Kini, Suu Kyi Tak Sama seperti Dulu Lagi
Aung San Suu Kyi, yang kini ditahan militer dalam kudeta di Myanmar, dulu adalah ikon demokrasi dan penerima Nobel Perdamaian. Namun, pembelaan Suu Kyi atas brutalitas militer di negaranya telah mengubah semua itu.
Aung San Suu Kyi, pemimpin de facto Myanmar, berulang kali memperingatkan bahwa reformasi di negaranya akan berhasil hanya jika militer yang kuat menerima perubahan. Kudeta militer di Myanmar, Senin (1/2/2021), mengingatkan kembali pada peringatan Suu Kyi tersebut.
Militer di negara itu tidak siap dengan perubahan. Mereka menahan Suu Kyi dan para politisi senior lainnya serta mengumumkan bahwa mereka akan menguasai negara selama satu tahun dalam kondisi darurat. Peristiwa kudeta militer tersebut merupakan penghentian drastis atas langkah-langkah awal di Myanmar menuju demokrasi.
Para pemimpin negara-negara Barat mengecam keras perebutan kekuasaan di Myanmar saat ini. Kudeta militer itu dilihat sebagai pembalikan arah proses demokrasi yang masih sangat muda di negara Asia Tenggara tersebut dalam beberapa satu dekade terakhir. Menarik untuk dicermati, banyak pemerintahan negara-negara Eropa memilih untuk tidak menyebut namanya dalam pernyataan resmi mereka.
Baca juga: Dunia Desak Myanmar Pulihkan Demokrasi, Indonesia Prihatin
Menteri Luar Negeri Belanda Stef Blok mencuit di Twitter, ”Menuntut pembebasan segera semua politisi dan perwakilan masyarakat sipil yang terpilih secara demokratis.”
Suu Kyi, putri pahlawan kemerdekaan Myanmar, Jenderal Aung Saan, tidak sempat mengenal sang ayah yang dikenal karismatik. Jenderal Aung San dibunuh ketika Suu Kyi berusia dua tahun. Sejak saat itu dia dibesarkan oleh sang ibu, Khin Kyi.
Melawan militer
Suu Kyi, yang menghabiskan sebagian besar hidupnya melawan aturan militer, melihat sang ibu berjuang keras di parlemen, kemudian pernah menjadi menteri dan bahkan pernah ditugaskan sebagai Duta Besar Burma untuk India tahun 1970-an. Dari sanalah pandangan Suu Kyi terhadap dunia terbuka.
Baca juga: Militer Tahan Aung San Suu Kyi dan Sejumlah Tokoh NLD
Masa muda Suu Kyi dihabiskan di luar negeri. Dia memperoleh gelar di Universitas Oxford dalam bidang filsafat, politik, dan ekonomi, dan pernah bekerja untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York dan Bhutan. Dia menikah dengan akademisi Inggris, Michael Aris, dan memiliki dua putra.
Sementara di tanah airnya, militer semakin mencengkeram. Ne Win, rekan sang ayah, mengendalikan negara setelah merebut kekuasaan tahun 1962 dari tangan pemerintahan sipil pimpinan Perdana Menteri U Nu. Selama 12 tahun di bawah kendali Ne Win, Myanmar menerapkan darurat militer.
Suu Kyi memutuskan untuk kembali ke Myanmar tahun 1988. Bukan untuk berpolitik, tetapi untuk merawat sang ibu yang sakit keras. Namun, ketertarikannya pada politik membuatnya perlahan dikenal oleh masyarakat dan gerakan prodemokrasi.
Lihat video: Aung San Suu Kyi Dipuja, Lalu Dicaci
Tak lama kemudian, dia menjadi bagian dari gerakan oposisi yang semakin mengeras terhadap penguasa militer. Secara terang-terangan Suu Kyi menentang tindakan militer yang keras dan brutal yang telah menewaskan ribuan orang warga sipil. Dia juga membantu mendirikan Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).
Perlawanannya terhadap militer membuat dia dijadikan tahanan rumah sejak tahun 1989. Selama 15 tahun dia menjalani tahanan rumah yang sebagian besar dilakukan di rumahnya yang bobrok di tepi sebuah danau di Yangon.
Setelah bebas, Suu Kyi tak tidak berani meninggalkan negaranya untuk bertemu dengan suami dan putranya di Inggris. Ia khawatir, militer akan mencegahnya kembali ke Myanmar. Suu Kyi bahkan tidak bisa melihat jenazah suaminya yang meninggal tahun 1999 karena kanker.
Baca juga: Myanmar Kembali Masuki Masa Suram
Perjuangan tanpa kekerasan yang dilakukan Suu Kyi berbuah Nobel Perdamaian tahun 1991. Saat pemberian hadiah Nobel Perdamaian, Ketua Komite Nobel Norwegia Francis Sjersted menyandingkan Suu Kyi tidak hanya dengan sang ayah, Jenderal Aung San, tetapi juga dengan tokoh dunia asal India, Mohandas Gandhi.
