Kebijakan Politik Luar Negeri Indonesia Selaras dengan Tantangan
Kebijakan luar negeri Indonesia 2021 bisa dilakukan dengan mengatur sumber daya diplomasi Indonesia. Tantangan perwujudannya ada di dalam dan luar negeri.
Oleh
kris mada dan Benny D Koestanto
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Arah kebijakan luar negeri Indonesia tahun 2021 dinilai selaras dengan tantangan mutakhir. Meskipun demikian, Indonesia tetap perlu menfokuskan sumber daya diplomasinya agar kebijakan-kebijakan itu dapat diwujudkan secara optimal.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi dalam pernyataan pers tahunan di Jakarta, Rabu (6/1/2021), menyebut lima prioritas diplomasi Indonesia pada 2021. Pertama, membangun kemandirian dan ketahanan kesehatan nasional. Kedua, mendukung pemulihan ekonomi dan pembangunan hijau atau pembangunan berkelanjutan. Ketiga, memperkuat sistem perlindungan WNI. Keempat, terus berkontribusi memajukan berbagai isu kawasan dan dunia. Kelima, menjaga kedaulatan dan integritas wilayah RI.
”Tahun 2020 merupakan tahun yang sangat berat bagi kita semua dan dunia. Namun, kita perlu terus berikhtiar dan optimistis. Optimisme inilah yang harus terus kita perkuat memasuki tahun 2021,” ujarnya dalam pernyataan pers tahunan menlu (PPTM) yang digelar secara daring akibat pandemi.
Retno juga menyoroti pandemi Covid-19 yang dinilai memberi pelajaran berharga tentang pentingnya kerja sama global. Ia juga kembali menegaskan dasar politik luar negeri RI, yakni bebas aktif. ”Kita jangan menjadi obyek dalam pertarungan politik internasional, tetapi harus tetap menjadi subyek yang berhak menentukan sikap kita sendiri,” ujarnya.
Pengajar Ilmu Hubungan Internasional pada Universitas Indonesia, Beginda Pakpahan, dan pakar kebijakan luar negeri pada Universitas Bina Nusantara, Faisal Karim, menilai isi pernyataan pers menlu itu selaras dengan kondisi mutakhir. ”Pertanyaannya adalah, bagaimana memprioritaskan sumber daya di tengah tantangan sekarang,” kata Beginda.
Beginda menyebut, ada banyak tantangan bagi Indonesia dan dunia. Salah satunya adalah pandemi Covid-19. ”Perekonomian dunia sedang menurun, kecuali di China. Siapa yang akan membiayai di tengah situasi ini?” ujarnya.
Tidak mudah memacu ulang perekonomian di tengah pandemi dan persaingan kekuatan besar global. Sampai sekarang, perselisihan Amerika Serikat-China tak kunjung mereda. ”Indonesia perlu terus mengantisipasi dampak persaingan ini,” kata Beginda.
Upaya pemulihan
Dalam pidatonya, Retno menyampaikan harapannya secara bertahap pandemi Covid-19 dapat teratasi. Ketersediaan vaksin dari sejumlah produsen menimbulkan optimisme baru. Namun, kesetaraan akses terhadap vaksin bagi semua negara diakuinya masih menjadi tantangan, terutama pada triwulan pertama dan kedua tahun ini.
Menurut Retno, vaksin juga menimbulkan harapan mulai terungkitnya kegiatan ekonomi secara global. Hal itulah yang dalam proses dan hasilnya diharapkan dapat ikut dinikmati oleh Indonesia. Dana Moneter Internasional (IMF), misalnya, memperkirakan pertumbuhan ekonomi global dapat mencapai 5,2 persen, bahkan kawasan Asia mencapai 6,9 persen.
Untuk mendukung pemulihan ekonomi dan pembangunan hijau atau berkelanjutan, Retno menyampaikan sejumlah prioritas, antara lain, mendorong implementasi kesepakatan pengaturan koridor perjalanan di ASEAN (ASEAN TCA), penggunaan APEC Travel Card, dan kesepakatan TCA lainnya. Kemenlu, kata Retno, juga siap mendorong perluasan investasi ke Indonesia.
Kemenlu juga mendukung perluasan akses pasar dan integrasi kawasan yang dilakukan melalui ratifikasi dan implementasi sejumlah kemitraan ekonomi. Retno menyebut sejumlah kemitraan ekonomi, antara lain Indonesia-Australia dan Indonesia-Korea Selatan. Ia juga menyebutkan target finalisasi kemitraan ekonomi dengan Uni Eropa serta Turki dan dimulainya perundingan perdagangan dengan Serbia. Retno menyebut pula pembuatan perjanjian perdagangan terbatas dengan AS.
Tantangan
Terkait posisi Indonesia dalam geopolitik dunia, Faisal mengatakan, pernyataan tentang menjadi pemain di politik internasional bisa dilakukan, terutama di Pasifik. ”Selama ini, Australia dan Selandia Baru jadi pemain utama di sana. Indonesia hadir dengan agenda sendiri dan merangkul negara-negara di kawasan,” ujarnya.
Faisal juga mengatakan, tantangan Indonesia tidak hanya dari pentas global. Di tingkat regional, pertanyaan pokoknya, adalah soal kemampuan Indonesia menerjemahkan norma global menjadi norma kawasan. Selama ini, Indonesia telah menjalankan peran itu di Asia Tenggara.
Dalam pernyataan Retno, salah satu norma global tersebut adalah tentang perempuan dan perdamaian. Beberapa tahun terakhir, tema itu menjadi salah satu sorotan di Eropa. Sementara di kawasan, Indonesia termasuk menjadi pelopor penerapan isu tersebut. Indonesia mewujudkannya, antara lain, dengan mengirimkan personel perempuan dalam misi penjaga perdamaian yang dikoordinasikan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Faisal mengatakan, tantangan lain bagi Indonesia adalah kondisi di dalam negeri. ”Ibu Retno secara jelas menyatakan akan membuat peta jalan ratifikasi konvensi ILO C-188 tentang kerja di kapal ikan. Tantangan itu ada di kementerian lain,” ujarnya.
Faisal belum menemukan bukti kementerian lain akan setuju Indonesia meratifikasi konvensi itu. Sebab, dengan ratifikasi itu, berarti ada kewajiban hukum bagi Indonesia untuk menerapkannya. Penerapnya pun bukan Kementerian Luar Negeri.
Konvensi tersebut merupakan salah satu pelantar hukum internasional yang penting untuk melindungi WNI yang bekerja di kapal-kapal ikan luar negeri. Sepanjang tahun 2020, berkali-kali terjadi kasus pelanggaran hak hingga kekerasan terhadap WNI yang menjadi awak kapal ikan asing.