Momentum Hari Toleransi Makin Relevan di Tengah Kebencian yang Merebak
Setiap 16 November, dunia memperingati Hari Toleransi Internasional sebagai kesepakatan Sidang Umum PBB tahun 1995. Perayaan itu kian penting saat ini di tengah meningkatnya kebencian.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
PARIS, SENIN — Setiap tahun pada 16 November, yang tahun ini jatuh pada Senin ini, komunitas internasional merayakan Hari Toleransi Internasional. Tahun ini pesan dan semangat perayaan hari itu semakin menemukan momentumnya di tengah dunia yang diwarnai aroma kebencian dan membesarkan perbedaan-perbedaan.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) senantiasa berkomitmen memperkuat toleransi dengan memupuk saling pengertian di antara budaya dan masyarakat. Keharusan ini, menurut laman resmi PBB, terletak pada inti Piagam PBB dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Toleransi disebutkan lebih penting dari sebelumnya, terutama pada era meningkatnya ekstremisme kekerasan dan meluasnya konflik yang ditandai dengan pengabaian mendasar terhadap kehidupan manusia.
Pemilihan tanggal 16 November sebagai Hari Toleransi Internasional adalah hasil kesepakatan Sidang Umum PBB pada 1995. Dalam sidang umum itu disepakati adopsi atas Resolusi 51/95 sebagai dasar penetapan Hari Toleransi Internasional. Langkah ini juga diikuti dengan adopsi Deklarasi Prinsip-prinsip Toleransi. Deklarasi itu disepakati seluruh anggota UNESCO.
Sekretaris Jenderal PBB António Guterres telah meminta komunitas global untuk melawan kebencian dalam segala bentuknya. Ia pun mendorong publik untuk menolak ”kebohongan dan kebencian” yang menyebabkan bangkitnya gerakan, seperti nazisme dan gerakan lain yang memecah belah masyarakat saat ini.
Diperingatkan juga bahwa selain pandemi Covid-19, ”virus” anti-semitisme dan bentuk kebencian berbasis identitas lainnya juga telah menyebar.
”Dalam beberapa bulan terakhir, aliran prasangka terus-menerus merusak dunia kita: serangan anti-semit, pelecehan, dan vandalisme; penyangkalan holocaust (genosida terhadap warga Yahudi Eropa oleh kelompok Nazi Jerman pada Perang Dunia II); pengakuan bersalah dalam rencana neo-Nazi untuk meledakkan sinagoge,” kata Guterres, seperti dikutip pada laman resmi PBB.
”Dunia kita saat ini membutuhkan kembali alasan dan penolakan terhadap kebohongan dan kebencian yang mendorong Nazi serta menyebabkan retaknya masyarakat saat ini.”
Dunia kita saat ini membutuhkan kembali alasan dan penolakan terhadap kebohongan dan kebencian yang mendorong Nazi serta menyebabkan retaknya masyarakat saat ini.
Pernyataan Guterres itu disampaikannya pada pidato penerimaan Penghargaan Theodor Herzl 2020 yang disematkan pada dirinya, Senin (9/11/2020). Penghargaan ini merupakan penghargaan tertinggi yang diberikan oleh Kongres Yahudi Dunia. Peristiwa itu bertepatan dengan peringatan Kristallnacht atau ”Malam Kaca Pecah” atas perintah Nazi pada 9-10 November 1938. Saat itu sejumlah rumah, kawasan bisnis, dan sinagoge Yahudi dihancurkan.
Guterres mengatakan bahwa sebagai Sekjen PBB, dirinya bekerja untuk memobilisasi koalisi global melawan fanatisme. Dia mengungkapkan, bahkan sebelum pandemi Covid-19, PBB telah bekerja untuk melawan ujaran kebencian, termasuk melalui rencana aksi formal.
Perlawanan tersebut disuarakan keras-keras seiring meningkatnya serangan terhadap sinagoge, masjid, dan gereja. Hal itu sekaligus sebagai upaya untuk melindungi tempat ibadah dan situs keagamaan lainnya, dipimpin oleh Aliansi Peradaban PBB (UNAOC).
Sekjen PBB juga memperkuat seruannya untuk gencatan senjata global sehingga dunia dapat fokus memerangi musuh bersama, yakni virus korona.
Ditegaskan bahwa sifat dan ujaran kebencian tidak membeda-bedakan. Ketika masyarakat jatuh ke dalam penindasan dan kekerasan, semua orang dengan latar belakang apa pun diwarnai kerentanan. ”Mari kita ingat apa yang dikatakan sejarah tentang terjatuhnya seseorang (menjadi korban) dalam represi dan kekerasan: suatu hari tetangga Anda diserang, hari berikutnya kemungkinan besar Anda (pun mengalami),” kata Guterres memperingatkan.
Mengutip mantan Sekjen PBB Kofi Annan, toleransi adalah ”kebajikan yang memungkinkan perdamaian”. Hal senada pernah diungkapkan Direktur Jenderal UNESCO Audrey Azoulay. Ia mengatakan, pada saat ekstremisme dan fanatisme terlalu sering dilepaskan, ketika ”racun kebencian” terus meracuni sebagian dari umat manusia, toleransi senantiasa memberikan aura kebajikan.
Kabar baik
Kabar baik datang dari Doha awal pekan ini. Presiden Tunisia Kais Saied dan Pemerintah Qatar akan berusaha mempromosikan dialog antara dunia Muslim dan Barat. Promosi itu digelar untuk mencegah reaksi anti-Muslim menyusul serangan ekstremis baru-baru ini.
Saied mengatakan kepada kantor berita Qatar (QNA) bahwa Doha dan Tunisia mengusulkan untuk mengadakan ”konferensi Islam-Barat yang bertujuan mencapai pemahaman yang lebih besar dan mengatasi hambatan yang muncul setelah beberapa serangan teroris”. Inisiatif itu diharapkan menjadi respons konstruktif atas pernyataan Presiden Perancis Emmanuel Macron baru-baru ini.
Macron kala itu mengatakan bahwa Islam berada ”dalam kondisi krisis” menyusul serangkaian serangan di Perancis. Bulan lalu, pemimpin Perancis itu juga mengumumkan rencana untuk mempertahankan nilai-nilai sekuler negaranya melawan ”radikalisme Islam”. Sontak hal itu memicu gelombang kecaman luas dari seluruh dunia Muslim.
Seperti dikutip QNA, Saied mengatakan, ”Tujuan konferensi Islam-Barat itu juga untuk menghindari kebingungan Muslim dengan ekstremis yang mengaku sebagai Muslim.” ”Ada kebutuhan untuk membedakan antara Islam dan tujuan sebenarnya dengan terorisme, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan Islam,” tambahnya.
Saied dan delegasi Tunisia berada di Qatar untuk kunjungan kenegaraan tiga hari. Menurut Kementerian Luar Negeri Qatar, kedua pihak juga membahas topik panas Libya yang tengah dilanda konflik. (AFP)