indonesia hendak menjangkau satu juta orang dan melatih 100.000 orang untuk membangun kesadaran pada isu pelecehan seksual di ruang publik. Upaya ini salah satunya lewat pelatihan mandiri secara daring yang dapat diakses di laman www.standup-indonesia.com.
Edukasi untuk membantu masyarakat ikut melawan pelecehan seksual di ruang publik dengan intervensi yang aman dan nyaman buat korban maupun saksi bekerja sama dengan HollaBack!Jakarta. Selain itu, L’Oreal Indonesia membantu donasi Rp 200 juta untuk mendukung pelayanan konseling dan rumah aman bagi para korban pelecehan seksual lewat program Pundi dari Yayasan Sosial Indonesia untuk Kemanusiaan.
Ketua Komite Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Abdy Yentriyani mengatakan, kekerasan seksual terjadi di ruang publik maupun rumah. Dari laporan tahunan Komnas Perempuan yag diluncurkan tahun ini, menunjukkan terjadi intensitas kekerasan terhadap perempuan di masa pandemi Covid-19. Dari 926 laporan kekerasan perempuan di ruang publik, ada 181 pelecehan seksual. “Yang paling meningkat di dunia maya atau cyber, tapi terjadi juga di tempat kerja dan tempat umum,” kata Abdy.
Pelecehan seskual ini ada dalam bentuk verbal, memperlihatkan gambar, suara, maupun memegang bagian seksual korban. “Korban bukan hanya merasa tidak nyaman atau ketakutan. Tapi martabat korban sebagai manusia direndahkan,” ujar Abdy.
Menurut Abdy, tidak ada payung hukum memidanakan pelaku pelecehan seksual. Untuk itu, Komnas Perempuan dan jaringannya terus memperjuangkan disahkannya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Risya Ariyani Kori, United Nation Fund For Population Activities (UNFPA) Gender Specialist, mengatakan, sebagai bagian dari badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk kesehatan seksual dan reproduksi, isu pelecehan seksual juga jadi isu yang penting secara global. Dari Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional Tahun 2016, ditemukan 1 dari 3 perempuan mengalami kekerasan fisik dan seksual oleh pasangan dan nonpasangan. Kini, banyak pelecehan seksual online.
“Pelecehan seksual masih dalam payung kekerasan berbasis gender, mulai dari cat calling, perkosaan di ruang private atau publik. Dukungan untuk menghentikan kekerasan pada perempuan, termasuk pelecehan seksual di ruang publik, menjadi bagian dari tercapainya tujuan pembangunan berkelanjutan atau SDGs,” ujar Risya.
Metode 5D
Maria menjelaskan, program Stand Up Melawan Pelecehan Seksual di Ruang Publik untuk memberdayakan perempuan dan mengajak saksi pelecehan seksual di ruang publik untuk berperan aktif membantu korban dan mengintervensi pelaku dengan cara yang aman.
“Kita harus mengerti dan sadar ada isu ini. Pandangan yang tidak pantas, diikuti, hingga cat calling, ini bentuk pelecehan seskual. Jadi harus bereaksi. Tetapi bukan hanya korban, yang penting saksi yang melihat,” kata Maria.
Co-Director Hollaback! Jakarta, Anindya Restuviani, memaparkan pelecehan sesksual masih dianggap isu remeh, padahal berhubungan dengan kualitas hidup perempuan sebagai manusia. Banyak laporan kekerasan perempuan di ruang publik, baik di sekolah, tempat kerja, jalan, bahkan di ruang online.
Anindya melanjutkan kekerasan di ruang publik sampai saat ini sering dianggap normal atau dan dampaknya dianggap remeh. “Semisal cat calling pada perempuan yang lazim dilakukan para pria. Orang berpikir itu simple, tapi dapat berdampak pada keseharian perempuan. Dapat membatasi mobilitas, perempua jadi terbatas ruang geraknya. Padahal, kita semua harus bisa memilki rasa nyaman dan aman di manapun tanpa memandang perbedaan gender atau SARA,” kata Anindya.
Menurut Anindya, ada Metode 5D yang disosialisasikan ke perempuan dan masyarakat untuk melawan pelecehan seksual di ruang publik. Metode 5D yakni dialihkan, dilaporkan, dokumentasikan, ditegur, dan ditenangkan.
Dialihkan berarti mencari cara untuk mendistraksi korban atau pelaku. Saksi yang melihat perempuan yang diikuti oleh seorang pria, misalnya, bisa mengalihkan perhatian dengan pura-pura bertanya suatu hal pada pria tersebut sehingga.
Dilaporkan, tidak harus ke pihak berwenang. Saksi yang melihat ada upaya pelecehan seskual, bisa melaporkan orang di sebelahnya sehingga bisa juga membantu.
Lalu, dokumentasikan, ujar Anindya, memang perlu trik dan berhadapan langsung untuk mengambil video atau gambar sehingga ada bukti kuat. Namun, untuk melaporkan harus ada persetujuan dari korban.
Ditegur, bukan hanya tentang menegur pelaku dengan cara cepat dan tegas. Tetapi bisa juga menegur korban untuk sadar dengan peristiwa yang menimpanya. Ditenangkan, berarti kita fokus pada korban untuk menunjukkan dukungan.
“Kita bisa melakukan metode 5D ini. Tidak ribet karena ini keseharian kita. Bisa diimplementasikan oleh siapapun, tinggal pilih cara yang yang cocok dengan dirinya,” kata Anindya.
Menurut Anindya, pencegahan pelecehan seksual selama ini sering difokuskan ke korban. Akibatnya, jadi menyalahkan korban, karena dianggap tidak berdaya melawan pelaku atau disalahkan karena pakaiannya.
“Kita membagi beban itu pada masyarakat, semua harus ada andil untuk menghentikan kekerasan pada perempuan. Kita edukasi sejak dini agar ada kesadaran, mereka yang menyasikan mau melakukan sesuatu untuk intervensi. Juga mengubah perspektif untuk tidak melecehkan,” kata Anindya.