Presiden Venezuela Nicolas Maduro diprakirakan akan kembali mempertahankan posisinya pascapemilu legistalif. Pemboikotan kelompok oposisi justru akan memperkuat partai pendukung Maduro di parlemen.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
CARACAS, MINGGU — Kekuasaan Presiden Venezuela Nicolas Maduro kemungkinan akan bertahan karena partai-partai oposisi yang dipimpin rival Maduro, Juan Guaido, memboikot pemilu parlemen yang diduga curang. Dengan pemboikotan ini, tidak diragukan lagi, Partai Sosialis yang berkuasa akan menguasai kursi mayoritas parlemen dengan jumlah total 227 kursi.
Setelah memasukkan kartu suaranya, Minggu (6/12/2020), Maduro mengatakan, sudah saatnya mengakhiri dominasi oposisi di parlemen. Oposisi dinilai Maduro hanya membawa kesengsaraan bagi rakyat Venezuela.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo menuding pemilu parlemen Venezuela curang dan sudah diatur oleh Maduro. AS yang mendukung Guaido (37) selama ini menekan Venezuela dengan sanksi-sanksi ekonomi untuk menggulingkan Maduro. Salah satu bentuk sanksinya adalah embargo minyak pada April 2019. ”Hasil pemilu ini tidak merefleksikan keinginan rakyat Venezuela,” tulis Pompeo di Twitter.
Alasan pemboikotan karena ada dugaan kecurangan dan sistemnya sudah diatur oleh Maduro. Mahkamah Agung tahun ini menunjuk komite pemilu baru, termasuk tiga anggota yang sudah dijatuhi sanksi oleh AS dan Kanada. Penunjukan itu tanpa partisipasi dari kongres yang dikuasai oposisi. Padahal, sesuai hukum yang berlaku, oposisi harus diajak serta.
Maduro sudah berkampanye untuk kandidat-kandidat dari partainya, termasuk anak dan istrinya. Ia berjanji akan membungkam oposisi sayap kanan yang dituding memicu gejolak protes dan sanksi dari AS. ”Ada yang merencanakan kudeta dan mereka sendiri yang mengundang intervensi militer,” kata Maduro.
Referendum
Oposisi berencana mengadakan referendum beberapa hari setelah pemilu berakhir. Referendum itu akan meminta rakyat Venezuela memilih apakah akan mengakhiri kekuasaan Maduro atau menggelar pemilu presiden. Dari sejumlah jajak pendapat yang ada, sebenarnya Maduro dan Guaido sama-sama tidak terlalu populer di mata rakyat Venezuela, apalagi saat sedang krisis seperti sekarang.
Pemilu parlemen yang diikuti 14.000 kandidat dari 100 partai politik ini diselenggarakan saat Venezuela sedang mengalami krisis ekonomi dan politik. Kehidupan rakyat menderita gara-gara inflasi, kesulitan bahan bakar, kekurangan air bersih dan gas, dan kerap mati listrik. Sejak November 2019, tingkat inflasi sudah mencapai 4.000 persen.
”Rakyat tetap harus memilih. Jangan mau dikendalikan orang lain,” kata Fany Molina (70), warga Caracas.
Di sejumlah kota, lebih banyak orang mengantre bahan bakar ketimbang memberikan suaranya di tempat pemungutan suara. ”Ini memalukan. Antrean panjang sekali. Saya tidak mau ikut pemilu,” kata Jose Alberto, yang mengantre selama berjam-jam di SPBU.
Karol Teran, perawat dan ibu tunggal, mengatakan tidak mau memilih karena toh tidak akan ada perubahan berarti. Apalagi, sudah jelas pemilunya curang. ”Buang-buang waktu saja. Cuma kasih kesempatan orang berkuasa. Kami sudah capek dengan kondisi seperti ini,” ujarnya.
Maduro, bekas sopir bus yang menjadi presiden setelah kematian mentornya, Hugo Chavez, pada tahun 2013 terpilih lagi tahun 2018 dalam pemilu yang juga curang. Pada waktu itu, oposisi juga memboikot pemilu sehingga kemenangan Maduro dinilai tidak sah oleh komunitas internasional. AS, Uni Eropa, dan negara-negara Amerika Latin menuding bahwa krisis ekonomi terjadi karena kepemimpinan Maduro yang represif dan salah urus.
Komunitas internasional malah mendukung Guaido ketika Guaido yang juga menjadi Ketua Majelis Nasional itu menyatakan dirinya sebagai presiden interim pada Januari tahun lalu. Guaido meminta pemilih untuk di rumah saja karena pemilu parlemen ini curang. ”Tujuan Maduro hanya mau menghilangkan semua nilai-nilai demokrasi,” ujarnya.
Rencana referendum Guaido dan sekutunya itu juga untuk mendapatkan dukungan publik guna memperpanjang mandat Majelis Nasional sampai nanti ada pemilu yang bebas, bisa diverifikasi, dan transparan. Namun, hasilnya belum tentu menjanjikan akan bisa mengubah kondisi karena Maduro menguasai Mahkamah Agung dan militer.
Namun, para pengamat menilai, popularitas Guaido memudar dan jika kalah, dia bisa terisolasi dan akan kehilangan posisi kepemimpinan di Majelis Nasional. Sebaliknya, jika Maduro menang, Rusia dan China yang akan paling gembira. Keduanya selama ini dekat dengan Venezuela.
Posisi Guaido tidak terlalu kuat karena ada sejumlah oposisi yang tidak sepaham dengan keputusan boikot Guaido dan mereka akan ikut pemilu. ”Merekalah yang akan mewakili oposisi baru setelah 5 Januari mendatang,” kata pengamat politik Jesus Castillo. (REUTERS/AFP/AP)