Mutasi SARS-CoV-2 dari Afrika Selatan Dikhawatirkan Pengaruhi Vaksin
Munculnya virus SARS-CoV-2 galur baru hasil mutasi di Inggris dan Afrika Selatan dikhawatirkan memengaruhi efektivitas vaksin Covid-19. Karena itu, surveilans genomik diperlukan untuk mendeteksi adanya mutasi virus itu.
Oleh
Ahmad Arif
·4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Warga menunggu bus Transjakarta seusai pulang kerja di Jalan Sudirman, Jakarta Selatan, Rabu (6/1/2021). Tingginya angka harian kasus positif Covid-19 di Tanah Air dan temuan varian baru virus SARS-CoV-2 yang disebut lebih cepat menular membuat pemerintah memutuskan untuk menarik rem darurat. Pembatasan sosial berskala besar di sejumlah daerah, terutama di Pulau Jawa dan Bali, akan kembali diperketat pada 11-25 Januari mendatang.
JAKARTA, KOMPAS — Selain varian baru SARS-CoV-2 dari hasil mutasi di Inggris, kita juga harus mewaspadai varian baru dari mutasi di Afrika Selatan yang juga lebih menular. Jika varian B.1.1.7 dari Inggris ditemukan di 40 negara, varian 501Y.V2 dari Afrika Selatan ditemukan di 6 negara lain. Selain lebih menular, varian baru dari Afrika Selatan ini juga dikhawatirkan memengaruhi efektivitas vaksin.
Laporan epidemiologi mingguan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dikeluarkan pada 5 Januari 2021 menyebutkan, selama tiga minggu berturut-turut, terdapat lebih dari 4 juta kasus baru Covid-19 yang dilaporkan secara global dan kematian baru meningkat 3 persen menjadi 76.000 korban jiwa. Hal ini menjadikan jumlah kumulatif lebih dari 83 juta kasus Covid-19 dan lebih dari 1,8 juta kematian global.
”Munculnya varian terbaru SARS-CoV-2 yang berbeda menimbulkan kekhawatiran,” sebut laporan ini. Varian VOC-202012/01 atau dikenal sebagai B.1.1.7 yang awalnya ditemukan di Inggris telah terdeteksi di 40 negara. Sementara varian 501Y.V2 yang awalnya terdeteksi di Afrika Selatan telah ditemukan di 6 negara lain.
Munculnya varian terbaru SARS-CoV-2 yang berbeda menimbulkan kekhawatiran.
Pada 18 Desember 2020, Afrika Selatan mengumumkan telah mendeteksi mutasi virus yang menyebar dengan cepat dan mendominasi di tiga provinsi, yaitu Eastern Cape, Western Cape, dan KwaZulu-Natal. Varian ini dinamakan 501Y.V2 karena ada mutasi N501Y dalam protein lonjakan yang digunakan virus untuk masuk ke dalam sel di dalam tubuh.
Mutasi ini, antara lain, juga ditemukan pada varian baru yang diidentifikasi Inggris pada Desember 2020, tetapi diperkirakan beredar sejak September 2020. Kedua mutasi ini dianggap meningkatkan penularan virus sehingga penyebarannya lebih efisien.
Menurut laporan WHO, meski dua varian yang ditemukan di Inggris dan Afrika Selatan berbagi mutasi N501Y, mereka berbeda. Varian di Afrika Selatan membawa dua mutasi lain pada protein lonjakan (antara lain E484K dan K417N) yang tidak terdapat di strain atau galur Inggris bernama ”VOC-202012/01”, dengan VOC (variant of concern) atau yang kemudian dikenal sebagai B.1.1.7.
Mutasi pada E484K dari varian baru di Afrika Selatan ini mengubah ”domain pengikat reseptor”, bagian penting dari protein lonjakan yang digunakan virus untuk memasuki sel manusia. Ini juga merupakan situs penting ketika antibodi penetral yang disebabkan infeksi atau vaksinasi mengikat virus.
Tim peneliti di Fred Hutchinson Cancer Research Center di Seattle menilai kemampuan antibodi yang diambil dari orang yang sebelumnya terinfeksi SARS-CoV-2 untuk menetralkan berbagai galur baru virus korona. Di antaranya yang dikaji adalah respons terhadap mutasi baru pada E484K, yang selain ditemukan di Afrika Selatan juga telah ditemukan di Brasil.
Studi mereka, yang dirilis pada Selasa (5/1/2021) di laman biorxiv.org, belum ditinjau oleh rekan sejawat, menemukan varian baru SARS-CoV-2 yang muncul di Afrika Selatan dan Brasil yang membawa mutasi E484K akan mengurangi kemampuan netralisasi oleh antibodi serum dari beberapa individu. Penurunan kemampuan netralisasi antibodi ini bisa mencapai lebih dari 10 kali lipat.
Surveilans genomik
Peneliti genomik molekuler dari Aligning Bioinformatics dan anggota konsorsium Covid-19 Genomics UK, Riza Arief Putranto, Kamis (7/1/2021), mengatakan, semakin banyaknya mutasi baru SARS-CoV-2 yang ditemukan menunjukkan urgensi dari surveilans genomik di Indonesia. Sejauh ini, varian baru dari mutasi di Inggris dan Afrika Selatan belum ditemukan di Indonesia, tetapi hal ini bisa jadi karena keterbatasan analisis genom SARS-CoV-2 yang dilakukan.
”Seperti disampaikan oleh Menteri Kesehatan, Indonesia hanya punya 12 laboratorium yang bisa melakukan analisis WGS (whole genome sequencing atau pengurutan total genom),” katanya.
Kompas
Sumber: Riza Arief Putranto dari Aligning Bioinformatics (2021)
Menurut Riza, kita harus mengoptimalkan ke-12 laboratorium yang ada ini untuk bekerja sama dan dikoordinasi dalam satu visi melakukan surveilans genomik. ”Bisa berbagi alat dan keahlian. Harus ada dorongan dari kementerian berwenang,” katanya.
Sejauh ini, data urutan genom virus SARS-CoV-2 dari sampel di Indonesia yang didaftarkan di GISAID, bank data virus internasional, masih terbatas. Hingga 6 Januari 2021, Indonesia baru mendaftarkan 175 genom. Dari yang sudah didaftarkan ini, ada 1.362 mutasi SARS-CoV-2 ditemukan di Indonesia pada Maret-Desember 2020 dan 63 persen di antaranya merupakan varian DG14G, yang pertama kali ditemukan di Indonesia sejak April 2020.
Sementara itu, data hingga 25 Desember 2020 menunjukkan 290.887 genom yang telah didaftarkan dari sejumlah negara. Inggris paling banyak mendaftarkan genom SARS-CoV-2, yaitu mencapai 135.512 atau 46,5 persen dari total genom yang telah didaftarkan di dunia.
Adapun Amerika Serikat mendaftarkan 52.075 genom, Denmark 16.726 genom, dan Australia 16.430 genom. Afrika Selatan juga jauh lebih banyak mendaftarkan dibandingkan dengan Indonesia, yaitu 2.730 genom.