Sejumlah negara, yang telah mengamankan stok vaksin Covid-19, bergegas menggelar vaksinasi. Namun, vaksinasi perlu dibarengi intervensi lain sebagai satu kesatuan.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·5 menit baca
Amerika Serikat akhirnya menyetujui pemberian darurat vaksin Covid-19 dari Pfizer/BioNTech, Jumat (11/12/2020). Langkah AS itu menyusul Inggris, Bahrain, Kanada, Arab Saudi, dan Meksiko yang telah mengambil langkah serupa sebelumnya. AS juga sedang mempertimbangkan penggunaan darurat vaksin Covid-19 dari Moderna.
Otorisasi itu menjadi tumpuan harapan AS untuk mengakhiri pandemi yang telah merenggut lebih dari 295.000 nyawa warga AS. Terlebih, selama ini Pemerintah AS menjadi contoh yang paling baik bagaimana sebuah negara adidaya dengan sumber daya kesehatan berlimpah ternyata justru menjadi negara paling parah terdampak Covid-19 dengan kasus dan korban meninggal akibat Covid-19 terbanyak di dunia.
Di AS, virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 itu telah menyebar luas hingga menembus salah satu tempat paling aman di dunia, Gedung Putih. Presiden Donald Trump pun tertular Covid-19 dan sempat dirawat di rumah sakit.
Pemimpin Inggris, Perdana Menteri Boris Johnson, juga pernah terinfeksi SARS-CoV-2. Inggris kini menjadi salah satu negara di Eropa yang terdampak paling hebat oleh Covid-19. Dalam sepekan terakhir Inggris melaporkan sedikitnya 14.000 kasus baru per hari.
Bagi AS atau negara-negara di Eropa dan Amerika Selatan yang kesulitan mengendalikan Covid-19, vaksin mungkin menjadi senjata baru dalam perang melawan Covid-19. Namun, bagi negara lain di Asia Timur yang selama ini dinilai berhasil mengendalikan Covid-19, yaitu Korea Selatan, vaksin bukan menjadi pilihan dalam waktu dekat ini.
Meski dalam sepekan terakhir kasus harian di Korea Selatan terus naik hingga hampir mencapai 700 kasus sehari, pemimpin negara itu tidak terburu-buru mengeluarkan izin penggunaan darurat vaksin Covid-19. Yang dilakukan di negara itu adalah justru memperketat pembatasan sosial.
Pada gelombang infeksi pertama banyak negara menerapkan karantina wilayah dan menutup perbatasannya. Namun, tidak dengan Korea Selatan, dan hasilnya kasus Covid-19 di sana terkendali. Kali ini, ketika sejumlah negara berjuang keras mengendalikan lonjakan kasus Covid-19 di dalam negerinya dengan memberikan izin penggunaan darurat vaksin, Korea Selatan memilih untuk tidak terburu-buru.
Tak cukup vaksin
Lalu, apakah tersedianya beberapa vaksin Covid-19 sekarang ini akan menjadi ”pelita di ujung lorong” yang mampu mengubah arah pandemi?
Publik perlu memahami bahwa mengendalikan Covid-19 butuh lebih dari sekadar vaksin. Vaksin harus ditempatkan secara proporsional dalam upaya pengendalian Covid-19 secara keseluruhan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) khawatir bahwa tersedianya vaksin justru membuat negara menjadi lengah menghadapi Covid-19, bersikap seolah pandemi telah berakhir.
Pandemi Covid-19 tidak bisa dihentikan hanya dengan satu ”peluru perak” bernama vaksin. Setinggi berapa pun efikasinya, vaksin tidaklah sempurna. Dengan efikasi 95 persen, misalnya, sebuah vaksin masih menyisakan ”lubang” 5 persen kemungkinan infeksi terjadi.
Selain itu, konsekuensi dari vaksinasi massal yang tidak enteng membuat kampanye vaksinasi Covid-19 membawa kerumitan sendiri. Ketersediaan vaksin yang terbukti aman dan berkhasiat, kesiapan tenaga medis, ketersediaan rantai dingin yang sesuai, keterbatasan stok vaksin global di tengah perburuan negara-negara yang kian agresif, penerimaan masyarakat, hingga kemauan pemerintah menggulirkan vaksinasi gratis untuk warganya menjadi tantangan yang bakal dihadapi.
Dampak pemberian vaksin akan besar dan lebih terasa jika dibarengi oleh intervensi lainnya, baik secara sosial maupun kesehatan secara bersamaan sebagai satu kesatuan. Strategi berlapis ini akan menciptakan pertahanan terbaik terhadap infeksi Covid-19. Pendekatan ini disebut dengan model keju Swiss.
