China diduga menggunakan piranti canggih untuk mengawaki gerak-gerik warga Uighur dan menjadikannya materi untuk melakukan penangkapan.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
NEW YORK, RABU - Penangkapan sewenang-wenang terhadap warga masyarakat muslim di Xinjiang, China, rupanya memanfaatkan data besar. Program komputerlah yang mengatur dan memilih siapa saja yang akan ditangkap dan pemilihannya berdasarkan perilaku yang dianggap mencurigakan.
Laporan lembaga non pemerintah Human Rights Watch (HRW) di New York, Amerika Serikat, Rabu (9/12/2020), mengungkapkan itu mengacu pada data yang bocor. Di dalam data itu terdapat lebih dari 2.000 orang dari Perfektur Aksu yang ditahan. Ini menjadi bukti represi China yang brutal terhadap muslim Turkic Xinjiang dan dilakukan dengan bantuan teknologi.
Perlakuan Beijing terhadap komunitas muslim itu menuai kecaman dari komunitas internasional. Sebanyak 1 juta warga muslim Uighur dan mayoritas kelompok minoritas muslim lainnya telah ditahan di kamp-kamp detensi. Pemerintah China membela diri dengan mengatakan itu bukan kamp detensi melainkan pusat-pusat pelatihan vokasi yang bertujuan membasmi terorisme dan meningkatkan kesempatan kerja.
Bukti lain penggunaan teknologi untuk menindas komunitas muslim adalah menggelembungnya pengeluaran untuk kepentingan pengawasan di Xinjiang dalam beberapa tahun terakhir. Teknologi yang digunakan antara lain pengenalan wajah, pemindai iris mata, pengumpulan DNA, dan kecerdasan buatan yang dipasang di seluruh provinsi untuk kepentingan mencegah terorisme.
HRW mendapatkan data polisi yang bocor yang berisi nama-nama tahanan mulai dari pertengahan 2016 hingga akhir 2018. Data itu diperoleh dari sumber yang tidak disebutkan namanya yang pernah memberikan konten audiovisual dari dalam fasilitas di Aksu. HRW memberikan contoh "Nyonya T" yang ditahan karena alasan "berhubungan dengan negara-negara yang sensitif". Ia masuk daftar karena beberapa kali menerima telepon dari nomer telepon asing yang ternyata nomer adiknya.
Para peneliti di HRW juga berbicara dengan "Nyonya T" itu dan diberitahu bahwa polisi menginterogasi adiknya di Xinjiang. Tetapi ia mengaku tidak pernah berkomunikasi langsung dengan keluarganya. "Nyonya T" dan orang-orang lain "ditandai" lalu ditangkap melalui program bernama Platform Operasi Bersama Terintegrasi yang mengumpulkan data dari sistem pengawasan di Xinjiang. Dari hasil penandaan itu kemudian otoritas memutuskan apakah akan mengirim mereka ke kamp-kamp pengasingan itu atau tidak.
Melanggar hukum
HRW menjelaskan dari hasil penelitian mereka diketahui mayoritas orang yang "ditandai" itu dilihat dari perilakunya yang dianggap melanggar hukum seperti menerima telepon dari keluarga atau saudara di luar negeri, tidak memiliki alamat yang jelas, atau sering mematikan telepon mereka. Hanya sekitar 10 persen orang yang namanya ada di daftar yang ditahan karena terorisme atau ekstremisme.
Di dalam daftar itu juga disebutkan mayoritas orang ditahan hanya gara-gara "ditandai" oleh platform terintegrasi itu. HRW belum mempublikasikan seluruh isi daftar itu karena mengkhawatirkan keselamatan orang yang membocorkan daftar itu.
Juru bicara kementerian luar negeri China, Zhao Lijian, menuding HRW memancing persoalan dan laporan itu tidak layak untuk disangkal. Belum ada penjelasan atau komentar baik dari otoritas Xinjiang maupun China.
Secara terpisah, perusahaan penelitian pengawasan IPVM di AS menyebutkan perusahaan raksasa telekomunikasi China, Huawei, terlibat dalam uji coba piranti lunak pengenalan wajah yang bisa mengirimkan peringatan ke polisi ketika mengenali wajah-wajah kelompok minoritas Uighur.
Laporan internal Huawei yang disebutkan IPVM itu sudah dihapus dari situs Huawei tetapi masih bisa dicari dengan mesin pencari Google. Laporan itu menyebutkan piranti lunak itu bisa mengenali Uighur berdasarkan usia, jenis kelamin, etnis, dan sudut gambar wajah. Namun, Huawei menjelaskan program itu belum pernah digunakan dan Huawei hanya menyediakan produk-produk umum. (AFP)