Sejarah Panjang Diskriminasi pada Warga Asia Amerika
Pengalaman menjadi korban tindakan diskriminatif dan rasis di Amerika Serikat dibagikan sejumlah anggota Kongres AS. Mereka ingin gejala yang meningkat belakangan itu diakhiri.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·3 menit baca
AFP/STEPHEN MATUREN
Berbagai lapisan komunitas mengikuti aksi damai untuk memprotes serangan dan kekerasan terhadap warga Asia di Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat, Kamis (18/3/2021) waktu setempat. Aksi serupa juga terjadi di sejumlah negara bagian AS setelah serangkaian penembakan pada Selasa (16/3/2021) oleh seorang pria kulit putih di Atlanta, Georgia, yang menewaskan delapan wanita dengan enam di antaranya warga keturunan Asia.
Tragedi penembakan berlatar belakang rasisme di Atlanta, Amerika Serikat, pekan ini, menegaskan masih adanya sentimen rasial terhadap warga Asia Amerika dan Kepulauan Pasifik Amerika atau AAPI.
Amerika Serikat sebagai sebuah bangsa yang dibangun di atas fondasi multikultur pun diingatkan agar kejadian-kejadian serupa tidak terulang lagi. Sejarah panjang, diskriminasi, dan perilaku rasis harus dihentikan.
”Saya memiliki tanggung jawab dan kewajiban moral untuk berbicara tentang peristiwa serangan terhadap komunitas AAPI,” kata Doris Matsui, seorang warga California berusia 76 tahun.
Matsui adalah salah satu anggota Kongres AS berdarah Asia Amerika. Kakek neneknya berdarah Jepang. Ia menceritakan pengalaman pribadinya yang menggambarkan diskriminasi terhadap diri dan keluarganya di depan parlemen AS, Kamis (18/3/2021).
Sidang Kongres AS itu berubah menjadi pengungkapan kesaksian pribadi anggota asal Partai Demokrat itu.
Matsui mengungkapkan tentang bagaimana ucapan, sikap, serta tindakan mantan Presiden Donald Trump dan lainnya telah memberikan efek buruk bagi warga seperti dirinya. Trump, misalnya, pernah menjelekkan orang Asia sebagai penyebab menyebarnya Covid-19.
AFP/GETTY IMAGES/Elijah Nouvelag
Bunga dan tanda bertuliskan ”hentikan kebencian Asia” terlihat di luar spa tempat empat orang ditembak dan dibunuh di Acworth, Georgia, Rabu (17/3/2021). Kejahatan rasial terhadap orang-orang keturunan Asia-Amerika meningkat dalam beberapa bulan terakhir. Situasi itu dipicu informasi yang menyalahkan orang Asia atas penyebaran Covid-19.
Sikap dan perilaku Trump seperti itu dinilai Matsui telah mendorong warga yang sepemikiran dengan Trump. Akibatnya, warga AAPI pun terkena imbasnya. Kekhawatiran itu menjadi kenyataan pahit dengan penembakan oleh seorang warga kulit putih atas warga AAPI, pekan ini.
Matsui menceritakan sejarah panjang diskriminasi atas warga AAPI. Selama Perang Dunia II, misalnya, Pemerintah AS secara paksa memindahkan orangtua dan kakek-nenek Matsui, warga berdarah Jepang-Amerika, ke kamp interniran di Poston, Arizona.
”Mereka hidup dalam kondisi yang memprihatinkan, dikelilingi pagar kawat berduri, penjaga bersenjata di menara, dipenjara semata-mata karena nenek moyang mereka.”
Pemerintah kita, dan banyak pemimpinnya, mengedepankan mitos bahwa komunitas Jepang-Amerika pada dasarnya adalah musuh. Orang Amerika di seluruh negeri memercayainya, menyetujui rasisme yang dilembagakan, dan bertindak berdasarkan itu.
Matsui lahir di kamp tempat keluarganya ditahan. ”Pemerintah kita, dan banyak pemimpinnya, mengedepankan mitos bahwa komunitas Jepang-Amerika pada dasarnya adalah musuh. Orang Amerika di seluruh negeri mempercayainya, menyetujui rasisme yang dilembagakan, dan bertindak berdasarkan itu,” katanya.
Matsui bersaksi bersama sejumlah anggota Kongres AS dengan latar belakang AAPI. Mereka adalah Grace Meng dan Judy Chu, serta Senator Tammy Duckworth.
Kesaksian itu muncul setelah enam perempuan warga Amerika keturunan Asia dibunuh di Georgia, Selasa (16/3/2021). Peristiwa itu mengentak AS, khususnya warga dengan latar belakang keturunan Asia dan Pasifik.
AFP/DAVID GANNON
Seorang pria berjalan melewati grafiti di dinding yang menggambarkan potret George Floyd di Taman Mauer di Distrik Prenzlauer Berg, di Berlin, 30 Mei 2020. Floyd adalah pria kulit hitam yang meninggal di Minneapolis akibat kekerasan polisi kulit putih.
Para ahli mengatakan, kekerasan dengan sentimen anti-Asia telah meningkat secara substansial di seluruh AS sejak pandemi terjadi satu tahun lalu. Trump terkenal menyebut Covid-19 sebagai ”virus China”.
Retorika itu pun digaungkan oleh anggota-anggota Kongres dari Partai Republik. Dampaknya, ”serangan” terhadap orang Asia-Amerika terlihat meningkat.
”Komunitas kami tertekan. Kami merasa sakit dan selama setahun terakhir kami berteriak minta tolong,” kata Meng, seorang warga New York berusia 45 tahun keturunan Taiwan.
Ia mengatakan kepada subkomite peradilan DPR tentang hak-hak warga sipil. Panel tersebut mendengar bagaimana orang Amerika keturunan Asia telah dilecehkan, ditampar, diludahi, dan diserang secara verbal.
Ketika salah satu anggota DPR dari Partai Republik, Chip Roy, memperingatkan bahwa sidang tersebut adalah upaya untuk ”mengatur” kebebasan berbicara di AS, Roy pun langsung mendapat teguran. ”Saya bukan virus,” ujar Ted Lieu, anggota kongres yang lahir di Taiwan dan bertugas di Angkatan Udara AS, mengingatkan Roy.
”Apa pun poin politik yang Anda nilai dengan menggunakan latar belakang etnis dalam menggambarkan virus ini, Anda merugikan orang Amerika yang kebetulan keturunan Asia,” tambahnya. ”Jadi tolong berhenti melakukan itu.”
AFP/MEGAN VARNER
Setelah kejadian penembakan di Atlanta, tagar #StopAsianHate menjadi viral di media sosial dengan menyerukan dihentikannya tindakan kekerasan berlatar belakang rasisme ini.
Serangan anti-Asia terus berlanjut di AS. Kelompok swadaya Stop AAPI Hate mencatat, ada hampir 3.800 kasus berlatar belakang rasisme dilaporkan sejak tahun lalu di AS.
Erika Lee, Direktur Pusat Penelitian Sejarah Imigrasi di Universitas Minnesota, mengatakan, warga Asia-Amerika telah ”diteror” dan pelecehan yang sedang berlangsung menandai ”tragedi nasional sistemik” yang tidak akan hilang begitu saja setelah pandemi. Ia mengaku sangat prihatin dengan perkembangan yang terjadi di negerinya. (AFP/BEN)