Kemenangan Biden dan Prospek Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik
Masyarakat global menantikan kebijakan-kebijakan AS di bawah pemerintahan presiden terpilih AS, Joe Biden. Akankah Biden mengubah semua kebijakan Donald Trump? Bagaimana masa depan kerja sama ekonomi Asia Pasifik?
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·5 menit baca
Graham Allison, profesor pemerintahan dari Universitas Harvard, memproyeksikan Biden ingin Amerika Serikat bergabung kembali dengan kesepakatan perdagangan besar-besaran yang dikenal sebagai Kemitraan Trans-Pasifik (TPP). Namun, sebagaimana dikutip CNBC, hal itu tidak mudah bagi Biden dan timnya. Dinamika politik dalam negeri AS ikut menentukan. Tantangan langsung hadir dari Partai Demokrat sendiri. Demokrat dinilai sejatinya lebih proteksionis daripada Republik.
Kemitraan melalui forum TPP telah dinegosiasikan oleh pemerintahan Barack Obama. Namun, hal itu tidak pernah disetujui oleh Kongres. Pakta tersebut ditandatangani pada Februari 2016 oleh 12 negara, termasuk AS, Jepang, Kanada, Australia, dan Vietnam. Dalam bentuk aslinya, TPP akan menempatkan sekitar 40 persen ekonomi dunia berada di pihak AS. Menurut Allison, nilai itu akan lebih besar dibandingkan dengan pangsa pasar China yang mencapai 18-20 persen dari produk domestik bruto (PDB) global.
Namun, Presiden Trump menarik AS keluar dari TPP pada 2017. Langkah itu meninggalkan 11 negara yang tersisa untuk menegosiasikan ulang serta menandatangani Perjanjian Komprehensif dan Progresif untuk Kemitraan Trans-Pasifik (CPTPP) pada Maret 2018. Inisiatif itu lalu lebih banyak bergantung pada Jepang.
Biden, yang mendukung TPP sebagai Wakil Presiden dari Obama, dilaporkan pernah mengatakan akan menegosiasikan kembali kesepakatan perdagangan jika dia terpilih. Dia juga berdiskusi soal kemitraan itu dengan dewan think tank Council on Foreign Relations. Disebutkan Biden, meski TPP bukanlah yang sempurna, kesepakatan itu merupakan cara yang baik bagi negara-negara untuk bersatu guna mengendalikan sepak terjang China.
Sejak AS menarik diri dari TPP, China telah menunjukkan ambisi besarnya menyelesaikan kesepakatan perdagangan saingan TPP/CPTPP, yakni Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP). Lima belas negara Asia Pasifik diperkirakan akan menandatangani kesepakatan itu pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN, pekan ini. Kemitraan melalui RCEP diklaim bakal menjadi perjanjian perdagangan terbesar di dunia, yang mencakup sekitar sepertiga dari populasi dan PDB dunia.
Negosiasi RCEP dimulai pada 2013 ketika negosiasi TPP sedang berlangsung. Mengingat ketidakhadiran China dalam TPP, yang saat itu dipimpin AS, banyak pengamat melihat RCEP sebagai cara Beijing untuk melawan pengaruh Amerika Serikat di Asia Pasifik. Permusuhan antara AS dan China, dua kekuatan ekonomi teratas dunia, pun mencuat sejak saat itu. Di bawah Trump, perang dagang kedua negara itu bergejolak.
Allison menilai, hubungan AS-China kemungkinan justru akan memburuk di bawah Biden. ”Ada perubahan struktural yang terjadi, terlepas dari pemilih dan terlepas siapa pun yang menjadi presiden,” katanya. Perubahan itu, jelas Allison, melibatkan kekuatan yang meningkat, yakni China. Kondisi itu bisa menggusur kekuatan yang berkuasa, yakni AS.
