Abaikan Peringatan Militer, Ratusan Guru di Myanmar Turun ke Jalan
”Kami para guru, kami ingin keadilan”, ”Bebaskan Ibu Aung San Suu Kyi!”, ”Runtuhkan kediktatoran militer!”, demikian yel-yel teriakan guru yang turun ke jalan di Yangon, Selasa pagi, menolak kudeta militer Myanmar.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·5 menit baca
YANGON, SELASA — Rakyat Myanmar mengabaikan peringatan militer, yang mengancam akan bertindak tegas dan melarang kumpulan massa dalam jumlah besar, dengan tetap turun ke jalan, Selasa (9/2/2021) ini. Kumpulan massa pengunjuk rasa terlihat di beberapa area di Yangon, kota terbesar di Myanmar.
Di area San Chaung, salah satu wilayah yang dilarang menggelar kumpulan massa, sekitar 200 guru turun ke jalan dan berpawai, sambil mengacungkan salam tiga jari, simbol penolakan terhadap kudeta militer. ”Kami para guru, kami ingin keadilan,” teriak mereka. ”Bebaskan Ibu Aung San Suu Kyi!,” lanjut mereka. ”Runtuhkan kediktatoran militer!”
Kumpulan massa yang lain juga terlihat di depan markas partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan Suu Kyi. Dengan mengenakan atribut-atribut warna merah—warna khas NLD—para pengunjuk rasa membawa foto-foto Suu Kyi sambil meneriakkan yel-yel tuntutan agar Suu Kyi dibebaskan. Suu Kyi (75) tetap menjadi figur populer di negaranya meski citranya di mata internasional merosot terkait dengan penanganan krisis Rohingya.
Sehari sebelumnya atau Senin kemarin, penguasa militer Myanmar mengumumkan peringatan keras. Melalui siaran televisi pemerintah, militer menyatakan akan ”menindak tegas pelanggaran-pelanggaran yang mengganggu, menghambat, dan menghancurkan stabilitas negara”. Militer juga memberlakukan larangan kumpulan orang lebih dari lima orang.
Selain itu, seperti disampaikan Kedutaan Besar AS untuk Myanmar, juga diberlakukan jam malam sejak pukul 20.00 hingga 04.00 di dua kota terbesar, Yangon dan Mandalay. Warga setempat menambahkan, akses melalui jembatan-jembatan utama penghubung Yangon dan distrik-distrik berpenduduk padat ditutup.
Dalam pidato pertamanya sejak militer mengambil alih kekuasaan sipil awal pekan lalu, Panglima Tertinggi Militer Jenderal Min Aung Hlaing yang ditetapkan sebagai pemimpin tertinggi di Myanmar saat ini menjanjikan pemerintahan yang berbeda dari junta sebelumnya. Militer Myanmar juga menolak upaya AS untuk berkomunikasi dengan penasihat negara yang kini ditahan, Aung San Suu Kyi.
Penerapan jam malam dan larangan orang berkumpul dalam kerumunan itu terutama diterapkan di dua kota utama, Yangon dan Mandalay. Dua kota ini menjadi pusat demonstrasi menentang militer sejak pekan lalu. Sepanjang Senin kemarin, puluhan ribuan warga kembali turun ke jalan memprotes langkah kudeta militer. Demonstrasi itu digelar seiring dengan pembangkangan sipil yang digalang para pekerja kesehatan sejak pekan lalu.
Junta militer sejauh ini menahan diri untuk tidak menggunakan kekerasan terhadap para pengunjuk rasa. Namun, mulai terlihat tindakan lebih keras aparat kepolisian terhadap mereka. Senin kemarin, misalnya, polisi antihuru-hara menembakkan meriam air untuk membubarkan ribuan orang yang berkumpul di Naypyidaw.
Min Aung Hlaing menegaskan, aturan militer akan berbeda kali ini karena darurat militer diberlakukan di seluruh wilayah negara itu setelah protes besar-besaran terhadap junta baru. Dalam pidato pertamanya pascakudeta yang disiarkan televisi, ia menegaskan bahwa kudeta itu dibenarkan secara konstitusional karena praktik kecurangan pemilu Myanmar, November lalu.
