CARACAS, MINGGU - Tindakan oposisi memboikot pemilu menguntungkan posisi Presiden Nicolas Maduro (55). Dengan kepersertaan pemilih yang kecil, Maduro diperkirakan akan menang dan kembali memimpin Venezuela.
Pemungutan suara yang berlangsung Minggu (20/5/2018) dibayangi hasil suara yang tak maksimal. Antusiasme warga untuk memberi suara diperkirakan terendah sejak tahun 1998 saat Hugo Chavez terpilih. Sebuah survei terbaru menyebutkan, hanya 34 persen dari 20,5 juta pemilih memastikan diri berpartisipasi. Sekitar 80 persen responden, menurut survei Datanalisis, menyatakan Maduro bekerja buruk.
Jika perkiraan benar, Maduro yang memimpin sejak tahun 2013 akan memperpanjang masa jabatannya lagi yang dihitung mulai Januari 2019 sampai enam tahun berikut. Pemilu yang biasanya diselenggarakan bulan Desember kali ini dipercepat oleh keputusan Majelis Konstituante.
Banyak rakyat bimbang menggunakan hak suara. Untuk pertama kali dalam hidup, saya tidak akan ikut memberi suara karena kami hidup seperti anjing, tanpa obat-obatan, tanpa makanan,” kata Teresa Paredes (56), seorang ibu rumah tangga. Sebaliknya, Alvaro Toroa, pensiunan berusia 64 tahun, justru akan menggunakan haknya. ”(Keadaan) ini harus diakhiri. Falcon mampu membawa ketidakpuasan terhadap pengikut Chavez dan oposisi,” katanya.
Dalam kampanye terakhirnya, Kamis, Maduro berjanji melawan ”perang ekonomi” yang menurut dia dipelopori AS. ”Saya mengulurkan tangan buat seluruh rakyat Venezuela sehingga kita bisa bergerak bersama dengan cinta dan kembali merebut tanah air,” ucapnya di depan khalayak di Caracas. Lewat akun Twitter-nya, Sabtu, pengikut Chavez ini berjanji melakukan ”revolusi ekonomi” jika dia terpilih kembali.
Rival utamanya, Henri Falcon, di tempat terpisah sebaliknya berjanji memperkuat ekonomi dan mengembalikan perusahaan-perusahaan yang sudah diambil alih. Demikian pula dia berjanji mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Venezuela. Falcon, satu-satunya pesaing Maduro, adalah pejabat militer dan gubernur. Dia merupakan calon independen.
Partai-partai oposisi yang menentang pemerintahan diktator Maduro tidak kompak mengusung calon untuk bersaing dengan Maduro. Koalisi oposisi banyak mengandalkan perubahan lewat kekuatan-kekuatan di luar. Amerika, negara-negara Eropa, dan negara-negara Amerika Latin mengecam Maduro. Mereka tidak akan mengakui hasil pemilu jika Maduro menang.
Semakin parah
Venezuela yang pernah dilimpahi kekayaan minyak kini dalam kondisi ekonomi yang sangat berat. Lembaga Moneter Internasional (IMF) menyatakan, sejak 2013, produk domestik bruto negara ini turun 45 persen. Di lapangan, kesulitan ekonomi sangat terasa dengan ketiadaan bahan-bahan pokok. Rak-rak di supermarket banyak yang kosong. Obat-obatan sudah sejak lama sulit didapat. Warga harus mengantre hingga empat jam untuk mendapat makanan bersubsidi.
Inflasi di negeri ini terus membubung hingga mencapai tiga digit. Kelumpuhan ekonomi ini membuat banyak warga memilih meninggalkan negeri itu untuk mencari peruntungan di luar.
Banyak pihak mengkhawatirkan perkembangan Venezuela. ”Faktor kunci adalah ekonomi dan militer. Negara ini dalam keadaan gawat dan sesuatu bisa memicu kerusuhan yang sulit dikendalikan,” kata pengamat Michael Shifter. (AFP/AP/REUTERS/RET)