Kemungkinan sikap keras Washington terhadap Beijing itu pun diantisipasi Jepang. Biden, sebagaimana diuraikan Japan Times, dipandang menyukai pendekatan perdagangan yang lebih multilateral. Hal ini cukup melegakan Jepang sebagai penyelamat TPP/CPTPP. Jepang berharap Washington akan kembali pada kemitraan itu. Namun, Tokyo juga bakal tahu diri sekiranya Biden akan lebih fokus pada upaya penyelesaian aneka masalah domestik AS dan untuk sementara waktu tidak fokus pada TPP/CPTPP.
Peluang AS menambah tekanan kepada mitra dagang, seperti Jepang, untuk membuat kesepakatan bilateral—sebuah taktik yang dilakukan oleh Trump—dinilai dapat menurun. Namun, pemerintahan Biden diperkirakan masih dapat membuat tuntutan kuat kepada Jepang terkait kerja sama perdagangan dan lingkungan.
”Biden akan menekankan kemitraan untuk menahan pembuatan kebijakan sepihak China dan dia akan mencari kebijakan Asia yang lebih aktif daripada pengabaian yang lebih lunak di era Obama,” kata Martin Schulz, kepala ekonom kebijakan di Fujitsu Ltd.
”Jepang, sebagai ’kekuatan menengah’ akan mendapatkan peran yang lebih penting. Jepang perlu mempertahankan kemitraannya dengan AS dan China, tetapi menunjukkan kepada mitranya di Asia Tenggara cara yang efektif untuk menavigasi perdagangan, investasi, dan yang terpenting, kebijakan digital,” ujar Schulz.
Cenderung pragmatis
Beberapa pemimpin, ketika mereka mulai menjabat, memiliki visi ekonomi yang kuat untuk mengubah cara negara mereka menciptakan kekayaan dan mendistribusikannya. Yang lain mendekati kekuasaan secara pragmatis dengan tujuan, yakni untuk secara halus membentuk kekuatan politik dan ekonomi yang mereka warisi. The Economist melihat Biden cenderung memiliki sifat yang kedua.
Dia adalah seorang yang basis keyakinan ekonominya bertumpu pada kekaguman terhadap pekerja keras AS. Namun, kemampuan Biden untuk mengikuti arus juga menjadi sumber kekhawatiran bagi kelompok-kelompok di AS atas prospek kebijakan Bidenomics.
Pendirian Biden tentang proteksionisme dinilai lebih ambigu. Hal itu akan berpengaruh pada tingkat pengaruh dan kebijakannya. Ini dapat dibaca bahwa Biden bisa saja akan lebih lunak ke China daripada Trump. Biden akan mengumpulkan sekutu AS dan memberikan respons yang lebih terkoordinasi melawan model ekonomi China di bawah Xi Jinping. Perusahaan-perusahaan swasta China sering harus bertindak di bawah arahan strategis Partai Komunis China.
Namun, itu tidak berarti bahwa Biden akan cepat-cepat menarik kebijakan tarif AS terhadap China. Dia mungkin akan bergeming dengan kebijakan embargo terhadap Huawei sekaligus waspada terhadap perdagangan teknologi tinggi dengan China.
Senyampang dengan hal itu, kesepakatan perdagangan baru tidak akan menjadi prioritas meski Biden mendukung TPP/CPTPP. Dia juga bisa saja bergeming dengan kesepakatan AS-Meksiko-Kanada yang direvisi dan disahkan pada 2020. Biden diperkirakan akan menerapkan strategi perdagangan melalui proteksionisme secara lunak.
Hal itu merupakan bagian dari janjinya, yakni membawa rantai pasokan kembali ke AS sebagai tuan rumah utama, mengadopsi kebijakan ”Beli Amerika” serta memperketat aturan tentang pelabelan produk. Dia pun akan berupaya keras untuk memulihkan manufaktur AS sekaligus memperbaiki sistem antar dan angkut barang antarpelabuhan domestik.