Kala Semua Mata Tertuju ke Asia Pasifik
Perjanjian RCEP akan bekerja bersama dan mendukung sistem perdagangan multilateral yang terbuka, inklusif, dan berbasis aturan.
Tujuan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) adalah untuk membangun kemitraan ekonomi yang modern, komprehensif, berkualitas tinggi, dan saling menguntungkan.
Perjanjian itu akan memfasilitasi perluasan perdagangan dan investasi regional serta berkontribusi pada pertumbuhan dan pembangunan ekonomi global.
Perjanjian RCEP adalah kesepakatan yang tidak hanya dibuat untuk hari ini, tetapi juga kesepakatan untuk hari esok.
Demikian, antara lain, bunyi pernyataan resmi Asosiasi Negara-negara di Asia Tenggara (ASEAN) tentang RCEP seusai perjanjian itu ditandatangani pada 15 November 2020.
Di tengah tekanan ekonomi sosial yang berat tahun ini karena pandemi Covid-19, penandatanganan perjanjian RCEP menjadi semacam pembeda. Tidak ada jalan mundur atas negosiasi yang berlangsung sekitar delapan tahun itu.
Penandatanganan perjanjian itu diharapkan menjadi penyemangat negara-negara yang terlibat di dalamnya untuk segera bangkit dari masa-masa sulit saat-saat ini.
Baca juga : RCEP Hadirkan Peluang dan Tantangan
ASEAN menyatakan, perjanjian RCEP bertujuan memperluas dan memperdalam keterlibatan ASEAN dengan Australia, China, Jepang, Korea, dan Selandia Baru. Bersama-sama, negara-negara peserta RCEP ini menyumbang sekitar 30 persen dari produk domestik bruto (PDB) global dan 30 persen dari total populasi dunia.
Dengan tekad membangun kemitraan ekonomi yang modern, komprehensif, berkualitas tinggi, dan saling menguntungkan, RCEP diharapkan memberikan peluang pasar dan lapangan kerja bagi bisnis dan masyarakat di wilayah tersebut.
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Indonesia, Rocky Intan, dalam pandangannya di The Intepreter, media analisis Lowy Institute, mengatakan, yang harus dipahami Indonesia dan ASEAN secara keseluruhan adalah RCEP secara geopolitik strategis.
Pertama dan terpenting, RCEP merupakan pencapaian integrasi ekonomi regional yang berpusat di ASEAN.
Sebagai negara dengan ekonomi terbesar dalam grup, China dianggap sebagai pemain paling berpengaruh di RCEP. Namun, negosiasi multilateral jarang sesederhana itu.
Berkat ASEAN, RCEP menjadi perjanjian perdagangan multilateral pertama yang mencakup China, Jepang, dan Korsel. Hal ini sejalan dengan strategi ASEAN untuk melibatkan kekuatan yang relevan dalam kerangka kerja bersama berdasarkan ASEAN.
Hal itu seharusnya menghilangkan narasi bahwa RCEP adalah perjanjian yang ”dipimpin oleh China” sekalipun kelindan persaingan AS-China menjadikan penilaian itu muncul. Karena ekonomi raksasanya, China dianggap paling berpengaruh di RCEP.
Asia Pasifik sedang berubah dan saat-saat ini adalah waktunya bagi kawasan itu. Asia Pasifik berada pada titik penting dalam perjalanannya. Perusahaan jasa layanan profesional PricewaterhouseCoopers (PwC) mengatakan hal itu dalam pandangan eksekutifnya pada November lalu.
Dikatakan, dasar-dasar yang kuat secara dramatis telah meningkatkan kemakmuran dan standar hidup di seluruh kawasan itu selama tiga dekade terakhir.
Lima pilar penting
Namun, semua hal itu dinilai sudah tidak cukup lagi kini. Dari sisi ekonomi, PwC menilai Asia Pasifik harus membangun masa depan yang tangguh di atas lima pilar, yakni memajukan ekonomi digital, memungkinkan pertumbuhan perusahaan regional, menyeimbangkan kembali rantai pasokan dengan dorongan inovasi, memperkuat angkatan kerja di masa depan, dan membangun dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.
Baca juga : Penandatanganan RCEP Bakal Jadi Momentum Paling Signifikan di ASEAN
Peneliti senior untuk Asia Tenggara di Council on Foreign Relations (CFR), Joshua Kurlantzick, di Foreign Affairs, menilai negara-negara ASEAN bisa ”mengklaim” kemenangan lewat disepakatinya RCEP.
Para pemimpin ASEAN mencatat, mereka membantu menyatukan kesepakatan, sebuah kemenangan untuk strategi mediasi di antara kekuatan utama di kawasan itu. Manfaat-manfaat bersama diharapkan dapat terwujud sesuai yang dicita-citakan.
Dampak pandemi Covid-19 dinilai justru mendorong tindakan yang lebih cepat. Sebab, terlihat adanya perlambatan pertumbuhan di kawasan Asia Pasifik sebelum pandemi.
Terlebih lagi, proteksionisme perdagangan dan ketegangan geopolitik telah menyebabkan pergeseran di pasar. Kelindan hal-hal itu ikut mendorong perusahaan untuk mengadopsi strategi baru. Tujuannya adalah terciptanya kembali rantai pasokan.
Perubahan demografi di berbagai bagian kawasan Asia Pasifik pun meningkatkan kekhawatiran di sektor ketenagakerjaan dan produktivitas. Ada negara dengan angkatan kerja siap pakai, muda, dan terampil, dan peluang kerja tumbuh. Ada pula yang cenderung sebaliknya, angkatan kerja yang menua sehingga perlu perubahan dinamika.
Dampak perubahan iklim yang tidak proporsional juga dinilai dapat memengaruhi ketahanan pangan di wilayah Asia Pasifik. Kesehatan penduduk secara keseluruhan terancam oleh bencana lingkungan dan aktivitas manusia, seperti emisi berbahaya dan pengelolaan limbah yang tidak tepat.
Baca juga : RCEP dan Poros Perdagangan Asia
Meskipun Asia Pasifik telah menunjukkan ketahanan yang besar dalam menghadapi tantangan masa lalu, perubahan bertahap tidak lagi cukup.
Aneka peluang telah berubah menjadi kebutuhan mendesak yang harus ditangani lewat kepemimpinan yang kuat dengan visi yang segar. Hal itu wajib didukung lewat kebijakan yang memfasilitasi kolaborasi pemerintah, bisnis, dan masyarakat.