Pertarungan Dua Pangeran soal Hubungan Arab Saudi-Israel
Dua pangeran yang mempunyai pengaruh kuat di keluarga besar Al-Saud, yakni Pangeran Turki dan Pangeran Bandar, kini terlibat perang opini di media sosial dan media massa terkait polemik hubungan Arab Saudi dan Israel.
Oleh
Musthafa Abd Rahman dari Kairo, Mesir
·3 menit baca
Pertemuan rahasia Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) di kota Neom pada 22 November lalu berbuntut panjang. Setelah peristiwa itu, terjadi dinamika politik di internal keluarga besar Al-Saud yang berkuasa di Arab Saudi.
Dua pangeran teras Arab Saudi, yaitu Pangeran Turki bin Faisal (75) dan Pangeran Bandar bin Sultan (71), seperti dilansir harian Al Quds al Arabi, Kamis (10/12/2020), terlibat pertarungan soal isu hubungan Arab Saudi-Israel pasca-pertemuan rahasia MBS-Netanyahu itu.
Pangeran Turki bin Faisal adalah Direktur Dinas Intelijen Arab Saudi periode 1979-2001 serta Dubes Arab Saudi untuk Inggris periode 2003-2005 dan Dubes Arab Saudi untuk Amerika Serikat (AS) periode 2005-2007. Adapun Pangeran Bandar bin Sultan adalah Dubes Arab Saudi untuk AS periode 1983-2005, Sekjen Dewan Keamanan Nasional periode 2005-2015, dan Dirjen Dinas Intelijen Arab Saudi periode 2012-2014.
Pangeran Turki menolak keras normalisasi hubungan Arab Saudi-Israel atau Arab Saudi masuk forum Abraham Accord mengikuti jejak Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, dan Sudan sebelum selesai isu Palestina. Ia mendukung Inisiatif Damai Arab tahun 2002 yang dicetuskan Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdulaziz.
Inisiatif Damai Arab 2002 menegaskan kesediaan semua negara Arab dan Islam yang tergabung dalam Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) membuka hubungan resmi dengan Israel dengan imbalan berdirinya negara Palestina di atas tanah tahun 1967 dengan ibu kota Jerusalem Timur.
Sikap Pangeran Turki bin Faisal itu lebih dekat pada sikap Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud yang masih menolak membuka hubungan resmi dengan Israel sebelum selesainya isu Palestina. Raja Salman mewakili sikap generasi kedua keluarga besar Al-Saud yang dikenal konservatif dan pendukung kuat Palestina.
Sementara Pangeran Bandar bin Sultan mendukung Arab Saudi masuk dalam forum Abraham Accord dengan segera membuka hubungan resmi dengan Israel, seperti yang dilakukan UEA, Bahrain, dan Sudan. Ia disinyalir turut terlibat dalam pengaturan pertemuan rahasia MBS-Netanyahu di kota Neom pada 22 November lalu.
Generasi ketiga
MBS mewakili generasi ketiga keluarga besar Al-Saud yang cenderung lebih terbuka dan bersedia membuka hubungan resmi dengan Israel tanpa harus menunggu selesainya isu Palestina.
Dua pangeran yang dikenal sama-sama mempunyai pengaruh kuat di lingkungan keluarga besar Al-Saud, yakni Pangeran Turki dan Pangeran Bandar, kini terlibat perang opini di media sosial ataupun media massa resmi untuk memperkuat posisi mereka masing-masing.
Pangeran Turki bin Faisal dalam forum konferensi internasional tentang keamanan di Manama, Bahrain, pada 4-6 Desember lalu, menyerang Israel yang disebutnya sebagai kekuatan terakhir kolonial Barat di kawasan Timur Tengah. Ia juga menuduh dan mengecam keras Israel yang semena-mena merobohkan rumah-rumah warga Palestina dan membunuh mereka kapan saja dan di mana pun saja.
Sebaliknya, Pangeran Bandar bin Sultan pada 6 Oktober lalu menyerang pimpinan Palestina yang mengkritik hubungan resmi Israel-UEA. Ia menuduh pimpinan Palestina sudah tidak realistis lagi dan terperangkap ilusi belaka karena terus menolak proyek perdamaian.
Menurut harian Al Quds al Arabi, perimbangan kekuatan terkait isu hubungan Arab Saudi-Israel dalam keluarga besar Al-Saud saat ini cenderung menunjukkan posisi Pangeran Turki lebih kuat. Hal ini karena masih ada Raja Salman yang menolak membuka hubungan resmi dengan Israel sebelum isu Palestina selesai.
MBS masih menghormati sikap politik ayahnya, Raja Salman, terkait isu Palestina dan Israel. Karena itu, Arab Saudi masih tidak tergesa-gesa membuka hubungan resmi dengan Israel selama Raja Salman masih hidup. Namun, Arab Saudi tidak mencegah jalinan hubungan tidak resmi dengan Israel, seperti yang terjadi selama ini.