Berakhir sudah kepemimpinan Donald Trump di Amerika Serikat, meninggalkan awan hitam keterbelahan masyarakat yang semakin dalam di negara itu.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
WASHINGTON, RABU — Presiden Amerika Serikat Donald Trump meninggalkan kursi kepresidenan di bawah bayang-bayang awan hitam yang ia ciptakan sendiri, Rabu (20/1/2021). Dua kali pemakzulan, keterbelahan politik AS yang dalam, dan pandemi Covid-19 yang memorakporandakan kedigdayaan AS, mengakibatkan 400.000 korban meninggal, menjadi akhir dari kepemimpinan Trump selama empat tahun.
Trump meninggalkan Gedung Putih beberapa jam sebelum Joe Biden dilantik sebagai Presiden ke-46 AS. Alih-alih menghadiri pelantikan Biden, Trump dan istrinya, Melania, bertolak dari South Lawn Gedung Putih, naik helikopter Marine One, menuju Pangkalan Bersama Andrews di pinggiran Maryland, sebelum kemudian terbang dengan pesawat Air Force One untuk terakhir kali menuju Florida.
Trump menjadi presiden pertama yang tidak menghadiri upacara pelantikan presiden penggantinya sejak Andrew Johnson di tahun 1869.
Setelah tak lagi menjabat presiden, Trump menghadapi jalan panjang untuk memulihkan citra dirinya, terutama setelah saat-saat akhir masa kepemimpinannya yang kacau. Kini, ia memiliki tempat unik dalam sejarah politik AS, yaitu menjadi satu-satunya presiden yang dikenai dakwaan pemakzulan hingga dua kali.
Bahkan, setelah Trump menyelesaikan masa jabatannya, Senat masih akan menggelar sidang dakwaan pemakzulan yang diajukan oleh Demokrat di DPR. Trump dikenai tuduhan menghasut kerusuhan. Hasil sidang akan menentukan apakah Trump akan dilarang mencalonkan lagi sebagai presiden.
”Ia akan menjadi presiden asterisk, seseorang yang lebih banyak berbuat kerusakan daripada kebaikan,” kata Douglas Brinkley, sejarawan kepresidenan, merujuk pada salah satu karakter tokoh kartun
Menurut beberapa sumber, hingga hari terakhir masa jabatannya, Trump tetap bersikukuh bahwa pemilu presiden AS pada 3 November 2020 telah dicuri darinya. Ia tetap menolak mengakui kekalahannya dari Biden. Pengadilan telah menolak gugatan hukum tak berdasar Trump yang menyatakan ada kecurangan dalam pemilu AS.
Dalam rekaman pidato perpisahannya yang disebarkan, Selasa, Trump memuji peninggalan pemerintahannya dan berharap pemerintahan baru sukses tanpa menyebut nama Joe Biden. ”Minggu ini, kita melantik pemerintahan baru dan berdoa untuk keberhasilannya menjaga keamanan dan kemakmuran AS,” kata Trump.
Trump juga memanfaatkan masa-masa terakhirnya di Gedung Putih dengan memberikan pengampunan bagi 73 orang, termasuk mantan ajudannya, Steve Bannon. Daftar orang yang diampuni, termasuk 70 orang lain yang hukumannya diringankan, seperti dirilis Gedung Putih lewat pernyataan.
Bannon telah dituduh menipu orang-orang dalam pengumpulan dana untuk membangun tembok perbatasan dengan Meksiko, salah satu kebijakan utama Trump. Bannon menyatakan tidak bersalah.
Bannon juga manajer kampanye Trump tahun 2016 sebelum kemudian menjadi penasihat senior Trump. Ia meninggalkan Gedung Putih tahun 2017.
Lega dan sedih
Kepergian Trump dan hadirnya Biden dinilai beragam oleh warga AS. Marge Hobley, misalnya, yang menunggu empat tahun agar Trump tidak terpilih lagi akhirnya bisa bernapas lega. Pemilih Demokrat berusia 77 tahun dari Indianapolis ini mengatakan, kegembiraan apa pun yang muncul sekarang telah bercampur dengan kesedihan dan optimisme.
”Mari bersulang sampanye–kita akan bersulang Maalox atau Pepto Bismol, mungkin,” ujar Marge, menanggapi pelantikan Biden dengan menyebut dua obat pencernaan itu.
Bob Hoyt, penasihat keuangan dari Marina del Rey, California, yang menilai dirinya independen, tetapi lebih cenderung ke Demokrat dalam beberapa tahun terakhir, berpendapat lain. Ia ”tercengang” atas perolehan suara Trump dalam pemilu yang mencapai hampir 75 juta. Pengepungan Capitol pada 6 Januari lalu memperkuat kekhawatirannya akan masa depan demokrasi AS.
”Tak ada yang patut dirayakan karena kita ada di tengah perang saudara,” ujar Hoyt (70). ”Ini adalah perang saudara yang dingin. Kita menipu diri sendiri jika berpikiran bisa memasukkan kembali kuning telur ke dalam telur yang telah kita pecahkan.”
Rob King, guru sejarah di sebuah SMA di Pacific Palisades, California, mengungkapkan, optimisme yang ia rasakan ketika menghadiri pelantikan Barack Obama tahun 2009 memunculkan firasat bahwa keterbelahan warga AS sudah terlalu dalam untuk ditutupi.
Dari kacamata luar, apa yang terjadi sejak hasil pemilu 3 November lalu, terlebih peristiwa 6 Januari, membuat dunia sadar bahwa demokrasi tidak ideal dan AS harus belajar menilai dirinya sendiri sebelum menilai bangsa dan negara lain.
”Amerika harus belajar menilai dirinya sendiri sebelum menilai bangsa dan negara lain,” kata Nur Rachmat Yuliantoro, Ketua Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
”Rakyat Amerika harus bertanya kepada diri mereka sendiri, apakah keterpecahan multidimensi yang sekarang terjadi adalah yang mereka inginkan, dan bila tidak, apa yang harus mereka lakukan untuk memperbaiki situasi. (REUTERS/LUK)