Sikap Negatif Trump Dinilai Picu ”Pembobolan” Gedung Capitol
Sejumlah pihak menilai sikap negatif Presiden Donald Trump yang terus-menerus menolak hasil pemilu AS pada November 2020 memicu kerusuhan pendukungnya. Pengunjuk rasa pendukung Trump merangsek masuk ke Gedung Capitol.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
WASHINGTON, KAMIS — Publik dunia dikejutkan dengan insiden ”pembobolan” Gedung Capitol di Washington DC pada Rabu (6/1/2021). Sebagaimana diberitakan sebelumnya, massa pendukung Presiden Donald Trump merangsek masuk ke gedung tempat parlemen AS bersidang itu untuk menolak sertifikasi kemenangan Presiden AS terpilih Joe Biden.
Menurut sejumlah pihak, kerusuhan di Capitol yang dilakukan para pendukung Trump itu dinilai merupakan hasil dari unggahan-unggahan Trump yang bernada negatif, bahkan memancing emosi, di media sosial selama bertahun-tahun.
Trump, yang menolak untuk mengakui kekalahannya dari Presiden terpilih Demokrat Joe Biden, telah berkali-kali mendesak para pendukungnya untuk datang ke Washington untuk berunjuk rasa pada hari Rabu. Pada hari yang sama, Dewan Perwakilan dan Senat AS dijadwalkan mengesahkan hasil pemilu November 2020.
"Secara statistik tidak mungkin kalah dalam Pemilu 2020," cuit Trump, pada 20 Desember. "Protes besar di DC pada 6 Januari. Beradalah di sana, akan menjadi liar!"
Trump dalam kesempatan berbeda, secara terbuka mendorong pendukungnya mendatangi Gedung Capitol."Kami tidak akan pernah menyerah, kami tidak akan pernah menyerah," kata Trump untuk menyemangati pendukungnya, sembari menyebut kemenangan Partai Demokrat sebagai produk dari apa yang dia sebut "ledakan omong kosong."
Di jalanan, pernyataan Trump itu digaungkan oleh pendukungnya. "Omong kosong! Omong kosong! Omong kosong!" teriak mereka.
Trump selama berminggu-minggu terus berupaya menggagalkan transisi kekuasaan secara damai. Ia mendapat dukungan dari kelompok seperti Stop the Steal yang mempromosikan https://stopthesteal.us serta mengumbar klaim palsu tentang penipuan pemilu via Facebook dan media sosial lainnya.
Contoh buruk
Tindakan para pendukung Trump yang mendobrak barikade polisi, memecahkan jendela, menduduki ruang-ruang anggota Senat, bahkan penembakan di dalam gedung parlemen biasanya situasi yang hanya terjadi di negara-negara dengan rezim otoriter.
Hal ini dikemukakan sejarawan presiden, Michael Beschloss, Rabu (6/1/2021). ”Ini upaya kudeta yang dipicu oleh presiden AS. Ini momen yang tidak disangka, ada presiden yang berkonspirasi dengan gerombolan perusuh untuk menjatuhkan pemerintahannya sendiri. Ini jelas bertentangan dengan ide demokrasi yang kita pertahankan selama ini,” ujarnya.
Namun, kerusuhan itu segera ditangani serius. Aparat kepolisian antihuru-hara turun tangan mengamankan Gedung Capitol dari sisa-sisa pendukung Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang menyerbu masuk dan mengganggu proses sertifikasi kemenangan presiden terpilih AS, Joe Biden, oleh Kongres AS. Proses sertifikasi dihentikan sementara sampai kondisi aman. Akibat kerusuhan itu, seorang perempuan tewas tertembak.
Gedung Capitol yang diserbu ribuan pendukung Trump dan rusuh selama 4 jam kini aman, Rabu (6/1). Sekitar 1.100 personel Garda Nasional AS sudah dimobilisasi di Washington dan daerah sekitarnya atas permintaan Wali Kota Washington DC Muriel Bowser.
Untuk memulihkan keamanan, Bowser memberlakukan jam malam di wilayah District of Columbia (DC) mulai Rabu pukul 18.00 waktu setempat sampai Kamis pukul 06.00. Namun, ratusan orang masih berkeliaran di sekitar gedung Capitol. ”Kami mau semua orang segera keluar dari Gedung Capitol. Jam malam akan diberlakukan,” ujarnya.
Gedung Capitol diserang para pendukung Trump setelah Trump berpidato di dekat gedung itu dan berkali-kali menuduh pemilu curang, tuduhan tanpa dasar. Gerombolan perusuh pendukung Trump menyerbu masuk gedung Capitol dan sampai masuk ke ruang-ruang kerja anggota parlemen, termasuk ruang kerja Ketua DPR Nancy Pelosi. Seorang perempuan tewas tertembak di dalam Capitol dan beberapa orang terluka. Korban tewas diduga tertembak aparat kepolisian.
Joe Biden menilai kekerasan ini jelas pemberontakan dan ia menuntut Trump segera meminta pendukungnya meninggalkan Capitol. ”Demokrasi kita diserang. Kerusuhan di Capitol itu jelas tidak merefleksikan Amerika yang sebenarnya,” kata Biden.
Trump kemudian merilis video di media sosial yang meminta para pendukungnya meninggalkan Capitol. Namun, Trump masih berkukuh menuduh pemilu curang. ”Kita harus berdamai. Jadi, pulang saja. Kami mencintaimu. Kalian spesial,” ujarnya.
Namun, video itu kemudian ditarik oleh perusahaan-perusahaan media sosial karena dikhawatirkan malah akan semakin memancing kerusuhan.
Blokir akun
Serbuan dan kerusuhan di Capitol terjadi karena unggahan Trump di Twitter yang kerap memanas-manasi situasi dengan melontarkan tuduhan pemilu curang. Anggota-anggota parlemen mendesak agar akun Twitter dan Facebook milik Trump ditutup. ”Ini sudah keterlaluan. Trump memancing kerusuhan dan menyebarkan informasi keliru yang berbahaya. Media sosial masih saja membiarkan retorika antidemokrasinya,” kata anggota parlemen, Frank Pallone, dari Demokrat.
Pihak Twitter mengumumkan sudah mengunci akun Trump selama paling tidak 12 jam dan mencabut tiga unggahannya. Twitter mengancam akan menutup akun Trump selamanya. Sementara Facebook juga sudah mencabut video berisi pesan dari Trump yang tetap menuduh pemilu curang. Karena akunnya dikunci, Trump tidak bisa mengunggah dari akunnya di @realDonaldTrump.
Wakil Presiden Integritas Facebook Guy Rosen mengatakan, video Trump memang berkontribusi pada kekerasan yang terjadi karena isinya memancing emosi. Sementara Youtube mengatakan, video Trump jelas melanggar aturan karena isinya menyebarkan informasi palsu.
Menurut para peneliti dan unggahan-unggahan publik, retorika kebencian dan ajakan mempersenjatai diri meningkat selama tiga pekan terakhir di berbagai platform media sosial. Berbagai rencana pendukung Trump untuk turun ke jalan juga disebarkan di media sosial. (REUTERS/AFP/AP)