Hidup Barang Bekas!
Jangan menyepelekan barang bekas. Anak muda zaman ”now” kini justru memburunya. Dengan barang bekas, mereka bisa bergaya retro dan menikmati gaya hidup generasi zaman ”then”. Mereka yang jeli melihat peluang lantas menyulap barang bekas menjadi uang.
Lihatlah pemandangan di pasar Tumpah Ruah yang digelar di Gudang Sarinah, Jakarta Selatan, setiap awal bulan pada pukul 10.00-22.00. Anak muda dari berbagai kalangan tumpah ruah berburu barang bekas, mulai dari sepatu, tas, buku, piringan hitam, kamera, dompet, baju, sampai alat catok rambut. Di pasar tumpah itu ada sekitar 100 pedagang, 50 persen di antaranya berjualan barang bekas.
Di antara kerumunan anak muda yang datang ke pasar Tumpah Ruah, Sabtu (14/4/2018), ada Angie, mahasiswi Jurusan Manajemen Monash University di Kuala Lumpur, Malaysia, yang sedang mencari kamera bekas di sebuah lapak. Beberapa kali ia mencoba kamera analog yang masih menggunakan film itu. Tidak lama kemudian, ia membayar kamera itu seharga Rp 350.000.
”Aku sedang belajar fotografi, tetapi penginnya, sih, belajar pakai kamera dengan film, bukan kamera digital. Aku senang kamera lama karena bergaya retro,” tuturnya.
Meski dari keluarga berkecukupan, Angie tak malu memakai kamera bekas. ”Aku baru sekali ke sini. Kata teman, kalau mau cari kamera bekas lebih baik ke Tumpah Ruah,” katanya.
Hari itu, Ali dan Ema, mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta, juga berburu barang bekas di Tumpah Ruah. Bahasa kerennya adalah thrift shopping. ”Sudah dua tahunan ini aku sering mencari barang-barang bekas yang masih layak pakai. Pernah, sih, mencari ke Pasar Kebayoran Lama,” kata Ema.
Ema dan Ali keranjingan berburu barang bekas karena harganya murah. Baju bekas yang lumayan bagus bisa diperoleh seharga Rp 20.000 sampai Rp 30.000 per potong. ”Kalau mau belanja ke sini, cukup bawa uang Rp 100.000 sampai Rp 150.000 sudah bisa bawa pulang tiga sampai lima potong. Murah, kan,” ujar Ema.
Prinsip dua mahasiswa itu, kalau bisa beli baju baru dengan harga murah, mengapa harus beli baju dengan harga mahal. ”Kami ini mahasiswa yang duitnya terbatas. Mau bergaya dengan baju baru jelas enggak terjangkau,” kata Ali sembari memperlihatkan celana cutbray yang ia beli.
Pasar Tumpah Ruah hanya salah satu tempat untuk mencari barang bekas. Ismi Ulfah, mahasiswa Jurusan Desain Grafis Universitas Multimedia Nusantara, sejak 2017 berburu pakaian bekas bergaya vintage tahun 1950-1990-an di Pasar Baru. ”Anak-anak desain sekarang, kan, tampilannya vintage. Menurut gue keren aja,” ucapnya.
”Di Pasar Baru memang agak mahal dan kita enggak mungkin mendapatkan barang yang harganya Rp 5.000 seperti di Pasar Senen,” katanya. Sebagai contoh, jaket jins bekas seharga Rp 175.000. Di Pasar Senen, harga barang itu bisa Rp 100.000.
Membeli pakaian bekas tidaklah mudah. Menurut Ismi, dibutuhkan keberuntungan yang acap diistilahkan ”jodoh”. Hal itu menjadi bagian suka duka dari pejuang pencari pakaian bekas.
Berbeda dengan Ismi, Ni Luh Raunala Maruti punya pengalaman tersendiri saat belanja pakaian bekas di Jepang. Cewek yang kini kuliah di Ritsumeikan Asia Pacific University, Beppu, itu mengatakan, setelah tinggal di Jepang, kegemarannya berburu barang bekas makin kuat. ”Di Jepang, barang-barang di mal memang mahal. Makanya, gue beli baju bekas, khususnya baju yang aneh-aneh dan unik,” ujarnya.
”Gue pernah ke Tokyo, di sana pakaian bekas minimal harganya Rp 200.000. Bajunya lebih aneh-aneh lagi di sana, mulai dari kemeja sampai rok yang warna-warni bisa sampai Rp 500.000,” ucap Maruti.
