Myanmar memiliki dua perwakilan di Markas Besar PBB. Satu wakil mengklaim mewakili pemerintahan sipil pimpinan Presiden Win Myint, yang ditahan militer. Satu wakil lain ditunjuk pemerintahan junta hasil kudeta militer.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·5 menit baca
NEW YORK, KAMIS — Krisis politik pascakudeta militer di Myanmar berujung pada dualisme perwakilan tetap negara itu di Markas Besar Perserikatan Bangsa-Bangsa, New York, AS. Persoalan ini tengah ditangani Komite Kredensial, yang beranggotakan sembilan negara.
Seperti dijelaskan pada Aturan 27 dan 28 Tata Prosedur Majelis Umum, komite itu bertugas memeriksa kredensial perwakilan negara anggota PBB dan melaporkannya pada majelis umum. Majelis umum ini nantinya mengambil keputusan final terkait dualisme itu.
Duta Besar Kyaw Moe Tun melalui surat kepada Presiden Majelis Umum PBB Volkan Bozkir dengan tembusan kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Selasa (2/3 /2021) waktu AS, berkukuh menyatakan dirinya tetap menjadi Dubes Myanmar di PBB. Namun, menurut jubir PBB Stephane Dujarric, di hari yang sama kantor Sekjen PBB Antonio Guterres diberi tahu bahwa junta Myanmar telah memberhentikan Kyaw Moe Tun dan menunjuk deputinya, Tin Maung Naing, sebagai kuasa usaha Myanmar untuk PBB.
”Jujur, kami berada dalam situasi sangat unik yang belum pernah kami lihat dalam waktu lama,” kata Dujarric. ”Kami mencoba memilah-milah semua implikasi hukum, protokol, dan lainnya serta mencoba menyelesaikan berbagai hal secepat mungkin dari pihak kami.”
Dalam suratnya, Dubes Kyaw Moe Tun menyatakan bahwa dirinya diangkat oleh Presiden Win Myint saat itu—dan hingga kini tetap menjadi presiden Myanmar yang dipilih secara sah—dan oleh Menteri Luar Negeri Aung San Suu Kyi pada 4 September 2020. ”Pelaku kudeta tidak sah terhadap pemerintah demokratis Myanmar tidak memiliki kewenangan untuk melawan otoritas sah presiden negara saya,” katanya.
”Oleh karena itu, saya ingin mengonfirmasi kepada Anda bahwa saya tetap menjadi perwakilan tetap Myanmar untuk PBB,” kata Kyaw Moe Tun menegaskan.
Adapun surat kedua, ditujukan kepada Sekjen PBB Guterres, dikirim Kementerian Luar Negeri Myanmar. Dalam surat yang diterima PBB pada Selasa itu, menurut Dujarric, tidak disebutkan adanya kudeta militer di Myanmar terhadap pemerintahan sipil. Sebagaimana diwartakan kudeta militer itu dilakukan pada 1 Februari 2021. Kudeta itu diiringi dengan penangkapan dan penanahan rumah atas sejumlah tokoh politik senior Myanmar, termasuk terhadap Suu Kyi.
Adapun surat junta Militer Myanmar dilayangkan ke Sekjen PBB menyebutkan semua tugas dan tanggung jawab Kyaw Moe Tun sudah dicabut sejak 27 Februari lalu sehingga tidak lagi boleh diakui akreditasinya di Majelis Umum PBB. Surat tersebut menggunakan kop surat Kementerian Luar Negeri Myanmar, tetapi tak ditandatangani.
Dujarric mengatakan, PBB belum menerima pemberitahuan secara resmi adanya perubahan dalam pemerintahan Myanmar sejak kudeta militer.
Sebagaimana diwartakan, militer Myanmar melancarkan kudeta militer pada 1 Februari lalu. Kudeta itu diiringi dengan penangkapan dan penahahan rumah atas sejumlah tokoh politik Myanmar, termasuk Suu Kyi dan Presiden Win Myint.
Di tengah perhatian dunia terhadap gejolak di Myanmar, pada Jumat (26/2) pekan lalu Dubes Kyaw Moe Tun menyampaikan pidato yang dramatis dalam pertemuan Majelis Umum PBB. Saat itu, ia mendesak semua negara agar tidak mengakui rezim militer dan meminta para pemimpin negara menghormati hasil pemilu Myanmar yang dimenangi partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Suu Kyi.
Kyaw Moe Tun juga menyerukan ”tindakan sekuat mungkin dari komunitas internasional” untuk memulihkan demokrasi di Myanmar. Dia mendesak semua negara untuk mengecam keras kudeta di negaranya.
”Sudah saatnya militer segera melepaskan kekuasaan dan membebaskan mereka yang ditahan, termasuk Suu Kyi dan Presiden Win Myint,” kata Kyaw Moe Tun dalam sidang itu. ”Kami akan terus berjuang untuk pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.”
Jajaran anggota parlemen yang digulingkan dalam kudeta itu telah membentuk komite. Kyaw Moe Tun mengatakan bahwa merekalah otoritas yang sah dan ini harus diakui oleh komunitas internasional.
18 orang tewas
Dari Yangon dilaporkan, respons keras aparat Myanmar kembali mengakibatkan korban sipil. Sedikitnya 18 orang tewas ketika pasukan keamanan Myanmar menembaki pengunjuk rasa prodemokrasi dalam demonstrasi di beberapa kota, Rabu (3/3). Dua pengunjuk rasa tewas di Mandalay, empat lainnya di sebuah wilayah di Myanmar tengah, dan dua korban tewas lain adalah peserta unjuk rasa di kota Myingyan. Beberapa korban tewas adalah pengunjuk rasa berusia 20 tahunan.
Seorang dokter yang tidak bersedia disebut namanya mengungkapkan, salah korban tewas di Mandalay ditembak di kepala dan satu lagi di dada. Thet Thet Swe, dari klinik penyelamatan Myingyan, memastikan seorang pemuda ditembak di kepala dan meninggal.
”Pemuda itu bernama Zin Ko Ko Zaw berusia 20 tahun; dia ditembak mati di tempat dan tim saya merawat 17 orang yang terluka,” kata seorang anggota tim penyelamat. Sejumlah saksi menyebutkan aparat keamanan menembakkan gas air mata, peluru karet, dan peluru tajam untuk menghalau para demonstran.
Kondisi di Myanmar terus mendapatkan perhatian dunia internasional. Dari Vatikan, Paus Fransiskus mengatakan, harapan rakyat Myanmar tidak dapat ”dicekik oleh kekerasan”. Ia sekali lagi menyerukan pembebasan tahanan politik di Myanmar. Paus mengimbau langsung kepada otoritas militer Myanmar agar menggelar dialog dengan pemimpin sipil dan warga.
Paus juga mengimbau masyarakat internasional ”untuk menjaga agar harapan rakyat Myanmar tidak tercekik oleh kekerasan”. Kaum muda di negara itu, katanya, berhak atas masa depan ”di mana kebencian dan ketidakadilan memberi jalan untuk bertemu dan rekonsiliasi”.
Paus Fransiskus mengulangi seruan yang pertama kali dia buat bulan lalu. Kala itu, Paus meminta para pemimpin militer Myanmar untuk membuat gerakan rekonsiliasi yang konkret dengan membebaskan tahanan politik. Paus pernah mengunjungi Myanmar pada 2017. (AP/AFP/REUTERS)