Diplomasi kesehatan global seharusnya fokus pada pemerataan akses dunia terhadap vaksin dan terapi untuk meningkatkan kesehatan populasi dunia, bukan meningkatkan pengaruh di kawasan demi kepentingan politik dan ekonomi.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
Kompas
Pekerja bandara menurunkan vaksin Covid-19 kiriman COVAX dari pesawat di Bandara Internasional Kotoka di Accra, Ghana, 24 Februari 2021.
Dunia menyaksikan kabar menggembirakan ketika sejumlah negara Afrika mulai menerima kiriman vaksin Covid-19 dari COVAX, sebuah m ekanisme pengadaan vaksin Covid-19 global. Hanya dalam 10 hari terakhir, sebanyak 12 juta dosis vaksin Covid-19 telah dikirim ke 19 negara miskin dan berkembang.
Negara-negara miskin yang semula tidak memiliki akses atas vaksin Covid-19 yang berkhasiat itu kini mendapat vaksin Covid-19 buatan Pfizer-BioNTech dan AstraZeneca-Oxford yang punya efikasi masing-masing 95 persen dan 70 persen. Program vaksinasi Covid-19 di negara seperti Rwanda, Kenya, dan Nigeria pun mulai berjalan.
Di tengah kebutuhan dunia akan vaksin Covid-19 yang melebihi kapasitas produksinya, COVAX hadir untuk “menata” distribusi barang publik ini agar merata dan setiap negara memiliki akses yang sama. Diplomasi kesehatan multilateral seperti inilah yang sejak lama berperan krusial dalam mengatasi wabah penyakit global, dimulai ketika dunia berusaha melakukan eradikasi cacar di awal abad ke-19.
Satu ekspedisi penting dalam diplomasi vaksin saat eradikasi cacar yang sering terlupakan adalah ketika dokter Francisco Xavier Balmis Berenguer dan Jose Salvany mengemban tugas dari Charles IV dari Spanyol untuk membawa vaksin cacar ke teritori Spanyol di Amerika dan Timur Jauh. Setelah vaksinasi cacar dilakukan di Puerto Rico, Kuba, Venezuela, Ekuador, Peru, Bolivia, Chile, Meksiko, dan Filipina ekspedisi pun kembali ke Eropa.
Diplomasi vaksin juga terjadi ketika pada Sidang Tahunan Organisasi Kesehatan Dunia (WHA) tahun 1988 diadopsi resolusi eradikasi polio global. Sejumlah pemerintahan, Pusat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (CDC) Amerika Serikat, Rotary Internasional, WHO, dan UNICEF dengan dukungan Bill & Melinda Gates Foundation meluncurkan Inisiatif Eradikasi Polio Global.
AP/BEN CURTIS
Seorang bayi menerima vaksin polio di Pusat Kesehatan Ibu Anak Madinah di Mogadishu, Somalia, Rabu (24/4/2013). Otoritas kesehatan di Afrika pada Selasa (25/8/2020) waktu setempat atau hari ini waktu Indonesia, akan mengumumkan bahwa benua Afrika bebas dari virus polio liar setelah upaya puluhan tahun, meskipun kasus polio yang diturunkan dari vaksin masih memicu wabah penyakit yang melumpuhkan di lebih dari selusin negara.AP/Ben Curtis
Sejarah mencatat bahwa diplomasi kesehatan global memiliki fokus untuk memastikan akses universal negara berpenghasilan rendah dan menengah terhadap vaksin. Namun, dalam pandemi Covid-19 diplomasi vaksin menuju ke arah yang berseberangan. Alih-alih mencapai kesetaraan kesehatan global, negara-negara kaya memanfaatkan diplomasi vaksin sebagai sarana untuk memperkuat pengaruh di kawasan.
Negara-negara kaya mengambil pendekatan “saya duluan” dalam distribusi vaksin Covid-19. Tanpa COVAX, kesetaraan vaksin tidak akan terwujud dan nasionalisme vaksin negara-negara kaya akan meninggalkan negara miskin dalam antrean panjang vaksin Covid-19 hingga 2023.
Kesetaraan vaksin global yang selalu digaungkan banyak pihak sejak pandemi Covid-19 setahun lalu sangat bergantung pada keberhasilan COVAX yang bertekad menyediakan akses bagi, terutama, 46 negara yang belum mengamankan kebutuhan vaksin Covid-19 melalui skema bilateral maupun regional atau donasi dari negara lain.
Jika melihat peta sebaran donasi vaksin Covid-19 maka akan terlihat bahwa China, misalnya, mendonasikan vaksin ke negara-negara yang berada dalam jalur Prakarsa Sabuk dan Jalan (BRI) sedangkan India menjadikan donasi vaksin sebagai alat untuk memperkuat pengaruhnya terhadap negara-negara tetangganya di Asia Tengah.
Di sisi lain, AS yang memiliki akses besar pada vaksin Covid-19 memilih untuk mementingkan kebutuhan dalam negerinya sendiri. Baru pada pertemuan G7 Presiden Joe Biden memberikan komitmen pendanaan pada COVAX sebesar empat miliar dollar AS.
Dalam pidatonya saat peresmian Pasteur Institute di Paris tahun 1888, Louis Pasteur menyatakan, “sains tidak mengenal negara, karena pengetahuan adalah milik manusia dan merupakan obor yang menerangi dunia.” Di tengah pandemi seperti sekarang, negara-negara di dunia perlu menyalakan kembali obor solidaritas untuk menghadapi beban kesehatan global bersama-sama.