Libya Belum Sepakati Pemerintahan Sementara Bersama
Upaya damai terus dilakukan untuk Libya. Bahkan, ada kesepakatan untuk menggelar pemilu. Namun, di sisi lain tantangannya masih berat. Belum ada kesepakatan untuk membentk pemerintah transisi.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
TUNIS, MINGGU — Pembicaraan mengenai masa depan Libya ditunda tanpa menyebut pemerintah baru yang akan mengawasi transisi dengan kemungkinan pemilu tahun depan. Sebanyak 75 partisipan pilihan PBB yang hadir dalam pertemuan itu sudah sepakat akan menggelar pemilihan presiden dan pemilihan parlemen, 24 Desember 2021.
Akan tetapi, Utusan Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Libya, Stephanie Williams, Minggu (15/11/2020), mengatakan, pembicaraan itu berakhir tanpa ada kesepakatan akan masalah otoritas eksekutif yang harus ada untuk bisa menyelenggarakan pemilu. ”Konflik selama 10 tahun memang tidak bisa diselesaikan hanya dalam satu pekan,” ujarnya.
Pertemuan akan dimulai kembali secara daring pada pekan depan untuk membahas struktur baru dan peran dari otoritas eksekutif itu. Selain itu, juga akan dibahas isu basis konstitusional untuk pemilu.
Pertemuan di Tunisia selama sepekan itu merupakan bagian dari proses perdamaian yang lebih luas dan genjatan senjata militer yang telah disepakati di antara kedua belah pihak bertikai, yakni Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) yang diakui komunitas internasional dengan Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Khalifa Haftar.
Meski ada potensi perdamaian, masih banyak warga Libya yang meragukan hasilnya. Pasalnya, upaya mengakhiri konflik selama bertahun-tahun seperti ini sudah sering dilakukan. Sejak tahun 2014, Libya sudah terpecah antara faksi-faksi di Tripoli yang dikuasai GNA dan Libya timur yang dikuasai LNA dan didukung Uni Emirat Arab, Rusia, serta Mesir.
GNA dibentuk dari hasil perjanjian politik yang didukung PBB tahun 2015, tetapi ditolak oleh faksi timur. Tahun lalu, Haftar melancarkan serangan ke Tripoli. Namun, setelah konflik berdarah selama setahun, pasukan Haftar dilawan pasukan pro pemerintah yang didukung Turki. Libya sudah terjerat konflik sejak pemberontakan yang menggulingkan dan membunuh diktator Moamer Kadhafi tahun 2011.
Peta jalan
Pembicaraan di antara 75 perwakilan itu merupakan upaya terbaru untuk mewujudkan perdamaian. Mereka diminta menyusun peta jalan menuju pemilu, menetapkan mandat eksekutif interim, dan memilih anggota-anggotanya. Namun, para pengamat mengkritisi cara delegasi-delegasi itu dipilih.
Mereka juga meragukan pengaruh otoritas eksekutif interim itu nantinya karena saat ini di Libya ada dua pemerintahan yang berjalan bersamaan. Belum lagi kelompok-kelompok bersenjata dan pihak-pihak asing yang saling bersaing memperebutkan kekuasaan.
Pada bulan Oktober lalu, pembicaraan militer menghasilkan kesepakatan gencatan senjata secara resmi. Perkembangan baik pada bidang ekonomi dan politik meningkatkan harapan kemajuan Libya. Namun, para pengamat mengingatkan hambatan-hambatan yang masih ada untuk mencapai solusi akhir.
Ahli Libya di Institut Clingendael di Den Haag, Jalel Harchaoui, mengingatkan adanya kepentingan asing yang bisa saja menggagalkan proses perdamaian. ”Hambatan terbesar PBB adalah adanya pangkalan militer permanen Turki dan Rusia, serta pejabat-pejabat UEA di Libya,” ujarnya.
Meski masih ada hambatan itu, mantan utusan untuk Libya di PBB sekaligus arsitek proses perundingan Libya, Ghassan Salame, menyatakan masih memiliki harapan besar perdamaian akan terwujud karena ada faktor-faktor positif. Rakyat Libya juga makin tidak suka dengan intervensi dari pihak luar dan kelompok-kelompok bersenjata.
Salame mengatakan, Turki dan Rusia bisa melihat hasil dari kontrak infrastruktur bernilai miliaran dollar AS yang ditandatangani Khadafi, tetapi masih dihargai Libya. Williams berjanji akan terus mendorong pembentukan eksekutif interim. Namun, Harchaoui kembali mengingatkan pemerintahan sementara seperti itu, jika mau diterima oleh semua pihak, harus jelas dan adil pembagiannya. "Setiap pos-pos penting harus adil membaginya. Kalau tidak, akan susah dicapai kesepakatan," ujarnya. (REUTERS/AFP)