Pandemi Covid-19 ternyata tidak memadamkan semangat warga dunia. Meski emosi secara umum terdampak akibat aneka tekanan, namun tingkat kepuasan warga dunia atas hidup dalam jangka panjang tidak terpengaruh.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·6 menit baca
Ukuran kebahagiaan bagi masing-masing orang berbeda satu sama lain. Bisa saja satu orang bahagia jika mencapai hal-hal besar dalam hidup. Namun bagi orang-orang lain, mungkin dengan bisa saling menyapa dengan tetangga sudah cukup membahagiakan. Di tengah pandemi Covid-19, kebahagiaan personal orang mendapatkan pemaknaan-pemaknaan baru.
Tahun 2020 telah menjadi tahun yang tiada duanya secara global, katakan selama beberapa dekade terakhir. Lebih dari 2 juta orang di seluruh dunia harus meninggal dunia akibat Covid-19 pada tahun itu. Jumlah warga dunia yang meninggal dunia di tahun itu meningkat hampir 4 persen secara tahunan. Kita yang masih diberi nafas kehidupan pun banyak yang merasakan aneka tekanan. Kecemasan atas terpapar Covid-19 hingga tekanan ekonomi yang menghantui. Kelindan aneka kondisi itu bisa saja menyebabkan gangguan secara fisik maupun mental.
Politisi dan pejabat sering berbicara tentang bagaimana Covid-19 memengaruhi kesehatan masyarakat dan ekonomi. Tetapi bagi kebanyakan orang, menurut The Economist, hal-hal seperti itu adalah menyangkut pertimbangan abstrak. Apa yang orang alami setiap hari adalah suasana hati, tentang perasaan cemas dan sedih, atau, jika mereka beruntung, mendapatkan keceriaan dan optimisme. Untuk memperingati Hari Kebahagiaan Dunia yang jatuh setiap tanggal 20 Maret, para peneliti yang terkait dengan Jaringan Solusi Pembangunan Berkelanjutan PBB telah mencoba untuk menjabarkan suasana hati seperti itu dan memeriksa apakah kondisi pandemi telah mengubahnya. Hasilnya adalah Laporan Indeks Kebahagiaan Dunia 2021 yang dirilis pada Jumat (19/3/2021) lalu.
Laporan itu menunjukkan bahwa pandemi tidak memadamkan semangat warga dunia. Meski emosi secara umum warga dunia berubah dalam artian tertekan saat pandemi Covid-19 mulai terjadi, tingkat kepuasan warga dunia atas hidup dalam jangka panjang tidak terlalu terpengaruh. Warga dunia sadar hidup harus terus berjalan dan tidak ada alasan untuk tidak optimistis setelahnya. ”Apa yang kami temukan adalah bahwa ketika orang-orang melihat dalam skala jangka panjang, mereka telah menunjukkan aneka ketahanan dalam setahun terakhir ini,” kata Jeffrey Sachs, ekonom Universitas Columbia, New York, AS, dan salah satu penulis laporan tersebut sebagaimana dikutip AP.
Laporan itu memeringkat 149 negara berdasarkan tingkat produk domestik bruto per kapita, harapan hidup sehat, dan pendapat warga. Survei tersebut meminta responden untuk menunjukkan pada skala 1-10 yang mencakup sejumlah hal, mulai seberapa besar dukungan sosial yang mereka rasakan jika terjadi masalah, lalu kebebasan mereka untuk membuat pilihan atas hidup mereka. Mulai dari perasaan mereka tentang seberapa korup masyarakat di tempat mereka tinggal, hingga seberapa murah hati mereka dengan orang-orang sekitar.
Ada hal khusus yang berlaku pada laporan terbaru itu. Karena kondisi pandemi, survei yang digelar Gallup World Poll hanya dilakukan di kurang dari 100 negara.
Ada hal khusus yang berlaku pada laporan terbaru itu. Karena kondisi pandemi, survei yang digelar Gallup World Poll hanya dilakukan di kurang dari 100 negara. Laporan itu menjadi yang kesembilan yang dikumpulkan sejak proyek serupa dimulai. Pemeringkatan indeks untuk setiap negara didasarkan pada perkiraan dari data sebelumnya. Hasilnya adalah sembilan negara Eropa termasuk dalam 10 besar tempat atau negara paling bahagia di dunia.
Finlandia berada di tempat teratas sebagai negara dengan predikat negara paling membahagiakan. Ini adalah untuk keempat kalinya berturut-turut bagi Finlandia di posisi itu. Selandia Baru ikut berada dalam daftar 10 besar itu. Sebanyak 10 negara teratas secara berturut adalah Finlandia, Denmark, Swiss, Eslandia, Belanda, Norwegia, Swedia, Luksemburg, Selandia Baru, dan Austria.
