Nasionalisme Vaksin Covid-19 Menjadi Perbincangan di APEC
Ada perkembangan yang meresahkan di antara para anggota APEC, terutama soal kecenderungan praktik nasionalisme vaksin.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
WELLINGTON, KAMIS — Dugaan adanya kecenderungan nasionalisme vaksin Covid-19 di beberapa negara Barat turut diperbincangkan dalam pertemuan senior official meeting Kerja Sama Ekonomi Asia Pasific atau APEC yang digelar secara virtual dan dikoordinasikan Pemerintah Selandia Baru sebagai pemegang keketuaan APEC tahun ini.
APEC diharapkan mengambil kesempatan untuk memimpin langkah dalam mempromosikan akses yang adil atas vaksin Covid-19 secara global.
Dinamika terkait perkembangan vaksinasi secara global dalam forum APEC itu disampaikan Wakil Menteri Luar Negeri dan Perdagangan Selandia Baru Vangelis Vitalis dalam konferensi pers yang digelar secara virtual di sela-sela pertemuan tingkat tinggi APEC, di Wellington, Kamis (11/3/2021).
Pertemuan tingkat tinggi itu digelar secara virtual karena pandemi Covid-19. Turut bergabung Direktur Eksekutif Sekretariat APEC Rebecca Sta Maria dari Singapura.
Vitalis mengatakan ada perkembangan yang meresahkan yang menjadi perbincangan di antara para anggota APEC, termasuk dalam pertemuan tingkat tinggi APEC yang dikoordinasikan Selandia Baru saat ini. Dia merujuk pada kelindan ”pembatasan ekspor” yang notabene turut menyangkut tentang pengiriman vaksin Covid-19. Namun, ia menyatakan tidak bermaksud atau mengomentari hal-hal yang terjadi di luar APEC.
”Saya tidak akan berkomentar tentang orang-orang di luar wilayah (APEC) ini,” kata Vitalis. ”Namun, saya tahu dari apa yang saya dengar dari kolega saya selama beberapa hari terakhir bahwa sekarang ada kekhawatiran tentang beberapa tantangan yang kami hadapi, baik di dalam maupun di luar kawasan.”
Sebagaimana diwartakan, Uni Eropa (UE) mendapat sorotan setelah program vaksinasi di negara-negara anggotanya berjalan lebih lambat dibandingkan dengan Inggris dan AS. Selain itu, dibandingkan China, Rusia, dan India, UE juga tidak banyak mendonasikan vaksin Covid-19 ke negara-negara miskin.
Presiden Dewan Eropa Charles Michel membantah tuduhan bahwa UE menjalankan praktik ”nasionalisme vaksin”. Sementara Inggris dan Amerika Serikat melarang ekspor vaksin Covid-19, kata Michel, blok Eropa itu tidak pernah melarang ekspor vaksin.
Minggu lalu, UE menyetujui rekomendasi pelarangan ekspor vaksin Covid-19 AstraZeneca ke Australia oleh Italia. Italia, bulan lalu, memblokir ekspor 250.000 dosis vaksin Oxford/AstraZeneca ke Australia. Michel membela sistem pengawasan ekspor vaksin yang diproduksi di UE, yang diberlakukan oleh Italia saat memblokir ekspor vaksin Covid-19 buatan AstraZeneca ke Australia.
”Tujuan kami mencegah perusahaan yang telah menerima pesanan dan pembayaran dari kami untuk mengekspor ke negara lain saat mereka belum memenuhi komitmennya kepada kami,” tutur Michel. ”UE tidak pernah melarang ekspor.”
Maria menyatakan, APEC memiliki kesempatan untuk memimpin langkah dalam mempromosikan akses yang adil atas vaksin Covid-19 secara global. Vaksin Covid-19 bagaimanapun adalah faktor penting dalam menghadapi kondisi pandemi saat-saat ini.
Pengiriman sekaligus akses yang adil atas vaksin itu akan menentukan perjalanan global dalam menghadapi pandemi yang pada kelanjutannya menentukan pemulihan ekonomi secara global.
Vitalis telah memimpin pertemuan empat pekan awal APEC yang melibatkan pejabat, pemimpin bisnis, dan pakar dari 21 negara APEC. Pertemuan itu akan ditutup pada Jumat (12/3/2021).
Ia menyatakan, vaksinasi adalah salah satu hal yang menjadi tantangan bagi publik secara global sehingga harus dipastikan bersama-sama. Faktor penyediaan, pengiriman antarbangsa, dan penerapan tarif impor menjadi bagian dari pembahasan para anggota APEC.
Menurut Vitalis, Selandia Baru memiliki proposal untuk ”pedoman praktik terbaik” yang dapat mengatasi hambatan praktis untuk pergerakan cepat vaksin dan peralatan kesehatan terkait. Diungkapkan beragamnya aneka tarif ekspor-impor hal-hal terkait vaksin.
Beberapa negara memberlakukan tarif hingga 6 persen untuk vaksin, 30 persen untuk kotak pendingin khusus yang diperlukan guna pengangkutan, dan 21 persen untuk jarum suntik.
”Hal-hal itu masuk dalam pembahasan bersama, bagaimana baiknya agar akses dan pengiriman dapat berlangsung optimal,” katanya.
Vitalis mengungkapkan sejumlah langkah yang diambil Pemerintah Selandia Baru terkait praktik perdagangan selama pandemi Covid-19. Selandia Baru, di antaranya, telah secara sepihak menghapus tarif pada produk yang diyakini diperlukan untuk memerangi virus korona tipe baru.
Hal itu diberlakukan atas tarif impor 5 persen pada sabun dan produk sabun. Sabun sangat diperlukan untuk kebutuhan menjaga protokol kesehatan, yakni cuci tangan.
Masih menurut Vitalis, langkah-langkah guna meningkatkan aliran bebas vaksin dan peralatan terkait vaksin Covid-19 dapat memberikan kemenangan cepat bagi APEC menjelang pertemuan tingkat menteri pada November mendatang. (REUTERS/BEN)