Reputasinya sebagai penghela demokrasi Myanmar tumbuh selama menjalani status sebagai tahanan politik junta militer. Publik Myanmar pun bergantung padanya dan menaruh rasa hormat yang besar pada Suu Kyi. Mereka memanggilnya dengan sebutan ”The Lady” atau ”Bunda Suu” sebagai tanda penghormatan. Selain itu, panggilan itu secara tidak langsung juga untuk menghindari perhatian polisi rahasia yang bertebaran di mana-mana.
Rezim militer akhirnya melonggarkan cengkeraman dan mengizinkan pemilihan umum dilaksanakan pada 2010. Suu Kyi dan gerakannya memenangi pertarungan, kemudian menguasai pemerintahan. Terbukanya peluang bagi sipil untuk menguasai pemerintahan membuatnya bisa melakukan perjalanan dengan tenang. Dia pun akhirnya bisa menyampaikan pemikirannya, seperti para penerima Nobel Perdamaian lainnya, di Norwegia, Juni 2012, terlambat 20 tahun dari waktu penganugerahannya.
Stempel militer atau martir?
Tahun 2015, LND yang dibidani Suu Kyi, memenangi pemilu. Namun, Suu Kyi tidak bisa menduduki jabatan pemerintahan tertinggi sebagai presiden. Militer telah merancang konstitusi yang membuatnya dilarang menduduki jabatan tersebut. Suu Kyi hanya bisa menjadi pemimpin nasional de facto dengan jabatan ”penasihat negara”, sebuah posisi yang memang dibuat militer untuknya.
Baca juga: Dukung Genosida Rohingya, Aung San Suu Kyi Dikucilkan
Namun, ia tetap tidak memiliki kendali langsung atas militer yang tetap berusaha mencengkeram kekuasaan di Myanmar. Proses demokratisasi di Myanmar pun melambat.
Meski pemerintahan sipil telah membebaskan sebagian besar tahanan politik, penangkapan aktivis dan jurnalis baru-baru ini menunjukkan bahwa militer belum berubah. Termasuk di dalamnya penerapan undang-undang era kolonial yang kembali dilakukan militer.
Pada tahun 2015, ada pergeseran persepsi global terhadap Suu Kyi yang sudah menjadi ikon demokrasi dan hak asasi manusia. Tindakan keras dan brutal militer terhadap warga minoritas Rohingya, warga di Negara Bagian Rakhine, dengan membakar desa-desa tempat tinggal mereka serta membunuhnya dikecam oleh banyak negara.
Tindakan keras militer itu juga membuat sekitar satu juta warga Rohingya menyelamatkan diri dari kejaran militer dengan mengungsi ke Bangladesh atau negara-negara lain, termasuk Indonesia, tanpa bekal yang memadai. Sayang, Suu Kyi membela tindakan militer itu sebagai bagian dari operasi kontra-terorisme dan meminta pengadilan untuk menghapus kasus tersebut dari daftarnya.
Baca juga: Kanada dan Belanda Bergabung dalam Penuntutan Genosida Myanmar
Pembelaan Suu Kyi terhadap perilaku militer mencengangkan. Bahkan, dia hadir dan membacakan pembelaan atas dugaan genosida di Pengadilan HAM Internasional di Den Haag. Pembelaan ini membuat banyak pihak menuntut penghargaan Nobel Perdamaian bagi Suu Kyi, dicabut.
”Kami tidak akan melupakan apa yang dia katakan tentang orang-orang Rohingya di Pengadilan Internasional. Dia telah merusak reputasi internasionalnya sebagai pembela hak asasi manusia dengan dukungannya yang sangat terbuka terhadap militer dalam masalah genosida,” kata Heidi Hautala, Wakil Presiden Parlemen Eropa kepada Reuters.
Laetitia van den Assum, seorang pensiunan diplomat Belanda di Asia Tenggara yang secara rutin bertemu Suu Kyi selama hampir 15 tahun antara tahun 1989 dan 2010 ketika Suu Kyi menjadi tahanan rumah, mengatakan bahwa statusnya sebagai ikon demokrasi sudah tercemar noda yang hampir tidak dapat diperbaiki lagi.
Adapun seorang diplomat senior Uni Eropa yang berbasis di Jakarta mengatakan bahwa Suu Kyi bisa mendapat keuntungan dari kudeta militer itu. Insiden kudeta militer, 1 Februari, bisa memulihkan citranya yang ternoda dengan memosisikan Suu Kyi sebagai martir.
Ditanya suatu kali dalam wawancara BBC tentang reputasinya yang dulunya suci, Suu Kyi menjawab, ”Saya hanya seorang politisi. Saya tidak seperti Margaret Thatcher. Tidak. Namun, di sisi lain, saya juga bukan Bunda Teresa. Saya tidak pernah mengatakan bahwa saya seperti dia.” (AP/AFP/REUTERS)