”Muay Thai”, Jalan Keluar dari Jurang Kemiskinan di Thailand
Anak-anak yang jadi petinju ”muay thai” di Thailand adalah tulang punggung keluarga meski berisiko mengalami kerusakan otak dan mengancam nyawa. ”Muay thai” jadi satu-satunya harapan warga miskin untuk mengubah nasib.
Pornpattara ”Tata” Peachaurai (9), pemain cilik kickboxer Thailand, sudah tidak sabar ingin segera kembali berlaga di ring tinju. Sudah lima bulan semua pertandingan tinju ditiadakan gara-gara pandemi Covid-19. Bukan semata-mata karena ia mencintai ”profesi”-nya itu, tetapi uang hasil pertandingan selama ini menjadi penghasilan utama bagi keluarganya.
”Semua uang yang saya dapat dari hasil bertinju, upah reguler, dan uang-uang tip, saya berikan ke ibu saya. Saya bangga menjadi petinju dan karena bisa memberi uang ke ibu saya,” kata Tata, Rabu (7/4/2021).
Baca juga : Para Pemimpin Dunia Dorong Warga Patuhi Pembatasan Sosial untuk Hentikan Penularan Covid-19
Tata terakhir kali berlaga muay thai pada Oktober lalu sebelum Pemerintah Thailand meniadakan semua pertandingan olahraga sesuai kebijakan pembatasan Covid-19 yang diberlakukan. ”Saya tidak bisa bertinju lagi dan belum latihan lagi. Akhirnya saya hanya bisa bantu ibu berjualan macam-macam,” ujarnya.
Tata tinggal bersama ibunya dan kakaknya, Poomrapee (16), yang juga petinju yang sudah bergabung dengan tim nasional khusus remaja. Selama ini keluarganya mengandalkan penghasilan Tata untuk bisa bertahan hidup. Tata diharapkan bisa menjadi petinju muay thai profesional. Jika ia tak jadi petinju, keluarganya berharap Tata menjadi polisi atau tentara berposisi tinggi sehingga bisa mendapat banyak bonus.
”Semua uangnya diberikan kepada saya. Tetapi, kadang-kadang ia minta dibelikan mainan setelah bertanding,” kata ibu Tata, Sureeporn Eimpong (40).
Otak rusak
Pertandingan muay thai anak-anak di Thailand sama populernya dengan pertandingan muay thai orang dewasa. Bahkan, ada banyak turnamen dan festival khusus untuk pertandingan muay thai anak-anak. Menurut Asosiasi Tinju Profesional Thailand, terdapat sekitar 300.000 petinju muay thai berusia di bawah 15 tahun.
Kalangan pakar kesehatan selama ini mendesak agar pertandingan muay thai untuk anak-anak dilarang. Pasalnya, jika bertinju, pertumbuhan anak-anak akan berisiko lambat, menimbulkan gangguan neurologi jangka panjang, kerusakan otak, dan cacat. Masalahnya, anak-anak hanya membutuhkan izin dari orangtua untuk menjadi petinju muay thai. Itu saja persyaratannya.
Anak-anak hanya membutuhkan izin dari orangtua untuk menjadi petinju muay thai. Itu saja persyaratannya.
”Saya tidak khawatir tentang tinju. Lagi pula para petinju muay thai sudah dilatih untuk bisa melindungi diri mereka sendiri. Selama ini tidak banyak petinju anak-anak yang terluka. Saya percaya pada sistemnya,” kata Sureeporn.
Baca juga : Tragedi di Balik ”Muay Thai”
Namun, sayangnya, sistem itu tidak selamanya bisa melindungi anak-anak. Pada tahun 2018, Tata pernah berada di satu pertandingan yang sama dengan anak berusia 13 tahun, Anucha Tasako, yang tewas akibat pendarahan otak setelah dipukul jatuh di ring. Kasus ini kemudian memicu kontroversi tentang keamanan muay thai bagi anak-anak. Sureeporn mengatakan, pada waktu itu wasit yang salah karena terlalu lambat menghentikan pertandingan.
Direktur Institut Nasional untuk Perkembangan Anak dan Keluarga di Mahidol University, Thailand, Adisak Plitponkarnpim menjelaskan bahwa pihaknya pernah meneliti 250 petinju anak-anak dan memeriksa hasil pindai otak mereka. Sebagian dari mereka mengalami kerusakan parah pada bagian otak yang akan mengganggu perkembangan otak dan tingkat kecerdasan mereka.
”Tinju jelas menyebabkan cedera otak dan ini sudah terbukti pada petinju dewasa. Orangtua yang bergantung pada uang hasil tinju anak-anaknya mestinya menyadari risiko ini,” kata Adisak.
Regulasi
Bukan hanya kalangan pakar kesehatan yang mengkhawatirkan masa depan petinju anak-anak. Sejak kasus kematian Anucha Tasako, sejumlah anggota parlemen Thailand pun telah berusaha melarang muay thai untuk anak-anak di bawah usia 12 tahun dengan mendorong rancangan undang-undang (RUU). Namun, upaya itu gagal dan tidak sampai dibahas di parlemen.
Kemungkinan juga RUU tersebut tidak akan pernah bisa lolos mengingat popularitas pertandingan muay thai anak-anak serta besarnya pemasukan dan keuntungan yang dihasilkan.
