Cegah Ebola Meluas, Guinea Lacak Warga yang Kontak dengan Penderita
Menteri Kesehatan Guinea Remy Lamah menegaskan negaranya punya mekanisme dan strategi yang bisa menghentikan penyebaran ebola dengan cepat. Ia yakin, situasinya tak akan seperti 2013-2016 yang menewaskan 11.300 orang.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
CONAKRY, SELASA — Otoritas kesehatan di Guinea, Afrika Barat, gencar melacak warga Guinea yang berpotensi menjalin kontak dengan pasien virus Ebola. Korban tewas akibat Ebola di Guinea bertambah. Setelah sebelumnya empat orang tewas, dilaporkan kini ada lima orang lagi yang tewas.
Ebola kembali muncul sejak epidemi di Afrika Barat selama 2013-2016 yang menewaskan 11.300 orang di Guinea, Liberia, dan Sierra Leone. Menteri Kesehatan Guinea, Remy Lamah, Senin (15/2/2021), menegaskan bahwa Guinea telah memiliki mekanisme, strategi, dan perlengkapan yang mampu menghentikan penyebaran Ebola dengan cepat.
”Pada 2013, butuh waktu berbulan-bulan untuk mengetahui wabah pada waktu itu, yang ternyata epidemi ebola. Sekarang, hanya dalam waktu kurang dari empat hari, kita sudah mampu menganalisis dan mendapat hasilnya. Kita punya tim medis terlatih,” ujarnya.
Dari lima orang yang tewas itu, hanya satu yang terkonfirmasi positif ebola. Sementara empat orang lainnya masih ”diduga ebola”. Selain korban tewas, ada dua orang juga yang masih diawasi karena positif ebola dan 10 orang lagi menunjukkan gejala-gejala ebola.
Kasus ebola pertama di Guinea ditemukan pada perawat asal Nzerekore berusia 51 tahun yang meninggal, akhir Januari lalu. Dua saudara perawat itu yang ikut hadir dalam pemakamannya juga meninggal, 1 Februari lalu. Belum diketahui kepastian jumlah korban yang lain, dan apakah mereka juga ikut hadir dalam pemakaman perawat tersebut. Yang jelas, tujuh orang yang hadir di pemakaman itu positif ebola, tiga orang di antaranya dalam kondisi kritis.
Untuk memastikan kasus ebola itu, kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Guinea mengirimkan tim ahli dan perlengkapam sanitasi ke Nzerekore. Perdana Menteri Guinea Ibrahima Kassory Fofana mengatakan, Guinea telah membentuk tim untuk menangani epidemi ini. ”Tidak perlu panik. Kita jalani saja instruksi sanitasi yang ada. Ebola pasti bisa kita kalahkan lagi,” tulisnya di Twitter.
Ebola menyebabkan demam tinggi, dan pada kasus yang terparah bisa menyebabkan pendarahan terus-menerus. Ebola ditularkan melalui kontak dengan cairan tubuh korban. Seseorang yang tinggal bersama dengan penderita ebola atau merawat pasien ebola termasuk paling berisiko tertular. Sampai saat ini belum diketahui siapa yang menulari perawat yang tewas pada akhir Januari lalu.
Vaksinasi
Perwakilan Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) di Guinea, Alfred George Ki-Zerbo, memperkirakan, vaksin ebola akan tiba di Guinea, yang berpenduduk 13 juta, dalam waktu 72 jam ke depan. ”Prioritas kami mengetahui risiko ebola dan menganalisis dimensi lintas perbatasan karena virus ini muncul lagi di dekat perbatasan Liberia,” ujarnya.
Koordinator Ebola untuk Dokter Lintas Batas (MSF) Anja Wolz mengatakan bahwa pihaknya akan mengirimkan tim medis berpengalaman untuk menemui masyarakat setempat dan menjelaskan pentingnya mematuhi protokol kesehatan. ”Kita tidak bisa datang tiba-tiba memberi instruksi, lalu pakai kostum seperti astronot. Pasti akan ditolak masyarakat,” ujarnya.
WHO memperingatkan potensi risiko di kawasan regional. Untuk mencegah hal itu, Ki-Zerbo sudah meminta otorisasi untuk mendapatkan dosis vaksin sebanyak mungkin. Organisasi-organisasi internasional, termasuk Komite Internasional Palang Merah (ICRC), Medecins Sans Frontieres (MSF), dan badan amal medis ALIMA akan mengirimkan tim reaksi cepat ke Guinea. Kampanye vaksinasi Ebola pun sudah dimulai di Kongo timur, Senin.
”Kita sudah punya pengalaman dari wabah ebola yang dulu dan peralatan serta strategi mekanisme untuk menghadapi ini. Kali ini, penanganan mungkin akan lebih baik,” kata Ki-Zerbo, yang juga menekankan perlunya melibatkan dan mendengarkan pandangan masyarakat setempat.
Sierra Leone juga telah mengirim petugas khusus untuk mengawasi pintu-pintu masuk di perbatasan, bekerja sama dengan otoritas Guinea. ”Kami mengkhawatirkan tingkat risiko bahaya penyakit ini karena lima tahun lalu sangat parah. Kami tidak mau ada di dalam situasi seperti itu lagi,” kata Lamah. (REUTERS/AFP)