Koran The New York Times pada 5 Desember 2020 melaporkan, pada Oktober lalu seorang epidemiolog dari Harvard TH Chan School of Public Health, Bill Hanage, mencuit ulang sebuah infografis model keju Swiss yang di dalamnya terdapat ”hal-hal yang bersifat personal dan tanggung jawab kolektif”.
Perumpamaan keju Swiss ini sederhana. Perlindungan berlapis diibaratkan lembaran keju yang menahan penyebaran Covid-19. Tak ada lembaran yang sempurna, setiap lembar keju memiliki lubang, dan ketika lubang itu berada sejajar, risiko infeksi meningkat. Namun, jika beberapa lembaran keju digabungkan—dalam hal ini antara lain berupa penggunaan masker, mencuci tangan, jaga jarak, tes, penelusuran kontak, isolasi, ventilasi yang baik, dan komunikasi publik yang jelas—akan secara signifikan mengurangi risiko. Kehadiran vaksin ibarat satu lembaran keju yang turut memperkuat lapisan perlindungan lain.
Konsep awal model keju Swiss berasal dari Bab ”Latent errors and system disaster” dalam buku Human Error yang ditulis James T Reason, psikolog kognitif yang sekarang menjadi profesor emeritus di University of Manchester, Inggris, tahun 1990.
Serangkaian bencana—termasuk ledakan pesawat ulang alik Challenger dan bencana Chernobyl—turut membangun konsep ini yang kemudian dikenal dengan sebutan ”model kecelakaan keju Swiss”. Setiap lubang dalam keju mewakili setiap ”eror” yang berakumulasi dan menyebabkan peristiwa yang buruk.
Model tersebut telah dipakai secara luas oleh analis keselamatan di berbagai bidang industri, termasuk pembangkit nuklir, kedokteran, dan penerbangan selama bertahun-tahun. Pendekatan berlapis untuk mengurangi risiko ini juga dipakai di banyak industri, khususnya yang memiliki dampak sangat besar.
Menurut Ian M Mackay, virolog dari University of Queensland di Brisbane, Australia, model keju Swiss ini sesuai dengan situasi pandemi saat ini. ”Kematian merupakan bencana bagi keluarga dan orang yang disayangi, jadi pendekatan Profesor Reason sangat sesuai dengan risiko infeksi virus SARS-CoV-2 yang bisa berakibat parah dan mematikan,” tuturnya.
Dua level intervensi
Intervensi melawan pandemi Covid-19 dengan model keju Swiss ini mencakup dua hal. Pertama, intervensi di level individu, seperti mengenakan masker, mencuci tangan, dan isolasi mandiri. Kedua, intervensi yang merupakan tanggung jawab kolektif, seperti menutup perbatasan, membatasi mobilitas warga, menutup sekolah, menutup tempat usaha, menggelar tes yang masif, dan penelusuran kontak. Kedua pola intervensi ini, baik individual maupun kolektif, saling melengkapi ibarat kombinasi olahraga dan mengatur pola makan untuk mencegah penyakit kardiovaskular.
Akan tetapi, Wall Street Journal (WSJ) edisi 13 November 2020 melaporkan bahwa model keju Swiss adalah pendekatan generik yang pelaksanaannya bisa berbeda di beberapa negara. ”Lapisan keju” yang memiliki efektivitas yang besar dalam mencegah penyebaran Covid-19 pun bisa berbeda di setiap negara. Namun, satu hal yang tetap dan sama: semua intervensi itu harus dilakukan bersamaan sebagai kesatuan.
Satu pelajaran yang bisa kita ambil dari model keju Swiss adalah bahwa pendekatan ini bisa menunjukkan jalan bagi pengambil keputusan dalam membangun kebijakan berbasis sains yang masuk di tingkat lokal ataupun nasional.
Sepanjang kalkulasi ekonomi dan politik mengalahkan pertimbangan ilmiah kesehatan, dan jika nyawa korban meninggal akibat Covid-19 dianggap hanya sekadar angka, negara tidak akan pernah bisa mengendalikan pandemi.
Sepanjang pernyataan pejabat publik dan kebijakan yang diambilnya bertolak belakang dan atau masyarakat merasa situasi telah ”aman” karena ada vaksin, pada saat itulah sebenarnya negara berada dalam gelombang infeksi yang berkepanjangan. (AP)