Tren Menukar Pakaian di Singapura, Tetap Keren Memakai Baju Bekas
Untuk membantu mengatasi dampak industri busana pada lingkungan, seorang perancang busana di Singapura membuka toko yang melayani barter baju bekas. Dengan cara ini, orang masih bisa dandan keren tanpa merusak Bumi.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Biasanya, selama 15 hari libur Imlek, Sue-Anne Chng (35) setiap hari berganti baju baru. Memakai baju baru dianggap sebagai simbol memulai awal yang baru. Namun, itu dulu. Mulai tahun ini, Chng memilih memakai baju bekas pantas pakai saja, hasil barter dengan baju lamanya.
Chng menukarkan baju-baju miliknya dengan baju lain yang tersedia di toko baju khusus bagi siapa saja yang peduli pada dampak mode terhadap lingkungan. Kesadaran baru menjaga lingkungan itu lalu menghadirkan inisiatif menukar barang di toko-toko khusus. Sebagian toko-toko ini dibuka permanen, tetapi ada juga kios-kios yang dibuka saat ada acara khusus saja.
Inisiatif ini mendorong masyarakat memakai baju yang sudah mereka miliki saja. Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutkan, industri mode atau busana selama ini bertanggung jawab atas emisi karbon global. Industri pakaian menimbulkan emisi, mulai dari pabrik, transportasi, hingga saat dicuci konsumen.
Ketika datang ke toko favoritnya, The Fashion Pulpit, Chng membawa beberapa pakaiannya, seperti rok dan kemeja. Kemudian ada karyawan toko yang menaksir baju-bajunya, lalu memberikan poin kredit ke ”rekening”-nya. Chng lalu menggunakan poin-poinnya untuk ”membeli” 17 barang, termasuk rok kuning dan hijau yang dipakainya pada hari pertama Imlek itu.
Rok berwarna kuning dan hijau terlihat seperti nanas, yang dianggap sebagai simbol kesejahteraan dan biasanya diberikan sebagai hadiah atau dipajang saat Imlek di Singapura. ”Selama ini orangtua saya membiasakan kami memakai baju baru saat tahun baru Imlek. Itu yang membuat saya terjebak dalam perilaku konsumtif,” ujar Chng.
Dulu, Chng selalu membeli 15 baju baru yang akan dipakai selama 15 hari liburan meski ia tidak berkunjung ke rumah saudara-saudaranya. ”Itu sudah kelewatan. Sekarang, selama baju itu baru saya beli di toko, tidak perlu baru, itu sudah cukup,” ujarnya.
Chng pertama kali mengetahui ada inisiatif menukar baju saat di kantor menggelar acara khusus, lima tahun lalu. Ia memutuskan mengubah kebiasaan hidupnya setelah menyadari di lemari bajunya masih banyak baju yang belum dipakai. ”Lebih dari separuh baju di lemari saya belum dipakai, tetapi saya masih merasa tidak punya baju,” ujarnya.
Chng membayar 450 dollar AS setahun untuk keanggotaan di The Fashion Pulpit. Dengan menjadi anggota, ia bisa menukarkan bajunya tanpa batas. Kini, 80 persen bajunya datang dari toko itu. ”Dengan menukar baju terus, saya jadi seperti bunglon, tetapi di sisi lain saya juga sadar lingkungan,” ujarnya.
Di Singapura saja, menurut data pemerintah 2019, produksi limbah tekstil dan kulit mencapai 168.000 ton atau seberat 400 pesawat Boeing 747. Untuk membantu mengatasi dampak industri ini pada lingkungan, perancang busana Filipina, Raye Padit, membuka The Fashion Pulpit, tiga tahun lalu. ”Masalah di Singapura itu konsumsi yang berlebihan dan limbah,” ujarnya.
Dengan membuka The Fashion Pulpit, Padit berharap, pihaknya menyediakan platform di mana orang masih tetap bisa dandan keren dan mengekspresikan dirinya sendiri melalui pakaian, tetapi tidak membuat bangkrut dan merusak Bumi. Kini, perusahaannya memiliki 1.500 anggota dan mulai menghasilkan keuntungan. Ia juga membuka bengkel tempat konsumen bisa belajar memperbaiki atau memodifikasi baju bekas pantas pakai.
Lama-kelamaan orang menukarkan apa saja, mulai dari baju kasual merek lokal hingga merek terkenal dan mewah, seperti tas Prada dan sepatu Louboutin.
Di Singapura kini semakin banyak acara tukar baju. Hampir setiap bulan ada. ”Dengan bergabung di gerakan ini, saya selalu diingatkan untuk belanja dengan berkesadaran,” kata Nadia Kishlan (30).
Meski gerakan ini mulai banyak pengikutnya, tetap saja tak mudah mengajak warga Singapura untuk tidak belanja dan hanya menukar barang saja. Toko-toko barang bekas memang sangat popule di negara-negara Barat, tetapi tidak populer di Asia. Ini sebagian karena banyak yang masih percaya memakai baju bekas dari orang asing bisa mendatangkan sial. Alasan lainnya soal masalah kebersihan.
Akan tetapi, perlahan mulai ada perubahan karena didorong kesadaran lingkungan yang makin tinggi dan gelombang toko baju bekas yang berpromosi di media sosial. ”Ini mengubah persepsi soal barang bekas. Barang bekas bukan lagi barang kotor dan berdebu, melainkan malah keren,” kata Padit. (AFP)