Indonesia Kembali Desak Eropa untuk Hentikan Diskriminasi pada Minyak Sawit
Industri sawit penting bagi ASEAN. Sebanyak 26 juta warga ASEAN bekerja pada industri sawit dengan nilai mencapai 19 miliar dollar AS. Selain itu, sedikitnya 40 persen perkebunan sawit ASEAN dikelola petani kecil.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia kembali mendesak Uni Eropa menghentikan diskriminasi terhadap minyak sawit dan produk turunannya. Bagi ASEAN, industri sawit penting karena menyediakan lapangan kerja untuk sedikitnya 26 juta orang.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan, desakan Indonesia tersebut disampaikan dalam pertemuan para menlu ASEAN-Uni Eropa (UE). Dalam pertemuan secara virtual pada 1 Desember lalu itu, Retno menyampaikan bahwa permintaan untuk bersikap adil pada produk sawit merupakan hal wajar.
”Indonesia terus mendorong agar UE memberi perlakuan nondiskriminatif terhadap minyak sawit. Tidak hanya dari Indonesia, tetapi (dorongan itu datang) juga dari negara ASEAN lainnya,” ujar Retno dalam konferensi pers daring, Kamis (3/12/2020), di Jakarta.
Retno juga menyambut baik penyelenggaraan kelompok kerja bersama (JWG) tentang minyak nabati pada Januari 2021. Pertemuan JWG, yang antara lain membahas minyak sawit, disebut sebagai kemajuan besar.
”JWG merupakan hasil perjuangan Indonesia sejak Maret 2019 yang diusulkan untuk mendorong kebijakan nondiskriminatif, adil, dan seimbang terhadap komoditas sawit yang merupakan komoditas strategis Indonesia,” kata Retno.
”JWG ditujukan sebagai forum tukar pandangan terkait kriteria keberlanjutan dan proses sertifikasi minyak nabati, membahas kerja sama untuk mendorong produksi minyak sawit yang ramah lingkungan, khususnya bagi petani kecil, dan mendorong penelitian untuk membentuk kriteria berkelanjutan hingga sertifikasi dari minyak nabati,” kata Retno menambahkan.
JWG diharapkan bisa mendorong penyesuaian kebijakan Uni Eropa terhadap komoditas sawit. ”Saya juga menekankan bahwa JWG ini harus membawa manfaat bagi semua pihak dan menjamin hak negara untuk pembangunan berkelanjutan, khususnya dalam kaitannya dengan pemberdayaan masyarakat dan pemangku kepentingan minyak sawit dan seluruh minyak nabati lainnya,” lanjutnya.
Bagi ASEAN, industri sawit penting bagi pencapaian target dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Sebanyak 26 juta warga ASEAN bekerja di industri sawit yang nilainya mencapai 19 miliar dollar AS. Selain itu, sedikitnya 40 persen perkebunan sawit ASEAN dikelola petani kecil.
Bagi Indonesia, sawit memberi devisa hingga 23 miliar dollar AS. Selain itu, kemiskinan berkurang sampai 10 juta jiwa dalam 20 tahun terakhir karena pengembangan industri sawit.
”Indonesia tidak akan mengorbankan kelestarian lingkungan hanya untuk mengejar pembangunan ekonomi. Kita akan terus memegang prinsip bahwa pemulihan ekonomi pascapandemi dalam konteks lingkungan hidup akan terus menjadi kepentingan dan komitmen Indonesia, ASEAN, dan sudah seharusnya seluruh mitra kita juga memiliki komitmen yang sama,” tutur Retno.
Lebih lanjut ia menekankan, kemitraan ASEAN-UE harus mencakup kepentingan kedua kawasan. Kemitraan juga harus dilandasi saling menghormati, kesetaraan, dan tindakan yang tidak diskriminatif.
Ganjalan
Isu sawit menjadi salah satu ganjalan dalam hubungan ASEAN-UE. Indonesia dan Malaysia menuding UE mendiskriminasi produk sawitnya. Sementara UE berkilah hanya berusaha mematuhi keinginan warganya yang mendorong pelestarian lingkungan.
Di tengah proses perundingan perjanjian dagang ASEAN-UE, Indonesia, Malaysia, dan sejumlah negara kini menggugat UE di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Gugatan disampaikan Indonesia pada Desember 2019. Belakangan, sejumlah negara melibatkan diri dalam gugatan itu. Pada November 2020, WTO menetapkan panel untuk memeriksa aduan Indonesia.
Dalam aduan kepada WTO, Indonesia menyebut UE melanggar sejumlah pasal dalam Kesepakatan Hambatan Dagang (TBT) serta Kesepakatan Umum Tarif dan Perdagangan (GATT). UE juga dituding melanggar kesepakatan soal subsidi (SCM).