Bunga Sakura, Simbol dan ”Tanda” Perubahan Lingkungan
Mekarnya bunga sakura, bunga kebanggaan rakyat Jepang, tidak hanya menandai perubahan cuaca dari dingin ke hangat. Namun, kini, percepatan waktu puncak mekarnya bunga ini menandakan hal lainnya.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
Warga Tokyo berbondong-bondong mendatangi taman, kuil, dan sungai-sungai di sekitar kota pada akhir pekan lalu untuk mengagumi bunga sakura yang tengah mekar-mekarnya. Mereka ”sedikit bandel”, melanggar peringatan Gubernur Tokyo Yurike Koike agar menghindari lokasi-lokasi keramaian, terutama taman-taman, meski saat ini adalah waktu puncak mekarnya bunga sakura.
Tahun lalu, festival tahunan untuk merayakan mekarnya bunga sakura dibatalkan. Lokasi-lokasi yang penuh dengan pohon sakura ditutup. Berbagai tanda larangan berkumpul dipasang. Pemerintah meminta warga menahan diri untuk berkumpul, menikmati keindahan bunga sakura yang tengah mekar.
Kini, hasrat itu tidak bisa ditahan lagi. Warga Tokyo, dan mungkin hampir di seluruh dunia, sudah bosan dengan kungkungan aturan yang memaksa mereka untuk tinggal di dalam rumah, menjaga jarak satu sama lain meski mereka juga sadar bahwa pandemi jauh dari usai. Vaksinasi belum merata. Tanpa pemerataan vaksinasi, pandemi jauh dari kata usai.
Untuk memenuhi keinginan melihat bunga sakura, banyak orang memilih tetap berjalan-jalan dan tetap mematuhi protokol kesehatan. Mengenakan masker setiap saat, mereka menikmati langit Kota Tokyo yang biru cerah pada Jumat pekan lalu, berjalan-jalan mengelilingi taman, kuil, dan beberapa lokasi lainnya serta tidak lupa berswafoto dengan bunga sakura berwarna merah muda dan putih.
Tanda perubahan
Puncak mekarnya bunga sakura memang menjadi masa yang dinanti-nanti banyak orang, tidak hanya warga Jepang, tetapi juga para wisatawan. Meski harga tiket mencapai puncaknya pada masa itu, hal tersebut tidak menjadi masalah.
Bunga sakura, yang melambangkan kerapuhan kehidupan dalam budaya Jepang, secara tradisional dirayakan dengan hanami atau pesta menonton. Hal itu bisa dilakukan dengan piknik bersama keluarga di taman atau lokasi lain yang penuh dengan pohon yang dipenuhi bunga yang tengah mekar. Atau tidak jarang, pesta hingga mabuk.
Mekarnya sakura juga dianggap sebagai salah satu tanda perubahan karena menandai dimulainya tahun bisnis baru. Selain itu, bagi anak muda yang baru lulus kuliah, mekarnya bunga sakura bisa berarti dimulainya pekerjaan penuh pertama kali bagi mereka dan kolega yang lebih tua bergeser ke posisi yang baru.
Namun, bagi para pegiat lingkungan, festival kali ini menandakan sesuatu yang lain: perubahan iklim global.
Dalam catatan Badan Meteorologi Jepang, 58 pohon sakura yang diobservasi dan menjadi patokan pengumpulan data (benchmark), 40 pohon di antaranya memasuki puncak mekar 10 hari lebih cepat daripada jadwal, yaitu pada 26 Maret. Sebagian besar bunga-bunga itu berada di Kyoto. Sebanyak 14 pohon lainnya mengalami masa mekar yang lebih singkat.
Puncak waktu mekar yang saat ini jatuh pada 26 Maret, berdasarkan data Badan Meteorologi Jepang, lebih cepat daripada rata-rata dan paling awal sejak pemerintah mulai melakukan pencatatan pada tahun 1953. Ahli lingkungan Universitas Prefektur Osaka, Yasuyuki Aono, mengatakan, dalam banyak dokumen yang pernah ditelitinya, waktu puncak yang dia temukan dalam berbagai catatan adalah 27 Maret dan hal itu terjadi tahun 1612, 1409, dan 1236. Namun, tidak ada data lebih detail berapa lama kondisi itu berlangsung.
Di ibu kota kuno Kyoto, bunga sakura mencapai puncaknya pada 26 Maret atau 10 hari lebih cepat daripada rata-rata dan paling awal sejak pemerintah mulai mencatatnya pada tahun 1953 dan 10 hari lebih cepat dari rata-rata 30 tahun.
Ada yang mengatakan itu adalah puncak mekar paling awal berdasarkan catatan dari dokumen bersejarah, buku harian, dan buku puisi dari Kyoto. Ilmuwan lingkungan Universitas Prefektur Osaka, Yasuyuki Aono, yang melacak dokumen tersebut, mengatakan, bunga mekar paling awal yang dia temukan sebelum tahun ini adalah 27 Maret pada tahun 1612, 1409, dan 1236.
Shunji Ambe, seorang pejabat pada Badan Meteorologi Jepang, mengatakan, data yang dikumpulkan badan tersebut menunjukkan bahwa awal musim sakura terkait dengan suhu lingkungan rata-rata pada Februari dan Maret. Dalam pengamatannya, kehidupan tumbuhan menunjukkan bahwa musim semi yang jatuh lebih awal berdampak pada pertumbuhan bunga sakura dan plum, yang juga berbunga lebih awal. Sementara musim gugur tertunda.
”Kami yakin bahwa fenomena ini mencerminkan tren kenaikan suhu,” kata Ambe.
Menurut data Badan Meteorologi Jepang, suhu rata-rata untuk Maret di Kyoto telah naik menjadi 10,6 derajat celsius (51,1 F) pada 2020 dari 8,6 derajat celsius (47,5 F) pada 1953. Sejauh ini suhu rata-rata bulan Maret di Jepang adalah 12,4 C (54,3 F).
Rata-rata, pohon sakura Tokyo mekar penuh pada 2 April. Tahun ini, bunga sakura di ibu kota telah mencapai puncak mekar pada 22 Maret.
Anbe mengatakan, pohon sakura sensitif terhadap perubahan suhu dan waktu mekarnya dapat memberikan data berharga untuk studi perubahan iklim.
Sakura telah sangat memengaruhi budaya Jepang selama berabad-abad. Bunga kebanggaan rakyat Jepang ini secara teratur digunakan dalam puisi dan sastra dengan kerapuhannya dipandang sebagai simbol kehidupan, kematian, dan kelahiran kembali. (AP/AFP/AP)