Namun, Sureeporn tetap meyakini muay thai sudah menjadi kehidupan anaknya. ”Saya berasal dari kelas bawah dan hanya bisa cari uang untuk bertahan hidup. Saya tidak punya tabungan atau rumah yang bagus. Masa depan Tata ada di tinju. Itu saja yang saya tahu,” ujarnya.
Harian The New York Times pernah menerbitkan artikel ”Destroying Our Children for Sport: Thailand May Limit Underage Boxing” pada 23 Desember 2018, yang menyebutkan muay thai menjadi satu-satunya harapan bagi masyarakat miskin untuk meraih hidup lebih baik. Pertandingan muay thai populer karena juga menjadi ajang judi orang-orang kaya. Dalam satu malam saja ribuan dollar AS diperebutkan.
”Ini sama saja dengan buruh anak dan kekerasan terhadap anak-anak,” kata ahli radiologi saraf, Jiraporn Laothamatas.
Ia pernah mengumumkan hasil penelitian selama tujuh tahun tentang dampak muay thai pada otak anak-anak. Hasilnya, tingkat kecerdasan dan fungsi otak para petinju menurun. ”Anak-anak yang merasakan akibatnya. Mereka menghidupi keluarga dan memperkaya promotornya. Tetapi, mereka malah menghancurkan anak-anak hanya demi olahraga,” ujar Jiraporn.
Mereka menghidupi keluarga dan memperkaya promotornya, tetapi menghancurkan anak-anak hanya demi olahraga.
Pusat Jurnalisme Investigasi Thailand menyebutkan, hanya ada sekitar 10.373 petinju anak-anak yang resmi terdaftar pada 2010 hingga 2017. Sementara pada kenyataannya terdapat paling tidak 200.000 anak-anak di bawah usia 15 tahun yang rutin bertanding.
Tradisi sejak 1774
Muay thai dikenal sebagai seni bela diri dengan gerakan campuran antara meninju, menendang, dan menyikut untuk mengalahkan lawan. Pertandingan biasanya berlangsung selama lima ronde dan setiap ronde berjalan selama tiga menit. Para petinju tidak mengenakan pengaman kepala dan hanya mengenakan sarung tangan seperti olahraga tinju pada umumnya.
Harian The Sydney Morning Herald, 24 November 2018, menyebutkan tradisi muay thai dimulai sejak tahun 1774 ketika petinju muay thai legendaris, Nai Khanom Tom, yang juga dikenal sebagai Bapak Muay Thai, berhasil mengalahkan 10 petinju terbaik Myanmar. Legendanya, Tom mengalahkan semua lawannya dengan kejam.
Selama 400 tahun terakhir, muay thai berkembang dari semula olahraga lokal menjadi olahraga populer dan fenomena dunia. Olahraga ini kerap dijadikan cerita film, permainan gim, dan menjadi salah satu olahraga kebugaran. Di Thailand, pertandingan muay thai tidak terjamah undang-undang perlindungan anak dan tenaga kerja. Hadiah kemenangan yang diterima anak-anak tidak dianggap sebagai gaji, tetapi hadiah dan ini dianggap legal.
Ekonomi
Di daerah-daerah yang miskin dan perdesaan di Thailand, muay thai anak-anak paling banyak mendapat dukungan masyarakat hanya karena sisi besarnya uang yang didapat. Jika dibandingkan dengan keluarga-keluarga pada umumnya yang menghasilkan rata-rata 200 dollar AS (sekitar Rp 2,9 juta) per bulan dari kebun dan sawah, petinju anak-anak bisa membawa pulang 60 dollar AS (Rp 870.000) sampai 600 dollar AS (Rp 8,7 juta) jika menang. Bahkan, jumlah uang yang diperoleh lebih besar lagi kalau mereka berhasil memukul jatuh lawan.
”Setiap petinju profesional yang terkenal pasti memulai kariernya sejak usia 7 tahun,” kata Sukit Parekrithawet, pengacara yang membela hak-hak petinju.
Sejak dini, petinju anak-anak dilatih kedisiplinan dan dedikasi tinggi. Mereka dilatih di tempat-tempat pelatihan khusus di daerah-daerah pinggiran Thailand. Petinju-petinju terbaik kemudian direkrut sasana-sasana tinju di Bangkok. Mereka kemudian dimasukkan ke sekolah berasrama jauh dari keluarga dan setiap hari harus latihan rutin mulai pukul 04.30.
Latihan dimulai dengan lari, lalu pukul 05.30 mulai latihan gerakan-gerakan muay thai. Kemudian mereka masuk kelas sampai sore, lalu berlatih muay thai lagi sampai malam. Anak-anak itu hanya berpegang pada impian untuk bisa menjadi petinju profesional.
Di Stadium Rajadamnern yang terkenal di Bangkok, pertandingan muay thai diselenggarakan empat kali dalam seminggu. Penontonnya selalu banyak, baik warga Thailand maupun wisatawan. Dan selalu ada uang judi yang dipertaruhkan. Jika menang, petinju bisa kaya mendadak dalam semalam.
”Menjadi petinju muay thai itu membanggakan. Ini tradisi keluarga saya. Saya senang bisa membantu ayah saya mencari uang untuk keluarga,” kata Samsun (11) yang hanya tinggal bersama ayahnya, seorang penjaga kebersihan di sasana muay thai itu. (REUTERS/AFP)