Kakek dan nenek
Dari mana penjaja barang bekas memperoleh pasokan? Fina Natalia dan Ignasius, pemilik The Second Hand Vintage Brown, yang membuka lapak di Tumpah Ruah, mengatakan mendapat pasokan pakaian bekas dari seorang pedagang di Pasar Senen, Jakarta Pusat.
Mereka membeli per bal setiap satu bulan sekali. Pakaian-pakaian yang mereka dapatkan langsung dicuci untuk menghilangkan kuman yang menempel pada pakaian. Mereka juga mengerahkan kakek, nenek, om, tante, dan saudara untuk memasok pakaian bekas bergaya tahun 1950-an hingga 1980-an.
Umumnya anak muda yang berjualan barang bekas juga penggemar barang bekas. Ari, penjual kamera, misalnya, senang mengumpulkan kamera jadul. Beberapa kamera itu lantas ia jual. ”Untungnya lumayan. Kadang-kadang bisa dapat barang yang harganya Rp 300.000-an. Kami bersihkan dulu lensa dan bodinya. Kalau ada yang rusak, ya, dibawa ke kawan yang bisa servis kamera, setelah itu dijual seharga Rp 450.000-Rp 500.000.”
Cindy Gani, satu dari dua pendiri toko daring Bukan Barang Biasa, juga penggemar barang bekas. Cindy bersama kakaknya, Windy Gani, dulu waktu SMP suka datang ke pameran baju bekas. Ketika keduanya kuliah, mereka mulai berbisnis baju dan sepatu bekas yang mereka dapat dari Pasar Gedebage, Bandung.
Mereka datang sendiri ke sana, berdesakan-desakan dengan pengunjung lain di tengah pasar yang kadang banjir, berdebu, panas, dan beraroma apek demi mendapatkan baju bekas. Awalnya, mereka membeli 18 baju dan jaket bekas. Tanpa dicuci, baju-baju langsung mereka jual lewat Instagram. Tak disangka, dalam waktu singkat, dagangannya ludes. ”Saya merasa surprise. Wow, padahal belum dicuci, tetapi saya beri tahu kepada pembeli, baju bekas itu belum dicuci,” kata Cindy.
Pengalaman pertama yang sukses membuat ia dan Windy makin giat. Sebulan sekali ia ke Bandung untuk berbelanja baju. Namun, jangan mengira, gangguan yang dialami Cindy dan Windy hanya hawa panas, becek waktu hujan, dan bau baju apek yang pernah membuat Windy pingsan. Suatu kali, Cindy yang bertugas membawa baju ke tempat kos di Tangerang Selatan pernah mendapat kejutan istimewa. Saat ia memilah baju, tiba-tiba seekor kecoa keluar dari tumpukan baju bekas. Ia menjerit-jerit karena kaget.
Untuk selanjutnya, Cindy dan Windy menjual baju yang sudah dicuci di laundry sehingga baju kelihatan lebih rapi dan wangi. Untuk membuat baju enak dipandang, cewek mungil ini menjadi model dari barang dagangannya.
Pemilik Toko Misteri di BSD City, Tangerang Selatan, Eric Liem dan Aimee, juga pemburu barang bekas. ”Aku sudah biasa beli baju bekas saat masih SMA (tahun 2001) di Pasar Senen,” kata Eric,
Karena sering belanja di Pasar Senen, beberapa pelapak mengenal anak muda alumnus SMA Kolese Kanisius itu dengan baik. Hal itu memudahkan Eric dan Aimee untuk menyeleksi pakaian yang akan dijual di Toko Misteri. Secara umum, pakaian yang dijajakan merupakan representasi dari gaya berpakaian genre musik kesukaan Eric, yakni britpop yang jaya pada era 1990-an. Dua band, yakni Blur dan Sonic Youth, menjadi representasi tersebut.
”Pemilik lapak tahu selera aku, khususnya pakaian era 1990-an. Biasanya mereka langsung kasih tahu ke aku, sih, kalau ada pakaian yang aku cari,” tutur Eric. Salah satu contoh, kaus oblong bermotif grafik ala tahun 1990-an dengan warna neon. Ada juga motif dinosaurus yang filmnya populer pada tahun yang sama, yakni Jurassic Park.
Ternyata barang bekas dari zaman kakek-nenek, om-tante, banyak yang keren. (*)