Protes Warga Iringi Pendakwaan 47 Aktivis di Hong Kong
UU Keamanan Nasional digunakan untuk menjadi dasar hukum untuk dakwaan yang didefinisikan China sebagai upaya pemisahan diri, subversi, terorisme, dan kolusi dengan pasukan asing.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
HONG KONG, SENIN — Aksi protes yang diikuti sekitar 1.000 orang di luar pengadilan Hong Kong mengiringi pendakwaan 47 aktivis demokrasi, Senin (1/3/2021). Para aktivis itu dituduh melakukan konspirasi untuk melakukan tindakan subversi pada pemerintah setempat.
Mereka dituduh berkoordinasi dan berpartisipasi dalam pemilihan pendahuluan tidak resmi Juli lalu yang bertujuan memilih kandidat terkuat untuk pemilihan dewan legislatif. Pemilihan itu kemudian ditunda pemerintah dengan alasan pandemi Covid-19.
Aksi protes itu menjadi aksi unjuk rasa terbesar tahun ini di Hong Kong, di tengah sikap keras yang ditunjukkan pemerintah kepada oposisi. Polisi mengerahkan 100 personelnya untuk menjaga ketat sekitar kompleks pengadilan West Kowloon, tempat diadilinya para aktivis.
Merujuk pada pemberitaan sebelumnya, dalam dua bulan terakhir, Kepolisian Hong Kong menegakkan Undang-Undang Keamanan Nasional China dengan menangkap sekitar 100 aktivis prodemokrasi. Bulan lalu, 55 aktivis ditangkap dalam serangkaian serangan fajar.
Pada Minggu (28/2/2021), Hong Kong mengonfirmasi penangkapan 47 aktivis yang masing-masing dituduh melakukan ”konspirasi untuk melakukan subversi”.
Subversi adalah salah satu tindak kejahatan yang diatur dalam Undang-U Keamanan Nasional yang diterapkan di Hong Kong. Menurut polisi, mereka yang ditahan terdiri dari 39 laki-laki dan 8 perempuan berusia 23 hingga 64 tahun.
Pihak berwenang di Hong Kong mengatakan jajak pendapat tidak resmi yang diikuti para aktivitas itu merupakan bagian dari rencana untuk ”menggulingkan” pemerintah. Dengan alasan itu mereka layak diduga bersifat subversif.
Langkah pemerintah itu di sisi lain semakin meningkatkan kekhawatiran bahwa Hong Kong telah mengambil langkah otoriter sejak Beijing memberlakukan UU Keamanan Nasional pada Juni tahun lalu.
”Ini adalah penangkapan paling konyol dalam sejarah Hong Kong,” kata Herbert Chow (57), salah satu warga peserta aksi protes. Ia ikut berkumpu di luar pengadilan dan mengenakan topeng hitam. ”Namun saya yakin pada sistem peradilan kita untuk memulihkan keadilan. Itu adalah garis pertahanan terakhir.”
Banyak peserta aksi mengenakan pakaian hitam. Hitam adalah warna yang terkait dengan protes anti-pemerintah 2019.
Banyak peserta aksi mengenakan pakaian hitam. Hitam adalah warna yang terkait dengan protes anti-pemerintah 2019. Mereka meneriak-neriakkan sejumlah slogan yang telah populer dalam beberapa tahun terakhir.
”Bebaskan Hong Kong, revolusi zaman kita” dan ”Perjuangkan kebebasan, berdirilah dengan Hong Kong” adalah contoh slogan populer yang terdengar. Yang lainnya terlihat memberikan hormat tiga jari yang juga telah menjadi simbol protes terhadap pemerintahan otoriter di Myanmar. Saat kerumunan membengkak di luar gedung pengadilan, beberapa mengacungkan spanduk kuning besar yang bertuliskan: ”Bebaskan semua tahanan politik sekarang”.
UU Keamanan Nasional digunakan untuk menjadi dasar hukuman secara luas atas sesuatu yang didefinisikan China mencakup beberapa hal. Yakni upaya pemisahan diri, subversi, terorisme dan kolusi dengan pasukan asing. Para pelanggar UU itu harus siap denan hukuman seumur hidup di penjara.
Mereka yang ingin masuk ke kompleks pengadilan untuk melihat langsung pendakwaan terhadap para aktivis harus mengantre. Antrean itu membentang beberapa ratus meter, hampir mencapai seluruh blok. Beberapa diplomat asing juga terlihat mengantre.
Jonathan Williams, seorang diplomat Inggris pada Konsulat Inggris di Hong Kong, mengatakan, ”Jelas bahwa penggunaan UU Keamanan Nasional akan jauh lebih luas daripada yang dijanjikan pihak berwenang China dan Hong Kong.”
Dia menambahkan, Pemerintah Inggris memiliki kepercayaan penuh pada peradilan independen, untuk menangani para terdakwa secara adil dan tidak memihak tanpa tekanan politik.
Pihak berwenang menegaskan, kampanye untuk memenangkan mayoritas di Dewan Legislatif yang memiliki 70 kursi—dengan tujuan memblokir proposal pemerintah untuk meningkatkan tekanan bagi reformasi demokrasi—dapat dilihat sebagai subversif.
Di antara mereka yang dituduh adalah penyelenggara pemilihan utama dan mantan profesor hukum Benny Tai, serta aktivis terkemuka Lester Shum, Joshua Wong, dan Owen Chow.
Tuduhan itu merupakan pukulan terbaru bagi gerakan pro-demokrasi Hong Kong. Sejak UU Keamanan Nasional diberlakukan, beberapa legislator terpilih telah didiskualifikasi, puluhan aktivis ditangkap, dan lainnya terpaksa melarikan diri ke luar negeri.
Tindakan keras terhadap perbedaan pendapat dilakukan ketika para pejabat China bersiap untuk memunculkan reformasi elektoral. Kebijakan itu kemungkinan besar akan semakin mengurangi peran dan pengaruh kekuatan oposisi di kantor publik.
Ketika Beijing mengonsolidasikan cengkeramannya atas Hong Kong, kekhawatiran meningkat di Barat atas kebebasan yang dijanjikan kepada bekas jajahan Inggris itu ketika kembali ke pemerintahan China pada tahun 1997 dan yang mendukung perannya sebagai pusat keuangan global.
Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken meminta 47 orang itu segera dibebaskan. ”Partisipasi politik dan kebebasan berekspresi seharusnya bukan kejahatan,” kata Blinken di media sosial Twitter. ”AS mendukung rakyat Hong Kong.”
Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab menggambarkan tuduhan kepada para aktivis prodemokrasi itu sebagai hal yang ”sangat mengganggu”. (AFP/REUTERS)