Tragedi di Balik Muaythai
Warga Thailand berduka atas kematian remaja berusia 13 tahun di arena pertandingan muaythai. Insiden itu memicu debat yang lebih luas tentang perlunya aturan untuk petinju anak-anak.
Kematian remaja berusia 13 tahun sewaktu bertanding dalam kompetisi bela diri kickboxing—sering juga disebut dengan muaythai—telah memicu kemarahan dan perdebatan luas di Thailand.
Anucha Tasako (13) kolaps dan terkapar di kanvas setelah lawannya yang juga berusia sama menyarangkan tendangan dan pukulan ke kepala Anucha pada 10 November lalu. Menurut keterangan polisi, Anucha meninggal tidak lama setelah kolaps akibat pendarahan di otak.
Namun, insiden itu membawa perdebatan tentang apakah perlu ada undang-undang yang membatasi anak-anak untuk berpartisipasi dalam olahraga keras seperti muaythai. Bulan lalu, parlemen Thailand sedang mempertimbangkan rancangan undang-undang (RUU) yang melarang anak di bawah usia 12 tahun berkompetisi pada laga muaythai.
Saat ini, RUU sudah berada di menteri pariwisata dan olahraga, dan sudah direvisi. Menurut media setempat, menteri olahraga akan menyerahkan RUU itu ke parlemen dalam waktu dekat. Adapun Menteri Pertahanan Prawit Wongsuwan, yang merupakan orang kuat kedua dalam junta, telah meminta menteri olahraga ”mempertimbangkan kepantasan” RUU itu.
Persoalannya, kickboxing adalah olahraga yang sangat populer di Thailand sehingga penentangan terhadap RUU itu juga meluas. ”Undang-undang akan berdampak besar pada industri ini. Mereka yang merancang RUU sama sekali tidak mengerti soal thai boxing. Undang-undang akan membuat muaythai punah,” kata Sukrit Parekrithawet, pengacara yang mewakili sejumlah tempat pelatihan muaythai.
Sukrit mengatakan, kematian remaja berusia 13 tahun itu adalah satu kecelakaan akibat buruknya penyelenggara kompetisi. Menurut dia, kecelakaan seperti itu tak pernah terjadi sebelumnya, dan ada sejumlah faktor penyebab yang tak ada kaitannya dengan umur pemain. ”Wasit tidak cukup cepat untuk menghentikan pertandingan dan tak ada dokter yang siap di tempat kejadian, hal yang seharusnya tak boleh terjadi,” katanya.
Sukrit mengingatkan bahwa jika anak-anak tidak diizinkan untuk mulai belajar muaythai sejak usia dini, mereka tidak akan memiliki fisik kuat ataupun pengalaman yang cukup untuk bertanding. ”Kami menyebutnya ’boxing bones’. Anda harus membentuk ’boxing bones’ sejak usia yang sangat muda,” ucapnya, menambahkan.
Ratusan laga
Menurut televisi Thai PBS, Anucha telah bertanding lebih dari 170 kali sejak ia memulai belajar muaythai pada usia 8 tahun. Saat bertanding, ia ikut dalam kompetisi 41 kilogram. Ia dibesarkan oleh pamannya, seorang pelatih tinju, setelah kedua orangtuanya berpisah.
Paman Anucha, Damrong Tasako, kepada Thai PBS, mengatakan, kematian keponakannya adalah kecelakaan. Namun, ia berharap ada aturan, anak-anak berusia di bawah 15 tahun mengenakan pelindung di badan dan kepala.
Kerap kali, para petinju anak-anak dan remaja ini juga menjadi tulang punggung keluarga sebagai pencari nafkah utama untuk membiayai keluarga besar yang miskin. Mereka juga kerap ”diadu” sebagai bahan taruhan para pejudi.
Rabu (14/11/2018) siang, warga masih berdatangan ke tempat tinggal Anucha untuk menyampaikan dukacita. Di tengah- tengah jajaran karangan bunga berwarna merah muda dan putih, foto Anucha menyembul keluar. Kawan-kawan dan pelatihnya mengenang Anucha sebagai petinju yang ”cerdas” dan menguasai teknik yang menginspirasi petinju muda lainnya.
”Saya tidak marah kepada wasit ataupun kepada petinju lainnya. Hal seperti ini bisa terjadi pada olahraga,” kata Aphichati Wannapakhdi (59), paman Anucha, kepada AFP.
Sementara lawan bertarung Anucha, Nitikron Sonde (13), mengutarakan penyesalannya di Facebook. ”Saya sangat menyesal. Namun, saya harus melaksanakan tugas saya untuk menang sehingga saya punya cukup uang untuk membiayai pendidikan saya,” tulis Nitikron.
(AP/AFP/MYR)