Gedung Capitol, tempat Senat dan Kongres AS bersidang, menyimpan aneka kisah kelam, seperti perkelahian, penembakan, dan pengeboman. Kali ini, Capitol mencatat kisah baru, pendukung Presiden Trump merangsek masuk.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
Penyerbuan gerombolan perusuh di Gedung Capitol hari ini rupanya bukan kali ini saja terjadi. Dulu, pada 1814, Capitol pernah diambil alih setelah hendak dibakar Inggris semasa Perang 1812.
Setelah itu, selama lebih dari 220 tahun, proses sertifikasi pemenang pemilihan presiden AS di kongres berlangsung tenang dan aman. Sampai kemudian pendukung Presiden AS Donald Trump termasuk Partai Republiknya menolak hasil pemilu November 2020 yang dimenangi Joe Biden dan memicu kerusuhan di Capitol.
Pada 1814, hanya sekitar 14 tahun setelah Capitol dibuka lagi, pasukan Inggris di Perang 1812 berusaha membakar habis Capitol. Mereka menyerbu masuk dan merampas semua isinya lalu membakar bagian sayap utara dan selatan Capitol, termasuk Perpustakaan Kongres. Beruntung saja tiba-tiba hujan badai mendera sehingga Capitol tak habis terbakar. ”Tetapi, kondisinya rusak parah,” kata arsitek, Benjamin Henry Latrobe.
Seabad kemudian, berbagai peristiwa kekerasan kembali terjadi seakan mengolok-olok prasasti di mimbar ruang DPR bertuliskan ”Persatuan, Keadilan, Toleransi, Kebebasan, dan Perdamaian”. Capitol pernah dibom beberapa kali. Pernah juga terjadi beberapa kali penembakan. Pernah ada juga seorang anggota parlemen yang hampir membunuh rekannya sesama anggota parlemen.
Peristiwa paling terkenal terjadi pada 1954 ketika ada empat warga Puerto Rico dari kelompok nasionalis yang membentangkan bendera Puerto Rico dan meneriakkan ”Kebebasan untuk Puerto Rico!”. Mereka menembakkan setidaknya 30 peluru dari arah ruangan tamu DPR. Akibatnya, lima anggota kongres terluka. ”Saya ke sini bukan untuk membunuh siapa pun. Saya ke sini untuk mati demi Puerto Rico!” teriak pemimpinnya, Lolita Lebron, ketika ia dan rekannya ditangkap.
Capitol kerap menjadi target sasaran serangan. Pada 1915, Jerman pernah memasang tiga batang dinamit di ruang resepsi Senat lalu meledak sebelum tengah malam. Untung saja tidak ada siapa pun di sana pada waktu itu. Pelakunya, yang sebelumnya membunuh istrinya yang sedang hamil dengan racun, akhirnya bunuh diri sebelum ditangkap. Sebelum bunuh diri, ia sempat menembak ahli finansial, JP Morgan Jr, dan mengebom kapal uap yang bermuatan amunisi yang hendak berlayar ke Inggris.
Pada 1971, kelompok Weather Underground pernah meledakkan bom untuk memprotes pengeboman AS di Laos. Kemudian, pada 19 Mei 1983, Gerakan Komunis juga mengebom Senat terkait invasi di Granada. Tidak ada korban pada kedua peristiwa itu, tetapi mengakibatkan uang senilai ratusan ribu dollar AS rusak.
Serangan paling mematikan di Capitol terjadi pada 1998 ketika ada laki-laki sakit jiwa yang memuntahkan tembakan ke arah pos pemeriksaan hingga dua petugas keamanan Capitol tewas. Pelaku penembakan berhasil ditangkap dan dimasukkan ke rumah sakit jiwa. Masih terlihat bekas-bekas peluru pada patung Wakil Presiden AS John C Calhoun yang ada di dekat lokasi penembakan itu.
Pada 2013, ada ahli kesehatan gigi dengan putrinya berusia 18 bulan yang berusaha menerobos masuk ke halaman Gedung Putih dengan mobilnya. Ia dikejar-kejar sampai masuk ke Capitol dan kemudian ditembak mati oleh polisi. Masih banyak kisah serangan di Capitol, termasuk kisah tahun 1835 ketika ada seorang pengecat rumah yang berusaha menembak Presiden Andrew Jackson dengan dua pistol dari luar gedung. Namun, upayanya gagal dan ia diganjar hukuman cambuk.
Pada 1856, anggota parlemen dari Republik, Preston Brooks, pernah menyerang Senator Charles Sumner dengan tongkatnya setelah senator itu memberikan pidato yang mengkritik perburuhan. Sumner terluka parah dan butuh waktu sampai tiga tahun untuk pulih dan kembali bertugas di Kongres. Brooks tidak dikeluarkan dari DPR, tetapi ia kemudian mengundurkan diri. Tak lama kemudian, Brooks malah terpilih kembali. (AP)