Uni Eropa Inginkan Jalur Dialog untuk Selesaikan Hambatan Tarif Sawit
Uni Eropa dan sejumlah negara ASEAN, termasuk Indonesia, akan berdialog untuk menyelesaikan kemelut perdagangan minyak kelapa sawit pada Januari 2021.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Uni Eropa menginginkan jalur dialog untuk menyelesaikan persoalan hambatan tarif atas produk minyak kelapa sawit Indonesia dan sejumlah negara anggota ASEAN. Dialog direncanakan berlangsung dalam sebuah kelompok kerja dan akan dimulai pada Januari 2021.
Duta Besar Uni Eropa (UE) untuk ASEAN Igor Driesman saat berbincang secara daring dengan sejumah jurnalis, Rabu (2/12/2020), mengakui bahwa masih ada sejumlah perbedaan pandangan antara UE dan ASEAN atas tanaman kelapa sawit. Dampaknya ialah keputusan UE untuk memberlakukan hambatan tarif atas minyak kelapa sawit Indonesia dan sejumlah negara ASEAN.
Driesman mengatakan, perbedaan yang dimaksud di antaranya soal klasifikasi tanaman kelapa sawit dan turunannya, termasuk dalam energi baru dan terbarukan (EBT). Bisa juga sebaliknya, yakni termasuk pembangunan yang berkelanjutan hingga masalah sertifikasi produk hasil industri kelapa sawit.
Meskipun belum ada kesepakatn khusus untuk memecah kebuntuan, Driesman mengatakan, UE merupakan pasar yang luas dengan tarif masuk minyak sawit yang lebih rendah dibandingkan dengan pasar-pasar sejenis. Bahkan, di tengah kondisi ekonomi yang tidak baik, terjadi kenaikan pasokan minyak kelapa sawit Indonesia dan Malaysia ke pasar UE hingga 40 persen pada tahun ini.
”Kami berharap, dalam pertemuan yang akan dimulai bulan depan, akan terjadi dialog yang baik antara Uni Eropa, Indonesia, dan sejumlah produsen minyak sawit ASEAN,” kata Driesman.
Pada Maret 2019, Komisi UE meloloskan aturan pelaksanaan (delegated act) atas Arahan Energi Terbarukan (Renewable Energy Directive/RED) II. Dalam dokumen itu, Komisi UE menyimpulkan kelapa sawit mengakibatkan deforestasi besar-besaran secara global dan berencana menghapus secara bertahap penggunaan kelapa sawit hingga nol persen pada tahun 2030.
Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi dalam pernyataannya pada pertemuan ke-23 para Menlu ASEAN dan UE, Senin (1/12/2020), menyatakan, dalam perdagangan minyak sawit dan industri pendukungnya, Pemerintah Indonesia tidak mengorbankan kelestarian lingkungan.
Hal itu bisa dibandingkan dengan luasan tanah yang digunakan oleh industri minyak nabati (yang bersumber dari tanaman atau pohon lainnya) yang menggunakan luasan lahan hingga 278 juta hektar.
Sementara luas tanaman kelapa sawit hanya menggunakan lahan seluas 17 juta hektar. Penggunaan lahan kelapa sawit memiliki hasil yang efektif dibandingkan dengan minyak nabati lainnya.
”Indonesia tidak mengorbankan kelestarian lingkungan hanya untuk mengejar pembangunan ekonomi,” kata Retno, dikutip dari laman Kemlu RI.
Dalam pertemuan itu, Menlu Retno juga menyampaikan bahwa Asia Tenggara merupakan penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia dengan sumbangan mencapai 89 persen produksi dunia. Lebih dari 40 persen perkebunan sawit dikelola oleh petani kecil di ASEAN.
Di Indonesia, industri ini telah menekan angka kemiskinan sebesar 10 juta dan berkontribusi pada capaian devisa Indonesia sebesar 23 miliar dollar pada tahun 2019.
Indonesia menekankan bahwa pemulihan ekonomi pascapandemi dalam konteks perlindungan lingkungan hidup menjadi kepentingan dan komitmen bersama.
Menlu Retno mencoba meyakinkan komitmen Pemerintah Indonesia bahwa minyak sawit yang ramah lingkungan adalah bagian komitmen Indonesia, dan UE perlu menerapkan prinsip keadilan dalam isu ini.
Menlu Retno juga menekankan bahwa kemitraan ASEAN dan UE ke depan perlu terus menjunjung prinsip saling menguntungkan untuk kedua kawasan. Tak hanya itu, prinsip kesetaraan dan nondiskriminatif juga menjadi landasan kerja sama kedua belah pihak.