Setelah kudeta militer di Myanmar meletus pada 1 Februari lalu, ASEAN dengan dimotori Indonesia bergerak cepat. Beragam langkah diplomasi dilakukan untuk mencari jalan keluar agar kekerasan di Myanmar reda.
Oleh
B Josie Susilo Hardianto
·3 menit baca
Meskipun banyak pihak masih menunggu—bahkan meragukan—konsensus ASEAN terkait Myanmar akan terimplementasi efektif, hal itu tidak mengurangi capaian positif ASEAN. Mitra wicara ASEAN, Australia, memuji pendekatan ASEAN yang inklusif.
Sifat inklusif itu ditunjukkan, antara lain, dari diundangnya pemimpin militer Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, dalam pertemuan semua pemimpin negara anggota ASEAN yang dihelat dengan tajuk ASEAN Leader’s Meeting (ALM). Min Aung Hlaing juga menyambut baik. Sejumlah negara anggota ASEAN—sebelum ALM digelar—telah menjalin komunikasi dengan Pemerintah Persatuan Nasional (NUG) yang dibentuk oleh politisi sipil dan aktivis demokrasi Myanmar. Artinya, para pihak yang terkait dengan krisis di Myanmar terlibat dalam ALM, baik langsung maupun tidak langsung.
Bahkan, Utusan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa Christine Schraner Burgener pun, sebagaimana diberitakan NikkeiAsia, berhasil bertemu dan berbicara dengan Hlaing di Jakarta.
Akan tetapi, sebagaimana diungkapkan Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi sehari menjelang ALM digelar, isu Myanmar adalah isu yang delicate, peka atau sensitif. Banyak pihak ragu karena persoalan yang dihadapi adalah isu dalam negeri.
Akan tetapi, situasi itu tidak membuat Indonesia surut. Dalam sebuah perbincangan pada Minggu (25/4/2021), Retno menunjukkan, pada Kamis (4/2/2021) atau hari ketiga setelah tentara Myanmar melakukan kudeta, Senin (1/2/2021), saat Perdana Menteri Malaysia Muhyiddin Yassin berkunjung ke Jakarta, Presiden Joko Widodo dan PM Muhyiddin sepakat meminta menlu kedua negara untuk segera mengambil langkah menyikapi perkembangan di Myanmar.
”Indonesia memilih untuk bergerak karena rakyat Myanmar. Sebagaimana berulang ditegaskan Presiden, rakyat adalah nomor satu,” kata Retno.
Intensif
Komunikasi intensif segera dilakukan oleh Kemenlu dengan para mitra di kawasan, terutama dengan Brunei Darussalam yang tahun ini menjadi Ketua ASEAN. Proses itu berujung pada pertemuan para menlu negara-negara anggota ASEAN. Namun, situasi Myanmar makin panas. Kondisi itu mendorong Presiden pada 28 Maret menghubungi Sultan Hassanal Bolkiah untuk menyampaikan pentingnya para pemimpin ASEAN bertemu. Dalam waktu kurang dari satu bulan, pada 24 April, ALM digelar secara langsung.
Merujuk pada sensitifnya isu Myanmar, Retno mengatakan, sebagian besar proses pendekatan dan diplomasi dilakukan secara senyap. Bahkan, semua lini bergerak. Sebagaimana diberitakan, sehari menjelang ALM digelar, Presiden Joko Widodo secara khusus menelepon PM Thailand Prayuth Chan-ocha. Meskipun Prayuth memastikan tidak hadir dalam ALM tersebut, kedua pemimpin membahas seriusnya situasi Myanmar bagi perdamaian dan stabilitas di kawasan.
”Indonesia terbuka untuk berkomunikasi dengan semua pihak pemangku kepentingan terkait Myanmar,” kata Retno. Bahkan, untuk memastikan semua proses berjalan optimal, Retno menyediakan diri menjadi tuan rumah working dinner yang digelar pada 23 April, malam menjelang ALM digelar.
Retno mengatakan, pertemuan tatap muka itu berlangsung sangat terbuka dan menjadi salah satu titik krusial yang akhirnya berujung pada konsensus ASEAN. Upaya itu, menurut Retno, menunjukkan kedalaman dan keberanian bertindak dari ASEAN sebagai satu keluarga.
”Presiden menginisiasi dan Kemenlu mengawal agar usulan berjalan baik,” ujarnya.
China, salah satu mitra wicara ASEAN, menilai, ALM adalah ”awal yang baik bagi semua pihak untuk mempromosikan pendekatan ASEAN yang terbuka dan inklusif untuk menurunkan situasi di Myanmar”. ”Tentu saja, satu pertemuan tidak dapat sepenuhnya menyelesaikan semua masalah,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri China, Wang Wenbin.
Kini, sebagaimana diharapkan oleh banyak pihak, terutama rakyat Myanmar, upaya lanjut diperlukan untuk mengimplementasikan konsensus yang telah dicapai. (AFP/Reuters)