Terungkap bahwa kepercayaan dan keikhlasan untuk mengandalkan orang lain merupakan pendorong utama sikap untuk bertahan di tengah-tengah kondisi krisis. Terselip sikap berpikir positif dan optimistis dalam menghidupinya. Yakin bahwa dompet Anda yang hilang akan dikembalikan jika ditemukan oleh petugas polisi, oleh tetangga, atau orang asing, misalnya, bisa terasa lebih penting bagi kita untuk merasa bahagia. Dalam kondisi kalut, bagi sebagian orang kebahagiaan seperti itu terasa lebih personal dan dekat, misalnya dibandingkan dengan memperoleh pendapatan atau lepas dari pengangguran.
Perangkat lunak konferensi video telah memungkinkan banyak orang tua untuk tetap berhubungan dengan keluarga mereka. Frekuensi berkomunikasi di antara anggota keluarga pun terkadang lebih baik daripada sebelum masa pandemi. Di negara-negara yang ditutup atau dikunci secara penuh, warganya senang mengetahui bahwa masyarakat berkorban untuk melindungi mereka.
John Helliwell, ekonom di University of British Columbia yang menulis bagian dari laporan itu, menyatakan orang yang berusia lebih tua justru merasa lebih sehat selama pandemi. Secara global, 36 persen pria di atas usia 60 tahun mengatakan masalah kesehatannya turun dari rata-rata 46 persen dalam tiga tahun sebelumnya. Di antara perempuan, persentase masalah kesehatan turun dari 51 persen menjadi 42 persen. Orang yang berusia lanjut mungkin saja sebenarnya tidak lebih sehat secara fisik dibandingkan warga yang berusia lebih muda pada umumnya. Namun Covid-19 telah mengubah ukuran-ukuran itu. Warga berusia lanjut merasa lebih sehat karena terhindar dari penyakit yang bisa membunuh mereka itu.
Sementara kaum muda justru merasa mengalami tahun yang berat. Banyak yang kehilangan pekerjaan. Di Amerika, misalnya, tingkat pengangguran bagi orang yang berusia 20-24 tahun melonjak dari 6,3 persen pada Februari 2020 menjadi 25,6 persen dua bulan kemudian (meski telah turun kembali menjadi 9,6 persen pada awal tahun 2022). Di beberapa negara kaya, perempuan muda juga mengalami masa-masa sulit. Mereka seringkali bekerja di sektor-sektor yang terimbas langsung dengan kebijakan penutupan wilayah. Misalnya sektor jasa dan perhotelan. Ketika sekolah tutup, banyak yang tertatih-tatih dengan lebih dari sekadar bagian pengasuhan anak yang adil.
Laporan Indeks Kebahagiaan Dunia 2021 juga menunjukkan faktor-faktor yang mendukung strategi Covid-19 yang sukses meliputi kepercayaan pada lembaga publik. Institusi publik yang tepercaya lebih cenderung memilih strategi yang tepat dan membuat populasinya mendukung tindakan yang diperlukan. Angka kematian akibat Covid-19 di Brasil sebesar 93 per 100.000, misalnya, lebih tinggi daripada di Singapura. Perbedaan itu -merujuk pada laporan itu- lebih dari sepertiganya dapat dijelaskan oleh perbedaan kepercayaan publik.
Kesehatan mental warga dunia juga menjadi sorotan dalam laporan itu. Saat pandemi melanda, tekanan terhadap kesehatan mental warga naik di banyak negara. Perkiraan bervariasi tergantung pada ukuran yang digunakan dan negara yang bersangkutan, tetapi temuannya relatif sangat mirip. Di Inggris, pada Mei 2020, misalnya, ukuran umum kesehatan mental adalah 7,7 persen lebih rendah dari yang diperkirakan jika tidak ada pandemi. Jumlah masalah kesehatan mental yang dilaporkan pun lebih tinggi 47 persen dari sebelum pandemi. Penurunan awal kesehatan mental lebih tinggi pada kelompok yang sudah memiliki lebih banyak masalah kesehatan mental -khususnya pada perempuan, kaum muda, dan warga kelas menengah ke bawah secara ekonomi.
Karena kebutuhan perawatan kesehatan mental meningkat, layanan kesehatan mental di banyak negara terganggu. Kondisi ini serius karena pandemi Covid-19 kemungkinan akan meninggalkan dampak yang lebih lama pada generasi muda. Sisi positifnya, pandemi telah menyoroti kesehatan mental yang belum pernah terjadi sebelumnya. Kesadaran publik yang meningkat terkait hal itu menjadi pertanda baik bagi penelitian di masa depan dan layanan yang lebih baik yang sangat dibutuhkan warga secara global.