Di tengah konflik di Yaman, zawamil—puisi tradisional di Yaman—hadir menjadi penyemangat ”perjuangan” bagi kelompok yang tengah bertikai. Puisi juga menjadi alat propaganda untuk menarik simpati.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
Puisi bisa sekuat besi. Selain bersuara melalui mulut senjata, kelompok Houthi yang melakukan pemberontakan terhadap Pemerintah Yaman juga memilih cara lunak. Mereka menyelipkan puisi sebagai bagian dari upaya perjuangan. Puisi tradisional setempat, dikenal sebagai zawamil, menjadi ”senjata” yang dipilih kelompok itu untuk merebut hati warga Yaman.
Zawamil adalah bagian dari warisan suku Yaman yang sangat disukai. Zawamil kerap dimainkan atau dipentaskan di pesta pernikahan dan acara sosial lainnya. Puisi tradisional—yang ditampilkan dalam rupa lirik-lirik lagu itu—dijadikan sarana bagi Houthi menjadi alat propaganda melawan Pemerintah Yaman dan pendukungnya.
Hal itu jamak dilakukan oleh Houthi yang menguasai ibu kota Sanaa dan sebagian besar wilayah utara Yaman. Zawamil populer di seluruh Yaman, termasuk di selatan yang dikuasai pemerintah. Pemerintahan kubu pemberontak di Sanaa telah melakukan aneka upaya yang lebih besar dalam penciptaan puisi-puisi tradisional itu sebagai sarana propaganda. Hasilnya setidaknya terlihat dalam beberapa bulan terakhir.
Dalam dinamika konflik itu, zawamil hadir menjadi penanda sekaligus penyemangat ”perjuangan” kelompok Houthi. Zawamil yang berisi lirik-lirik patriotik menyemangati para militan Houthi untuk tetap maju. Awal tahun ini, misalnya, kelompok itu merilis lagu berjudul ”Marib is ours”, yang dibuat oleh salah satu penyair paling terkenal, Issa al-Laith, dan direkam oleh perusahaan produksi mereka sendiri.
”Marib adalah milik kami, bukan untuk Anda orang munafik, yang menjual agama dan bangsa Anda untuk riyal (Saudi)," demikian antara lain penggalan lirik lagu itu.
Lagu itu dan lagu-lagu patriotik serupa yang mengecam pemerintah yang dinilai sebagai boneka Saudi mendominasi gelombang udara di daerah-daerah yang dikuasai pemberontak.
Lagu itu dan lagu-lagu patriotik serupa yang mengecam pemerintah yang dinilai sebagai boneka Saudi mendominasi gelombang udara di daerah-daerah yang dikuasai pemberontak. Selain jutaan penayangan di YouTube dan SoundCloud, komposisi seperti itu secara teratur ditampilkan di pesta pernikahan dan pada pertemuan-pertemuan sore warga yang digelar secara tradisional. Menurut Ahmed al-Arami, direktur eksekutif dari Arabia Felix Center for Studies, zawamil adalah ”satu-satunya bentuk musik yang diizinkan oleh kaum Houthi".
Berkuasa
Sejak konflik di Yaman meletus tahun 2014, kelompok pemberontak telah menguasai sebagian besar negara itu. Kelompok itu pun memberlakukan aturan ketat tentang pakaian, pemisahan jender, dan hiburan. Houthi adalah pengikut agama minoritas Zaidi, sebuah cabang dari Islam Syiah yang memasukkan unsur-unsur yurisprudensi Sunni, dan melarang semua bentuk musik lain dan menyatakannya sebagai hal yang tidak Islami.
”Bentuk seni ini sebagian besar mirip dalam peran dan tujuannya dengan lagu-lagu semangat para jihadis dan kelompok Muslim pada umumnya, seperti Hizbullah (Lebanon), Al-Qaeda dan (kelompok Islam Palestina) Hamas,” kata Arami.
Sejumlah komposer dan vokalis di ibu kota yang dikuasai pemberontak menolak berbicara kepada AFP tentang puisi mereka. Namun, nilai dakwah zawamil tidak hilang di tangan para pemberontak. Sebuah artikel panjang yang diterbitkan di situs stasiun televisi Al-Masirah menggambarkan puisi pendek itu sebagai ”senjata antarbenua” dalam ”perang lunak” mereka melawan pemerintah dan sekutunya. ”Seribu Beethoven tidak dapat menghasilkan (zawamil) yang kata-katanya adalah soneta yang tidak dapat dihasilkan oleh seribu Shakespeare,” kata situs itu.
Dalam lirik-liriknya, penyair pemberontak sering mengangkat topik Arab yang populer. Misalnya klaim Palestina atas Jerusalem timur dan Masjid Al-Aqsa yang dihormati, situs tersuci ketiga bagi Islam. Dalam lagu ”Marib adalah milik kita”, sang vokalis, misalnya, mendesak pendengarnya untuk ”melindungi tanah di barat dan timur, serta membebaskan Al-Aqsa dari penjajahan (Israel)”.
Pemerintah Amerika Serikat kerap kali menjadi sasaran kemarahan para penyair. AS di mata kubu Houthi ikut andil dalam serangan bom di wilayah-wilayah yang dikuasai kelompok itu baru-baru ini. ”Siapa lagi selain Amerika yang mendukung pemboman terhadap rumah-rumah?” gugat sebuah puisi populer. ”Siapa lagi yang membunyikan lonceng perang? Seberapa sering perang melawan kita dengan sinyal dan remote dan, hari ini, perang menghunjam kita dengan orang Arab sebagai pengawalnya.”
Puisi lawan puisi
Pendukung pemerintah rupanya tidak tinggal diam. Mereka menanggapi dengan aneka puisi karangan mereka sendiri. Namun, Arami mengatakan, puisi-puisi para pendukung pemerintah tampak kurang terorganisasi dengan baik dibandingkan dengan puisi para pemberontak. Lagu ciptaan pendukung pemerintah, misalnya, adalah lagu berjudul ”Rakyat Bebaskan Marib”. Lagu yang dirilis akhir tahun lalu itu juga menarik bagi nasionalisme Yaman.
Lagu itu menggambarkan para pemberontak sebagai kubu yang tidak patriotik karena mengambil kepemimpinan ideologis mereka dari Iran. Kubu pemberontak disebut sebagai ”cucu” dari mendiang pemimpin revolusioner Iran, Ayatollah Khomeini, dan tentara Yaman akan ”memberi mereka pelajaran”.
Meskipun puisi bertebaran di udara Yaman, menghibur sekaligus mengobarkan semangat juang, nyatanya Yaman masih berkalang derita. Enam tahun setelah intervensi militer yang dipimpin Arab Saudi, Yaman yang miskin itu terjerumus dalam kubang peperangan yang berkepanjangan.
Pertempuran darat kian intensif terjadi saat memperebutkan kota Marib, kota yang menjadi inspirasi bagi puisi-puisi, baik pejuang Pemerintah Yaman maupun Houthi. Kelompok Houthi yang didukung Iran yakin perebutan kota dan ladang minyak di sekitarnya akan memberi mereka pengaruh penting dalam negosiasi untuk mengakhiri perang, tentu demikian pula sebaliknya.
Kebanyakan rakyat, perempuan dan anak-anak, terpasung dalam kelaparan dan menjadi pihak paling rentan dalam konflik Yaman. (AFP)