Sebagai kekuatan adi daya, seberapa besar pun kekuatan China, Beijing tetap membutuhkan mitra-mitranya di kawasan, dan global.
Oleh
B Josie Susilo Hardianto
·3 menit baca
Siapa pun mengakui, China telah tumbuh menjadi kekuatan utama dunia. Pengaruhnya membuat raksasa seperti Amerika Serikat harus bergerak lebih strategis dan negara-negara di kawasan, terutama yang bersinggungan dengan China, seperti India, Vietnam, Jepang, Filipina, dan Australia, memperkuat ”otot-otot” mereka.
Sampai-sampai, AS, India, Australia, dan Jepang menjalin aliansi yang dikenal sebagai Quad, dan disebut-sebut merupakan ”NATO”-nya Asia. Sebutan itu merujuk pada pakta militer AS-Eropa untuk mengimbangi kedigdayaan Rusia.
Meski tidak tergabung dalam Quad, negara-negara di kawasan, seperti Indonesia dan Korea Selatan, yang secara tidak langsung ”bersinggungan” dengan China, Jakarta terkait isu ZEE di Laut China Selatan, sementara Seoul terkait dengan Pyongyang, tetap harus waspada.
Seiring dengan melesatnya pertumbuhan ekonomi dan penguasaan teknologi, kekuatan militer China pun berkembang menjadi salah satu yang ditakuti. Bahkan, akhir-akhir ini Beijing tidak ragu-ragu menunjukkan ”taring”-nya itu dengan menguji rudal-rudal jarak jauh yang mampu menghancurkan kapal perang dan kapal induk. Bersamaan menguatnya ekspansi ekonomi lewat prakarsa sabuk dan jalan, China pun mengiringinya dengan ”pertunjukan” kekuatan-kekuatan penggentar sekaligus pertahanan di arena Indo-Pasifik.
Beberapa kali, dengan percaya diri, militer China mengerahkan kekuatannya untuk membayangi kapal perang dan pesawat-pesawat tempur AS yang tengah memastikan kebebasan navigasi di kawasan perairan dan udara Laut China Selatan terjaga.
Selain itu, China pun memainkan pendekatan ”lunak”, baik melalui kekuatan ekonominya maupun diplomatik. Ketika AS di era Presiden Donald Trump ”mundur” dari ruang multilateral, China perlahan hadir untuk mencoba mengisi kekosongan itu. Di kawasan, China dengan percaya diri melakukan pendekatan-pendekatan bilateral untuk ”meredam” gejolak mitra-mitranya, salah satunya Filipina.
Akan tetapi, apabila dunia dilihat layaknya komunitas manusia, sekuat apa pun suatu entitas, ia tetap akan membutuhkan yang lain. Demikian juga dengan China.
China tidak bisa hidup sendiri, bahkan jika Beijing membangun dan memiliki kekuatan, seberapa besar pun itu.
Kunjungan Menteri Luar Negeri China Wang Yi ke Tokyo untuk bertemu mitranya Menlu Toshimitsu Motegi dan Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga dapat dilihat dari perspektif itu.
Sebagaimana dikutip South China Morning Post, Kazuto Suzuki, seorang profesor ekonomi politik internasional di Sekolah Pascasarjana Kebijakan Publik Universitas Tokyo, mengatakan, Wang sejatinya ingin ”menguji air” untuk mengetahui betapa berbedanya Suga dibandingkan dengan Shinzo Abe.
China perlu ”mengukur kembali” Jepang setelah Tokyo memutuskan terlibat dalam Quad dan memperluas kerja sama militer dengan Australia. Tak dapat ditutupi, Beijing gusar dengan perkembangan itu.
China perlu menakar kembali bagaimana situasi kawasan setelah Suga memilih mengunjungi Vietnam dan Indonesia sebagai negara-negara pertama yang dikunjunginya setelah resmi dilantik menjadi Perdana Menteri Jepang.
Dalam kunjungan Wang ke Tokyo, meskipun masih ada ganjalan soal isu sengketa di Laut China Timur, baik China maupun Jepang memilih membuat jalur komunikasi khusus jika terjadi sesuatu di kawasan itu. Terkait ekonomi, tak ada persoalan, semua sepakat untuk meningkatkan kerja sama, termasuk upaya pemulihan ekonomi yang terdampak pandemi Covid-19.
Setidaknya, upaya diplomatik itu dapat memberi gambaran, bagaimanapun, berkawan akan jauh lebih menguntungkan.