Min Aung Hlaing menyatakan bahwa kali ini segalanya akan ”berbeda” dari pemerintahan 49 tahun sebelumnya yang berakhir pada 2011. ”Setelah tugas masa darurat selesai, pemilihan umum multipartai yang bebas dan adil akan diselenggarakan sesuai konstitusi,” kata Min. ”Partai pemenang akan dialihkan pada tugas negara sesuai dengan standar demokrasi.”
Ia menyebutkan, Myanmar menyambut investasi asing dan juga mengumumkan pencabutan pembatasan kegiatan warga yang sebelumnya diterapkan guna menahan laju penyebaran Covid-19. Langkah pencabutan itu termasuk kebijakan pembukaan kembali sekolah dan pagoda Buddha. Min Aung Hlaing juga menjanjikan pemulangan pengungsi etnis Rohingya yang mengungsi ke Bangladesh akibat krisis di Negara Bagian Rakhine.
Militer pada awal pekan lalu menahan Suu Kyi dan puluhan anggota lain dari partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) sekaligus mengakhiri satu dekade pemerintahan sipil, serta memantik kecaman komunitas internasional. Pada Senin kemarin, misalnya, Pemimpin Katolik Paus Fransiskus kembali menyerukan pembebasan segera para tokoh politik yang dipenjara di Myanmar.
”Jalan menuju demokrasi yang dilakukan dalam beberapa tahun terakhir secara kasar terganggu oleh kudeta pekan lalu,” kata Paus pada pertemuannya dengan para diplomat di Vatikan. ”(Peristiwa) ini telah menyebabkan pemenjaraan para pemimpin politik yang berbeda, yang saya harap akan segera dibebaskan sebagai tanda dorongan untuk dialog yang tulus.”
Dari Washington dilaporkan, Pemerintah AS berupaya berkomunikasi dengan Suu Kyi, tetapi ditolak oleh junta militer Myanmar. Hal itu diungkapkan juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price. ”Kami mendukung rakyat Burma dan mendukung hak mereka untuk berkumpul secara damai, termasuk memprotes secara damai untuk mendukung pemerintah yang dipilih secara demokratis,” kata Price. Burma adalah nama lama Myanmar.
Aksi mogok berlanjut
Aksi demonstrasi di jalan-jalan kota-kota Myanmar terus berlanjut seiring pembangkangan sipil. Pada Senin kemarin, para pekerja tekstil, pegawai negeri, dan karyawan kereta api menggelar aksi mogok kerja dan ikut bergabung dalam aksi turun ke jalan.
”Ganyang kediktatoran militer” dan ”Lepaskan Daw Aung San Suu Kyi dan orang-orang yang ditangkap” adalah beberapa slogan yang menggema dalam teriakan para pengunjuk rasa. Seperti dalam unjuk rasa-unjuk rasa antikudeta lainnya, mereka juga menunjukkan salam tiga jari yang melambangkan gerakan perlawanan terhadap kudeta militer.
Seorang pekerja konstruksi, Chit Min (18), bergabung dengan demonstrasi di Yangon. Ia mengatakan kesetiaannya kepada Suu Kyi melebihi kekhawatiran tentang situasi keuangannya. ”Saya menganggur sekarang selama sepekan karena kudeta militer dan saya khawatir akan kelangsungan hidup saya,” katanya.
Selain di Yangon, gelombang demonstrasi juga terjadi Mandalay dan sebagian besar wilayah Myanmar. Mulai dari Muse di perbatasan China hingga kota-kota di bagian selatan, seperti Dawei dan Hpa-an. Di Mandalay, kota terbesar kedua di negara itu, banyak warga yang memegang foto Suu Kyi dan mengibarkan bendera merah partainya.
Dalam menghadapi gelombang perlawanan yang semakin berani, penyiar negara bagian media MRTV memperingatkan bahwa penentangan terhadap junta melanggar hukum. Mengutip pernyataan militer, media itu pun mengingatkan kemungkinan tindakan keras oleh penguasa militer.
”Tindakan harus diambil sesuai dengan hukum dengan langkah-langkah efektif terhadap pelanggaran yang mengganggu, mencegah, dan menghancurkan stabilitas negara, keamanan publik dan supremasi hukum,” demikian pernyataan yang dibacakan oleh seorang penyiar di media itu. (AP/AFP)