Evolusi yang Dipercepat, Cara Melihat Pandemi secara Positif
Pandemi Covid-19, selain menghadirkan wajah kelam kehidupan warga dunia, juga telah mendorong perubahan secara radikal tata kehidupan yang--dalam beberapa hal--positif bagi peradaban.
Wajah muram dan seram pandemi Covid-19 sudah dialami dan dijalani warga dunia hampir sepanjang tahun ini. Sejak kemunculannya pertama kali di Wuhan, Provinsi Hubei, China, kehidupan warga dunia memikul dampak yang mahadahsyat. Dalam setahun, sudah hampir 76,5 juta penduduk dunia terinfeksi Covid-19 dan hampir 1,7 juta orang meninggal dunia.
Perekonomian dunia terpukul. Proses produksi terhenti. Pabrik-pabrik, kantor, ataupun pasar tutup untuk mencegah penularan yang lebih masif. Konsumsi juga menurun karena jutaan warga berhenti bekerja. Ekonomi dunia berada dalam situasi yang paling buruk. Banyak pengamat ekonomi menyebut kondisi saat ini adalah yang terburuk dalam kehidupan manusia setelah Perang Dunia II.
Pandemi Covid-19 telah membuat tatanan kehidupan seluruh warga dunia berantakan. Mendadak, kita tak bisa lagi bepergian bebas tanpa mengenakan masker. Mendadak, kita harus tinggal di rumah saja berbulan-bulan bak katak dalam tempurung. Jika sisi kelam ini dilanjutkan, masih panjang daftar dampak negatif pandemi.
Namun, di sisi lain, ada perubahan positif dalam kehidupan manusia. Berkat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama ilmu kedokteran medis dan biomolekuler serta teknologi informasi, pandemi ini menjadi jalan evolusi bagi umat manusia.
Penemuan vaksin
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pemerintah, dan para ahli kesehatan memercayai penemuan vaksin untuk “mengobati” warga yang terinfeksi sekaligus untuk mencegah penularan adalah cara jitu mengembalikan kehidupan pada situasi normal seperti sebelum pandemi. Tetapi, perlu diingat, vaksin bukan satu-satunya sarana mencegah penularan. Penerapan protokol kesehatan yang ketat dan kebijakan pemerintah yang memberikan perlindungan maksimal bagi warganya adalah cara berkutnya yang ampuh mencegah penularan.
Baca juga: Vaksin Covid-19 Semakin Dekat, 100 Kelompok Penelitian Terlibat
Penemuan vaksin memberikan titik terang di tengah pandemi. Pengembangan vaksin Covid-19 lebih cepat beberapa kali lipat dibanding penemuan vaksin-vaksin sebelumnya. Vaksin influenza, misalnya, baru diperoleh 13 tahun setelah pandemi flu Spanyol tahun 1918.
Vaksin influenza yang sekarang digunakan oleh dokter atau para petugas kesehatan lainnya adalah hasil pengembangan tahunan. Setiap tahun vaksin yang tersedia pun terus ditinjau ulang karena virus itu sendiri bermutasi.
Ketika SARS mewabah sejak muncul tahun 2003, dokter dan peneliti membutuhkan 20 bulan untuk merilis kode genom virus untuk kemudian dikembangkan sebagai vaksin. Pada kasus ebola, baru tahun 2019 WHO mengumumkan prakualifikasi vaksin. Lima tahun warga Afrika berjuang melawan ebola tanpa vaksin.
Yang paling cepat adalah penemuan vaksin zika, yakni sekitar enam bulan. Sementara, yang paling cepat adalah penemuan vaksin zika. Peneliti membutuhkan waktu sekitar enam bulan untuk mengeluarkan vaksin.
Baca juga: Vaksin, Harapan Pencegahan Wabah Virus Korona Jenis Baru
Perburuan vaksin Covid-19 dimulai ketika pemerintah China merilis kode genetik virus Covid-19, Februari 2020. Berbekal kode genetik itu, lembaga penelitian dan perusahaan farmasi berlomba-lomba mengembangkan—sebut saja—antivirus bagi SARS-CoV-2. Hanya berselang enam bulan, sudah muncul 44 calon vaksin dari ratusan kelompok penelitian di seluruh dunia.
Jelang akhir 2020, vaksin buatan Pfizer-BioNTech mulai disuntikkan kepada warga di beberapa negara. Efikasi atau efektivitas vaksin yang mendekati 100 persen adalah buah kemajuan spektakuler, ilmu pengetahuan medis dan kedokteran, terutama biomolekuler.
“Untuk beralih dari memiliki urutan (genetik) virus pada bulan Januari menjadi memiliki dua vaksin yang tersedia pada bulan Desember merupakan pencapaian yang luar biasa," kata Dr. James Hildreth, Kepala Eksekutif Meharry Medical College di Nashville, Tennessee, Kamis (17/12), seusai memberikan persetujuan penggunaan darurat vaksin Moderna Inc. dan NIH bagi warga AS.
Pendidikan jalan terus
Pandemi, yang dihadapi dengan kebijakan pembatasan sosial di banyak negara, berdampak luas bagi dunia pendidikan. Menurut catatan UNESCO, lebih dari 1,6 miliar pelajar di 190 negara terdampak akibat terputusnya kegiatan belajar mengajar selama pandemi ini.
Banyak kalangan pendidik, mulai dari guru hingga dosen, mengkhawatirkan kemungkinan hilangnya satu generasi akibat terhentinya kegiatan belajar mengajar itu. Andreas Schleicher, Penasihat Khusus pada Sekretaris Jenderal OECD, dalam laporannya, Juni 2020, tentang kondisi pendidikan di tengah menyebutkan bahwa terhentinya kegiatan belajar mengajar bisa berdampak pada hilangnya kemampuan pelajar dan berujung pada penurunan produktivitas di masa depan.
