Uni Eropa dan Inggris Saling Tuding soal ”Nasionalisme Vaksin”
Dengan menyetujui pelarangan ekspor vaksin Covid-19 AstraZeneca dari Italia ke Australia, Uni Eropa dituding melakukan ”nasionalisme vaksin”. UE juga mendapat sorotan karena program vaksinasinya yang berjalan lambat.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
BRUSSELS, RABU — Presiden Dewan Eropa Charles Michel membantah tuduhan bahwa Uni Eropa menjalankan praktik ”nasionalisme vaksin”. Sementara Inggris dan Amerika Serikat melarang ekspor vaksin Covid-19, kata Michel, blok Eropa itu tidak pernah melarang ekspor vaksin.
Uni Eropa (UE) mendapat sorotan setelah program vaksinasi di negara-negara anggotanya berjalan lebih lambat dibandingkan Inggris dan AS. Selain itu, dibandingkan China, Rusia, dan India, UE juga tidak banyak mendonasikan vaksin Covod-19 ke negara-negara miskin.
Minggu lalu, UE menyetujui rekomendasi pelarangan ekspor vaksin Covid-19 AstraZeneca ke Australia oleh Italia. Michel membela sistem pengawasan ekspor vaksin yang diproduksi di UE, yang diberlakukan oleh Italia saat memblokir ekspor vaksin Covid-19 buatan AstraZeneca ke Australia.
”Tujuan kami: mencegah perusahaan yang telah menerima pesanan dan pembayaran dari kami untuk mengekspor ke negara lain di saat mereka belum memenuhi komitmennya kepada kami,” tutur Michel. ”UE tidak pernah melarang ekspor.”
Inggris membantah pernyataan Michel dengan mengatakan bahwa London tidak pernah melarang ekspor satu dosis vaksin Covid-19 pun. ”Rujukan yang menyatakan Inggris melarang ekspor vaksin atau membatasi apa pun, sepenuhnya keliru,” kata seorang juru bicara pemerintah Inggris.
”Pandemi ini adalah tantangan global, dan kolaborasi internasional dalam pengembangan vaksin akan tetap menjadi bagian tak terpisahkan dalam respons kami terhadap pandemi.”
Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab telah melayangkan surat kepada Michel untuk ”meluruskan”. Departemen Luar Negeri Inggris juga memanggil perwakilan delegasi UE untuk Inggris. ”Senang jika reaksi Inggris berujung pada peningkatan transparansi dan ekspor ke UE dan negara ketiga,” tulis Michel di Twitter, Selasa (9/3/2021) malam.
Sejak Inggris secara resmi keluar dari UE, ketegangan kedua belah pihak telah meningkat. Hubungan yang tidak harmonis selama bertahun-tahun pembahasan Brexit memuncak ketika UE mengancam akan memblokir pengiriman vaksin Covid-19 ke Irlandia Utara, wilayah Inggris yang berbatasan langsung dengan Irlandia di Eropa.
Michel mengatakan, UE akan menjadi produsen vaksin Covid-19 terdepan di dunia dalam beberapa bulan ke depan dan paling mampu beradaptasi dengan munculnya varian baru virus SARS-CoV-2.
Tanpa Eropa, kata Michel, tidak mungkin pengembangan vaksin Covid-19 berjalan dalam waktu kurang dari setahun. Solidaritas UE telah memungkinkan negara-negara miskin mendapat vaksin Covid-19 dari Eropa.
Michel juga membela strategi vaksinasi UE yang sedang mendapat kritik tajam dari publik Eropa dengan menekankan bahwa Brussels akan membagi vaksin dengan dunia dan tidak akan menggunakan vaksin untuk tujuan propaganda. ”Kita mempromosikan nilai-nilai kita.”
”Kita tidak boleh membiarkan diri kita disesatkan oleh China dan Rusia, rezim dengan nilai-nilai yang sesuai dengan kita, yang membagikan sedikit vaksin, tetapi dipublikasikan secara luas,” tutur Michel.
Program vaksinasi Covid-19 di negara-negara UE berjalan lambat karena tersendatnya pasokan vaksin dari AstraZeneca. Ini membuat sejumlah negara anggota UE, seperti Hongaria, Ceko, dan Slowakia, mulai melirik vaksin yang belum mendapat izin penggunaan darurat dari Badan Pengawas Obat-obatan Eropa (EMA), yakni Sputnik V dari Rusia dan vaksin Covid-19 dari China.
Kontribusi Jerman
Terkait kedatangan pengiriman pertama vaksin Covid-19 melalui mekanisme Covax sebanyak 1,1 juta dosis di Jakarta pada Senin (8/3/2021), Kedutaan Besar Jerman untuk Indonesia melalui keterangan tertulis menyatakan bahwa Jerman adalah salah satu donor terbesar Covax. Kiriman itu merupakan pengiriman pertama dari 11,7 juta dosis vaksin AstraZeneca dari Covax yang dikirimkan ke Indonesia hingga Mei 2021.
Covax, mekanisme global untuk pengadaan dan penyediaan vaksin yang digalang oleh aliansi GAVI, WHO, dan CEPI, menargetkan penyediaan 2 miliar vaksin untuk seluruh negara peserta Fasilitas Covax hingga akhir 2021. Kedutaan Jerman menyebutkan, kontribusi Jerman untuk Covax sebesar 2,2 miliar euro atau sekitar Rp 25 triliun.
”Saya bahagia melihat kiriman pertama vaksin AstraZeneca telah tiba di Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Sebanyak 1,1 dosis vaksin siap pakai ini hanyalah batch pertama dari ronde pertama vaksin untuk Indonesia sejumlah 11,7 juta dosis yang akan tiba di Indonesia hingga Mei 2021, dan lebih banyak akan datang,” kata Peter Schoof, Duta Besar Jerman untuk Indonesia, dalam keterangan tertulis itu.
”Jerman bangga menjadi salah satu donor terbesar Covax dengan kontribusi (total) lebih dari 2,2 miliar euro. Tidak ada yang aman hingga semua orang aman!” lanjut Schoof.
Disebutkan bahwa Jerman sejak awal memilih untuk fokus pada langkah bersama melawan pandemi dalam jiwa solidaritas. Kuncinya adalah menjamin akses global dengan harga terjangkau terhadap alat deteksi infeksi, obat-obatan untuk penanganan penyakit, dan yang paling utama vaksin untuk pencegahan.
Pada akhir tahun lalu, setelah ”Access to Covid-19 Tools Accelerator” (ACTAccelerator) dibentuk, Jerman berkontribusi 600 juta euro pada skema ini. Pada akhir Februari 2021 Jerman menambahkan dana 1,5 miliar euro untuk ACTAccelerator. Sebagian besar dana akan disalurkan untuk Covax, sebagian akan digunakan untuk alat diagnostik dan obat-obatan untuk penanganan Covid-19. (REUTERS/AFP/SAM)