Warga AS, John Clancey, dan 52 aktivis dituding berusaha menggulingkan pemerintahan di Hong Kong. Mereka mengumpulkan jutaan dollar Hong Kong untuk menggelar pemilu sepihak, Juli 2020.
Oleh
Kris Mada
·3 menit baca
HONG KONG, RABU — Kepolisian Hong Kong menangkap seorang warga Amerika Serikat, John Clancey, Rabu (6/1/2021). Pengacara yang berstatus penduduk tetap Hong Kong itu ditangkap bersama 52 orang lain.
Kepolisian Hong Kong menangkap 45 pria dan 8 perempuan dalam operasi yang melibatkan sedikitnya 1.000 personel tersebut. Polisi menggeledah sedikitnya 72 lokasi untuk menangkap mereka. Salah satu lokasi yang digeledah, yaitu kantor hukum Ho Tse Wai & Partners, tempat Clancey bekerja.
Selain kantornya kerap menjadi kuasa hukum para oposan Hong Kong, Clancey disebut sebagai bendahara Power for Democracy. Organisasi ini menyelenggarakan pemilu sepihak di Hong Kong pada Juli 2020. Pemilu itu tidak diakui pemerintah walau 600.000 orang memberikan suara.
”Tidak ada peserta non-aktif yang ditangkap,” kata Steve Li Kwa-wah dari Unit Keamanan Nasional Kepolisian Hong Kong merujuk pada 600.000 pemberi suara dalam pemilu sepihak itu, seperti dikutip South China Morning Post.
Kepolisian hanya menangkap orang-orang yang terlibat aktif, sebagai penyelenggara atau peserta, dalam pemilu tersebut. Sebagian dari mereka melarikan diri ke luar Hong Kong, sebagian sudah dipenjara, dan sebagian lagi ditangkap, Rabu.
Li mengatakan, keseluruhan dari 53 orang itu ditangkap karena dianggap melanggar Undang-Undang Keamanan Nasional Hong Kong yang disahkan, pekan lalu. Clancey menjadi warga AS pertama yang ditangkap berdasarkan UU tersebut.
Selain menangkap 53 orang, polisi juga menyita 1,6 juta dollar Hong Kong dari mereka. Dana itu sisa penyelenggaraan pemilu sepihak pada Juli 2020.
Menteri Keamanan Hong Kong John Lee Ka-chiu menyebut tindakan 53 orang yang ditangkap itu sebagai upaya perusakan. Mereka dinyatakan berusaha menggulingkan pemerintah atau setidaknya berusaha mengacaukan pemerintahan yang bekerja menurut hukum.
Lee mengatakan, para oposan telah menyusun 10 langkah. ”Termasuk memobilisasi kerusuhan massal, melumpuhkan masyarakat, dan mendorong sanksi internasional,” katanya.
Reaksi
Penangkapan itu mengundang reaksi beragam. Calon menteri luar negeri AS pada pemerintahan Joe Biden, Antony Blinken, menyebut penangkapan itu sebagai serangan terbuka terhadap upaya pendampingan hak mendasar. AS akan tetap bersama warga Hong Kong melawan pemberangusan demokrasi oleh China.
Sementara anggota parlemen Hong Kong yang mendukung pemerintah, Priscilla Leung Mei-fun, mendesak polisi menyelidiki dugaan pelanggaran Pasal 22 UU Keamanan Nasional oleh 53 orang itu. Dalam pasal tersebut diatur bahwa siapa pun yang menyelenggarakan, merencanakan, terlibat, atau mendukung tindakan yang mengganggu, melemahkan, atau mengacaukan fungsi dan tugas pemerintah dapat disebut sebagai tindakan subversi.
Sementara itu, anggota parlemen yang mendukung oposisi, Ronny Tong Ka-wah, menolak pemilu sepihak Juli 2020 sebagai bentuk subversi. Kalaupun para peserta pemilu itu benar-benar menjadi anggota parlemen, hal wajar jika parlemen menolak rancangan APBN.
Aktivis Hong Kong yang lari ke Inggris, Nathan Law, mengatakan bahwa konstitusi Hong Kong memungkinkan parlemen menolak rancangan APBN. Ia tidak benar-benar menyangkal tudingan John Lee tentang rencana ”10 Langkah” tersebut.
Rencana itu disusun oleh pakar hukum tata negara Hong Kong, Benny Tai, Maret 2020. Rencana tersebut bertujuan mengonsolidasikan kekuatan oposisi Hong Kong agar bisa meraih lebih dari separuh kursi di parlemen Hong Kong.
Parlemen Hong Kong mempunyai 70 kursi, 35 kursi didapat lewat pemilihan langsung, sedangkan 35 kursi lain diduduki lewat suara perwakilan. Dengan menduduki lebih dari 35 kursi di parlemen, oposisi bisa mendesakkan agenda-agenda mereka kepada pemerintah. Benny menyebut langkah itu sebagai senjata konstitusional. (AP/AFP/REUTERS/RAZ)