Amnesty International mengungkap 483 orang dieksekusi mati sepanjang 2020. Hingga 88 persen eksekusi terjadi di Irak, Iran, Mesir, dan Arab Saudi. Eksekusi terbanyak terjadi di Iran.
Oleh
Kris Mada
·3 menit baca
LONDON, RABU — China bersama Iran, Mesir, Iran, dan Arab Saudi mendominasi eksekusi mati sepanjang 2020. Di empat negara Timur Tengah dan Afrika Utara, total 425 eksekusi mati sepanjang 2020.
Dalam laporan pada Rabu (21/4/2021), Amnesty International mengungkap 483 orang dieksekusi sepanjang 2020. Hingga 88 persen eksekusi terjadi di Irak, Iran, Mesir, dan Arab Saudi. Eksekusi terbanyak terjadi di Iran.
Jumlah total eksekusi tidak termasuk pelaksanaan hukuman mati di China. Amnesty International mengakui tidak bisa mengakses data eksekusi mati di China karena negara itu menutup rapat informasi tersebut. Beijing menggolongkan data itu sebagai informasi rahasia negara.
Jumlah eksekusi mati sepanjang 2020 lebih rendah dibandingkan 2019. Sepanjang 2019, Amnesty International mencatat 657 eksekusi mati. Jumlah eksekusi 2020 paling rendah dalam 10 tahun terakhir.
Selain itu, 108 negara sama sekali menghapus hukuman mati. Di sisi lain, masih banyak negara, seperti Amerika Serikat, Malaysia, Singapura, dan Indonesia yang mempertahankan hukuman mati dalam sistem hukumnya.
Sepanjang 2020, Amnesty International mencatat 1.477 vonis mati di 54 negara. Jumlah itu lebih rendah dibandingkan 2019 dengan total 2.307 vonis mati. Sampai akhir 2020, tercatat total 28.567 terpidana mati di seluruh dunia.
Catatan lain Amnesty International adalah vonis mati terhadap terdakwa berusia di bawah 18 tahun. Sejak 1990, ada 152 eksekusi terhadap terpidana yang divonis mati kala belum berusia 18 tahun. Vonis dijatuhkan antara lain oleh pengadilan di Amerika Serikat, Arab Saudi, Pakistan, Iran, dan Nigeria. Dari 152 orang itu, 102 orang dieksekusi di Iran.
Perubahan
Sejumlah negara telah berusaha mereformasi sistem hukumnya. Lewat dekrit pada April 2020, Raja Salman bin Abdulaziz melarang vonis mati bagi terdakwa yang kala ditangkap berusia di bawah 18 tahun. Hukuman maksimal bagi terdakwa kelompok itu adalah penjara 10 tahun.
Dekrit itu dibuat beberapa bulan setelah Amnesty International mengumumkan Arab Saudi mencatat rekor tertinggi untuk eksekusi mati sepanjang 2019. Pada 2019, sebanyak 184 orang dieksekusi di Arab Saudi.
Sebanyak 37 orang di antaranya dieksekusi pada 23 April 2019. Di antara 37 orang itu, 32 orang didakwa sebagai teroris. Belum pernah ada negara mengeksekusi mati sebanyak itu. Padahal, Amnesty International justru mencatat tren penurunan eksekusi secara global. Pada 2018, total 690 orang dieksekusi mati di sejumlah negara. Pada 2019, jumlahnya menurun menjadi 657 orang.
Tindak lanjut dekrit April 2020 antara lain diwujudkan lewat peninjauan vonis mati untuk tiga terdakwa pada Agustus 2020. Peninjauan diberikan kepada Ali al-Nimr, Dawood al-Marhoon, dan Abdullah al-Zaher.
Mereka ditangkap pada 2012 karena terlibat unjuk rasa di tengah gelombang Musim Semi Arab. Mereka didakwa dengan undang-undang terorisme, lalu divonis mati pada 2014.
Kala ditangkap, Nimr dan Marhoum berusia 17 tahun. Sementara Zaher berusia 16 tahun. Sebelum genap berusia 18 tahun, mereka ditahan di penjara remaja. Keluarga dan Amnesty International menyimpulkan, berdasarkan lokasi penahanan para terdakwa itu, hal tersebut menunjukkan bahwa aparat hukum Arab Saudi mengakui mereka sebagai remaja kala ditangkap.
”Pengumuman peninjauan hukuman mati kepada tiga orang ini adalah langkah penting menuju keadilan. Kami meminta otoritas Arab Saudi memastikan pengadilan ulang dilakukan secara adil, transparan, dan ada pendampingan penasihat hukum,” kata Direktur Pendampingan Amnesty International untuk Timur Tengah dan Afrika Utara Philip Luther.
Aparat juga diminta tidak memakai pengakuan para pemuda itu. Sebab, pengakuan disebut didapat lewat penyiksaan. Keluarga menemukan bekas penyiksaan, antara lain berupa memar dan patah tulang pada beberapa bagian tubuh mereka.
Kepada keluarga, tiga pemuda itu mengatakan dipukuli agar mau mengakui mereka terlibat terorisme. ”Mereka seharusnya tidak dibawa ke pengadilan kejahatan khusus yang dibuat untuk menyidang pelaku teror,” kata Luther. (AFP/REUTERS)