Afrika Selatan Tunda Pemberian Vaksin Covid-19 AstraZeneca
Rendahnya efikasi vaksin Covid-19 AstraZeneca terhadap infeksi Covid-19 ringan dan moderat membuat Afrika Selatan menunda penggunaan vaksin tersebut.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
JOHANNESBURG, SENIN — Afrika Selatan menunda penggunaan vaksin Covid-19 dari AstraZeneca-Oxford dalam program kampanye vaksinasinya karena data menunjukkan vaksin ini hanya memberikan perlindungan minimal terhadap kasus ringan hingga moderat yang justru dominan di negara ini.
Menteri Kesehatan Afrika Selatan Zweli Mkhize, Minggu (8/2/2021), mengatakan, setelah melihat data uji klinis bahwa vaksin Covid-19 dari AstraZeneca tidak menurunkan risiko infeksi virus korona varian 501Y.V2 yang menyebabkan gelombang kedua di Afrika Selatan, pemerintah akan menunggu rekomendasi pelaksanaan vaksinasi dari para pakar.
Sebelum virus korona varian baru yang lebih mudah menyebar itu muncul efektivitas vaksin Covid-19 AstraZeneca terhadap virus SARS-CoV-2 sebesar 75 persen.
Berdasarkan analisis terhadap kasus infeksi yang diakibatkan oleh virus korona varian baru, efikasi vaksin Covid-19 AstraZeneza terhadap kasus ringan dan moderat hanya 22 persen. Angka ini jauh di bawah syarat vaksin yang efektif yang ditetapkan oleh banyak otoritas kesehatan, yaitu 50 persen.
Meski demikian, studi itu tidak mengkaji apakah vaksin tersebut membantu mencegah infeksi Covid-19 parah karena uji klinisnya mayoritas melibatkan partisipan dewasa muda yang memiliki risiko infeksi berat.
Profesor Shabir Madhi yang memimpin uji klinis vaksin Covid-19 AstraZeneca di Afrika Selatan mengatakan, data uji klinis adalah gambaran kenyataan di lapangan dan kini saatnya ”menyesuaikan kembali harapan kita pada vaksin”.
Pada Sabtu pekan lalu, AstraZeneca menyatakan keyakinannya bahwa vaksin Covid-19 yang mereka kembangkan dapat mencegah infeksi parah dan sekarang mulai diadaptasikan untuk mencegah infeksi varian 501Y.V2.
Dari 2.000 partisipan uji klinis tidak ada satu pun yang menunjukkan gejala Covid-19. Ini bisa berarti bahwa vaksin tetap memiliki efek pada kasus parah meski data untuk mengambil kesimpulan definitif tidak cukup.
Afrika Selatan berharap bisa memvaksin 40 juta warganya atau dua pertiga populasi negara itu untuk mencapai level kekebalan kelompok. Namun, hingga kini belum satu dosis vaksin pun disuntikkan.
Semula, Afrika Selatan berharap bisa memberikan vaksin Covid-19 AstraZeneca kepada tenaga kesehatan setelah menerima satu juta dosis dari Serum Institute of India (SII) Senin ini. Tapi, sekarang vaksin yang akan diberikan kepada tenaga kesehatan adalah vaksin Covid-19 dari Johnson & Johnson dan Pfizer-BioNTech.
”Itu artinya program vaksinasi yang dijadwalkan dimulai Februari tetap berjalan,” kata Mkhize. ”Mulai minggu depan hingga sebulan ke depan kita menunggu kedatangan vaksin J&J dan vaksin Pfizer.”
Profesor Salim Abdool Karem, epidemiolog penasihat pemerintah, mengatakan, dengan ketidakpastian efektivitas vaksin terhadap virus korona varian baru, perlu pendekatan baru dalam vaksinasi.
Prioritas pertama vaksinasi harus bisa menurunkan angka rawat inap. Jika ini berhasil maka skalanya bisa diperluas. Sebaliknya, jika tidak berhasil menurunkan angka rawat inap, individu yang telah menerima vaksin harus ditawari vaksin yang berbeda.
Senada dengan Abdool Karem, Madhi menilai, Afrika Selatan perlu menetapkan ulang prioritas penerima vaksinasi. ”Benar-benar perlu fokus untuk mencegah kasus parah dan kasus meninggal yang mungkin saja melonjak lagi,” katanya.
Madhi memperkirakan, kemungkinan Afrika Selatan akan mengalami gelombang infeksi ketiga ketika memasuki musim dingin selama empat bulan. Akan ”sedikit sembrono” kalau tidak memakai satu juta dosis vaksin Covid-19 AstraZeneca yang masih memberikan perlindungan terhadap infeksi parah virus korona.
Wakil Direktur Jenderal di Kementerian Kesehatan Afrika Selatan Anban Pillay mengatakan, tanggal kedaluwarsa vaksin AstraZeneca adalah bulan April. Namun, pemerintah akan berbicara dengan SII untuk meminta penggantian vaksin yang tanggal kedaluwarsanya lebih panjang. (REUTERS/AFP)