Untunglah, berkat kecanggihan teknologi informasi dan inovasi gawai atau telepon pintar, pendidikan tidak terhenti begitu saja. Sekolah dan institusi pendidikan menyelenggarakan sistem belajar mengajar secara daring.
Baca juga: Hampir 300 Juta Pelajar Terdampak
Memang, tidak semua warga bisa memanfaatkan kemajuan teknologi digital itu, seperti yang terjadi di Afrika. Menurut data yang dikutip dari blog.worldbank.org, hanya sekitar lima persen warga Burundi, Eritrea, dan sejumlah negara di Afrika Tengah memiliki akses internet. Menurut Lee Crawford, peneliti senior lembaga Center for Global Development, sekitar 440 juta anak usia sekolah di Afrika mengakses pelajaran melalui siaran televisi atau radio.
Kondisi ini membuat pemerintah di negara-negara Afrika dan negara di benua lain dengan akses internet terbatas harus mengejar ketertinggalannya lebih keras pascapandemi.
Lebih sehat dan “hijau”
Sisi positif lain dari pandemi, dengan adanya kekhawatiran bersinggungan fisik dengan orang lain yang berisiko menyebabkan penularan Covid-19, banyak orang kini memilih bersepeda atau berjalan kaki agar jarak bisa terjaga dengan orang lain. Untuk mengakomodasi "normal baru" itu, berbagai negara membangun lebih banyak fasilitas umum untuk pejalan kaki dan pesepeda.
Untuk mencegah penularan Covid-19, pemerintah China membuat kebijakan tegas menghentikan seluruh jaringan transportasi. Di AS, Wali Kota New York Bill de Blasio mengimbau sembilan juta warganya bekerja dari rumah atau menghindari jam ramai kereta bawah tanah. "Pakai sepeda atau jalan kaki saja kalau bisa," ujarnya.
Baca juga : Kini Bersekolah Tak Sebebas Dulu
Namun, Direktur Transportasi dan Lingkungan Hidup, kelompok kampanye di Brussels, Belgia, Carlos Calvo Ambel, khawatir lama-lama orang akan menggunakan kendaraan pribadi untuk bepergian guna menghindari kontak dengan orang lain. "Butuh kebijakan kota untuk mendukung moda transportasi \'hijau\' dan lebih bersih. Ini kesempatan memikirkan kembali kebijakan transportasi," ujarnya.
Akibat pandemi, warga juga membutuhkan ruang hijau lebih banyak dibanding gedung-gedung bertingkat atau apartemen untuk menghirup udara segar, berolahraga, atau sekadar berjemur. Liza Fior, arsitek spesialis ruang publik dan sosial di lembaga arsitek Muf, menyarankan agar pemerintah membangun ruang-ruang terbuka yang lebih banyak dengan memanfaatkan lahan yang sudah ada. Ide dasarnya tetap sama: memastikan satu sama lain warga bisa menjaga jarak sosialnya. Ini butuh kebijakan revolusioner pemerintah.
Baca juga: Bersepeda demi Kesehatan Jiwa, Raga, dan Pikiran
Wali Kota Paris Anne Hidalgo mencangkan program "kota-kota 15 menit". Dalam program ini diharapkan setiap orang bisa bepergian dan mencapai tujuan hanya dalam 15 menit dengan berjalan kaki atau bersepeda. Langkah Paris ini terbilang radikal karena akan diikuti pengurangan lahan-lahan parkir kendaraan, pembuatan lebih banyak taman terbuka untuk anak-anak, pembangunan lebih banyak ruang hijau dan pertanian perkotaan skala kecil.
Perubahan rancang tata kota yang harus dilakukan gara-gara pandemi bukan kali ini saja terjadi. Ketika terjadi wabah kolera tahun 1830-an, pemerintah Inggris memperbaiki sistem sanitasi di London dan daerah-daerah lain. Begitu pula setelah epidemi tuberkulosis di New York, AS, pemerintah setempat memperbaiki sistem transportasi umum dan aturan perumahan.
"Saat krisis seperti sekarang, banyak respons atau kebijakan revolusioner yang muncul. Banyak inovasi perencanaan kota yang dibuat yang kemudian bisa memperbaiki kondisi kesehatan warganya," kata pakar perencanaan kota dan lingkungan hidup di Griffith University, Australia, Tony Matthews.
Baca juga: Hidup di Kota Besar Tak Lagi Menyenangkan
Selama pandemi, pembatasan gerak dan jarak sosial juga membuat pembayaran dengan uang tunai menjadi hal yang tak disarankan lagi. Sistem pembayaran digital pun memperoleh momentumnya. Seperti dilansir laman Medium.com, berdasarkan penelitian lembaga penelitian Forrester Research, penggunaan layanan keuangan digital naik hingga 70 persen selama pandemi.
Sebuah laporan dari lembaga yStats juga memperlihatkan, secara global konsumen memilih berbelanja dan membayar secara digital untuk menghindari penularan Covid-19. Para konsumen itu berencana melanjutkan kebiasaan barunya ini pascapandemi nanti karena cara tersebut dinilai sangat memudahkan.
Pandemi, di satu sisi, memang membawa kerusakan yang maha dahsyat. Tetapi di sisi lain, pandemi memberi cakrawala kreativitas yang luas serta mempercepat penemuan baru dan pemanfaatan teknologi baru. Ini tak ubahnya sebuah evolusi yang dipercepat atau bahkan sebenarnya sebuah revolusi peradaban. Pada titik itu, kita bisa melihat sisi positif dari pandemi saat ini. (REUTERS/AFP/AP)