Pemulangan staf diplomatik Kedutaan Jerman ke negara asalnya setelah berkunjung ke kantor Front Pembela Islam di Jakarta untuk sementara meredakan ketegangan Kementerian Luar Negeri RI dan Kedutaan Jerman di Jakarta.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
Hubungan diplomatik antara Indonesia dan Jerman, yang sudah berlangsung sejak 1952, tetiba riuh rendah ketika sebuah informasi dan kemudian sebuah foto beredar luas. Seorang staf kedutaan, yang belakangan diketahui sebagai staf diplomatik Kedutaan Besar Jerman untuk Indonesia, mengunjungi kantor Front Pembela Islam (FPI) di Petamburan, Jakarta, Kamis (17/12/2020). Sontak hubungan diplomatik Indonesia-Jerman jadi sedikit panas.
Tiga hari berselang, Minggu (20/12/2020), Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI menyampaikan protes atas kehadiran staf diplomatik Kedubes Jerman itu di markas FPI. Kemlu juga meminta Kedubes Jerman menyampaikan klarifikasi terhadap tindakan yang dilakukan stafnya tersebut. Kemlu juga memanggil kepala perwakilan Kedubes Jerman.
Dalam siaran persnya, Kedubes Jerman membenarkan bahwa stafnya berkunjung ke kantor FPI pada 17 Desember lalu. Kunjungan itu dimaksudkan ”Untuk mendapatkan gambaran tersendiri mengenai situasi keamanan yang bersangkutan karena demonstrasi dapat melintasi kawasan Kedutaan,” kata Kedubes Jerman, merujuk unjuk rasa di Jakarta, Jumat (18/12/2020).
Namun, disebutkan pula bahwa ”pegawai tersebut bertindak atas inisiatif sendiri tanpa koordinasi dengan pihak Kedutaan”. ”Kedutaan Besar Jerman menyesali kesan yang telah ditimbulkan peristiwa ini di mata publik serta mitra-mitra Indonesia kami dan menegaskan bahwa tidak ada tujuan politis apa pun di balik kunjungan ini,” lanjut pernyataan tersebut.
Dalam pemanggilan oleh Kemlu, seperti diungkapkan dalam siaran pers Kemlu RI, pihak Kedubes Jerman menyampaikan bahwa staf diplomatik yang berkunjung ke kantor FPI tersebut telah diminta segera pulang ke Jerman ”untuk mempertanggungjawabkan tindakannya dan memberikan klarifikasi kepada pemerintahnya”.
Selain memastikan insiden itu tidak mencerminkan kebijakan pemerintah dan Kedubes Jerman, dalam pemanggilan di Kemlu tersebut, Minggu lalu, Kepala Perwakilan Kedubes Jerman menolak tegas kesan kedatangan staf kedubes itu sebagai bentuk dukungan Jerman terhadap FPI. Kedubes Jerman juga tegas menyampaikan dukungan dan komitmen Pemerintah Jerman untuk melanjutkan kerja sama bilateral dengan Indonesia guna melawan intoleransi, radikalisme, dan ujaran kebencian.
Kemlu RI dan Kedubes Jerman sama-sama tidak menjelaskan informasi tentang apa yang menjadi substansi pembicaraan staf diplomatik itu saat berkunjung ke markas FPI, kecuali bahwa yang bersangkutan mencari informasi mengenai aksi demonstrasi yang berlangsung di Jakarta, sehari sesudah kunjungan tersebut.
Dua pertanyaan
Setidaknya ada dua hal yang menimbulkan pertanyaan lanjutan terkait pernyataan ini, yaitu soal keterangan mencari informasi mengenai demonstrasi yang akan melintasi dekat area kedutaan dan soal ”bertindak atas inisiatif sendiri”.
Dari foto-foto yang beredar, staf diplomatik tersebut diketahui datang ke lokasi menggunakan sebuah kendaraan bernomor polisi CD, tanda nomor kendaraan yang biasa digunakan oleh para diplomat dalam berbagai kegiatan resmi kedutaan. Apabila disebutkan dalam pernyataan resmi bahwa yang bersangkutan mencari informasi mengenai rencana demonstrasi, para diplomat memiliki jalur khusus untuk mendapatkan informasi resmi dari kepolisian atau bahkan dari Pemerintah Indonesia sendiri.
Hasilnya, biasanya mereka akan memberikan peringatan kepada warga negaranya dan para staf diplomatiknya dalam bentuk ”alert (pesan peringatan)” yang disebarluaskan melalui surat elektronik tertutup. Hal ini jamak dilakukan oleh beberapa perwakilan diplomatik di banyak negara, terutama apabila demonstrasi yang akan berlangsung dinilai akan memiliki kecenderungan berakhir dengan kekacauan.
Selain itu, kebiasaan di organisasi internasional, setiap kendaraan yang keluar dari kompleks kediaman perwakilan diplomatik dicatat dengan detail, seperti pelat nomor kendaraan, nomor kendaraan, pengemudi, waktu keluar dan masuk, catatan kilometer awal (sebelum keberangkatan) dan kilometer akhir (setelah kembali), dan tujuan. Tidak hanya soal pertanggungjawaban keuangan negara, tetapi juga untuk antisipasi apabila terjadi situasi darurat dan membutuhkan pertolongan cepat.
Fungsi diplomatik
Dalam hubungan internasional, semua mafhum bahwa perwakilan negara selain memiliki fungsi negosiasi untuk menggolkan kepentingan sebuah negara terhadap negara lain, juga mempunyai fungsi pengumpulan informasi. Pengumpulan informasi ini bisa dilakukan dengan cara terang-terangan ataupun dengan samar-samar alias dilakukan tidak mencolok.
Proses pengumpulan informasi secara terang-terangan pun bisa dilakukan dengan berbagai cara, melalui seminar, melalui pertemuan langsung tatap muka, dan berkunjung ke kantor-kantor berbagai organisasi pemerintah ataupun nonpemerintah, termasuk partai politik atau organisasi-organisasi lainnya.
Pengumpulan informasi tidak bisa dilakukan secara terang-terangan apabila mungkin terkait dengan informasi yang sensitif, atau organisasi yang oleh pemerintah setempat dicap sebagai organisasi terlarang. Di Indonesia, salah satu organisasi yang dibubarkan berdasarkan putusan pengadilan adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
FPI memang tidak menyandang status organisasi terlarang atau bahkan dibubarkan oleh pemerintah. Namun, kehadiran staf diplomatik Kedubes Jerman bisa dinilai tidak tepat waktu. Sebagian pihak menyebut kunjungan itu tidak sensitif terhadap kondisi kekinian yang terjadi di Indonesia.
Disebut tidak tepat waktu karena aparat kepolisian tengah menyelidiki kasus tewasnya enam anggota FPI dalam bentrok di Jalan Tol Jakarta-Cikampek. Selain itu, FPI juga tengah diusut aparat kepolisian dalam kasus pelanggaran protokol kesehatan. Pemimpin FPI Muhammad Rizieq Shibab, yang kini ditahan, dan lima orang lainnya ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Diponegoro, Semarang, yang juga Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila Eddy Pratomo mengatakan bahwa kunjungan staf diplomatik Jerman ke markas FPI merupakan tindakan yang tidak bijak, tidak sensitif, dan tidak profesional sebagai staf kedubes.
”Staf tersebut harus memahami situasi politik dalam negeri yang sedang sensitif terkait dengan ormas tersebut,” ujar Eddy dalam pernyataan tertulis. ”Kunjungan staf ke Petamburan tersebut telah menimbulkan pertanyaan mendasar tentang pelaksanaan tugas dan fungsi sebuah kedubes asing di negara akreditasi… sehingga kunjungan tersebut dapat disalahartikan oleh publik seolah-olah Jerman mendukung salah satu ormas di Indonesia.”
Eddy juga mempertanyakan penjelasan bahwa kunjungan tersebut dilakukan staf kedubes yang ”bertindak atas inisiatif sendiri tanpa koordinasi dengan pihak Kedutaan”. ”Alasan ini tentu sulit diterima akal sehat karena diplomat adalah wakil negara sehingga tidak mungkin dipisahkan antara tindakan dalam kapasitas pribadi dan kapasitas kedinasan,” katanya.
Menurut Eddy, kunjungan tersebut berpotensi melanggar Konvensi Vienna 1961 yang mengatur tata krama hubungan antarnegara. Jika dipandang perlu dan jika terdapa fakta-fakta yang merugikan, Pemerintah RI dapat mempertimbangkan tindakan persona non-grata terhadap staf tersebut.
Istilah persona non grata dalam konteks diplomasi digunakan untuk menyebut diplomat asing yang keberadaannya sudah tidak dapat diterima atau disukai oleh negara penerima (Khasan Ashari, Kamus Hubungan Internasional dan Diplomasi, 2020). Negara dapat mengusir diplomat yang dikenai status persona non grata jika negara pengirim tidak menariknya pulang dalam jangka waktu yang ditetapkan.
Namun, perlu diingat juga bahwa kasus bentrokan polisi dan anggota FPI di Jalan Tol Jakarta-Cikampek masih menyisakan lubang pertanyaan yang besar. Kasus itu juga tengah diselidiki Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. (LUK/SAM)