Pemilih Generasi Z di AS Bukan Lagi ”Katak dalam Tempurung”
Anak muda AS zaman sekarang berpikiran internasional, berbeda dengan generasi muda sebelumnya yang cenderung seperti ”katak dalam tempurung”.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Pemilihan presiden Amerika Serikat tinggal satu hari lagi. Sampai Minggu (1/11/2020) petang WIB, tercatat 92 juta pemilih sudah memberikan suaranya. Ini rekor tertinggi partisipasi warga AS sejak tahun 1908. Dari 92 juta pemilih itu, lebih dari 7 juta suara berasal dari pemilih muda.
Selain menunjukkan kepedulian pada isu politik, stiker bertuliskan ”I Voted” yang ditempel di ponsel dan laptop mereka juga mengajak anak muda lain ikut membuat perubahan.
Pusat Informasi dan Penelitian tentang Pembelajaran dan Keterlibatan Warga Negara di Tufts University, AS, seperti dilansir situs National Geographic, 30 Oktober 2020, menyebutkan, suara pemilih berusia 18-29 tahun akan menentukan hasil Pemilu AS 2020.
Jajak pendapat oleh Institut Politik School of Harvard Kennedy, pekan lalu, menunjukkan, jumlah pemilih muda tahun ini lebih banyak ketimbang tahun 2008 yang juga mencapai rekor. Keterlibatan saat itu tinggi karena Barack Obama mencalonkan diri.
Hasil jajak pendapat menunjukkan, 63 persen responden anak muda bertekad menggunakan hak pilih. Pada pemilu 2016, hanya 47 persen anak muda yang memilih. Pemilih generasi milenial atau Y dan generasi Z mau memilih karena menilai kekerasan bersenjata, ketidakadilan rasial, perubahan iklim, dan pandemi menjadi isu genting yang harus ditangani pemerintah.
Situs Foreign Policy, 28 Oktober 2020, menyebutkan, berbeda dengan generasi sebelumnya, generasi baru pemilih muda kini sangat peduli pada isu global, seperti perubahan iklim. Ketidakadilan ras, jender, dan isu sosial lain dianggap sebagai isu global, bukan domestik.
Mereka berpandangan, persoalan krusial itu harus diselesaikan dengan kerja sama multilateral. Anak muda AS zaman sekarang berpikiran internasional, berbeda dengan generasi muda sebelumnya yang cenderung seperti ”katak dalam tempurung”.
Stasiun televisi CNN mewawancarai sejumlah mahasiswa University of Virginia dan menemukan mereka yang memilih Demokrat menempatkam krisis iklim dan kesetaraan rasial sebagai isu terpenting. Sementara mereka yang memilih Republik menilai isu ekonomi dan lapangan pekerjaan yang mendorong mereka memilih Presiden AS Donald Trump lagi.
”Mereka tumbuh di masa penuh ketakutan. Mulai dari penembakan sekolah sampai pandemi yang menjungkirbalikkan kehidupan mereka,” kata Direktur Institut Politik, The Harvard Kennedy School, Mark D Gearan.
Selain melihat, mendengar, dan mengalami sendiri, banyak informasi isu krusial di AS dan dunia yang mereka peroleh dari kampanye para aktivis mahasiswa yang gencar mengajak anak muda agar memilih.
Mahasiswa kesehatan masyarakat, Brianna Campbell (23), kepada The Washington Post, 29 Oktober 2020, mengatakan, isu-isu seperti perubahan iklim, keadilan rasial, dan akses pada layanan kesehatan yang terjangkau menjadi bahan obrolan sehari-hari dengan teman-temannya.
Gerakan sosial yang didorong aktivis muda, yang turun ke jalan memprotes berbagai persoalan, meningkatkan kesadaran sipil anak muda AS. Simon Rosenberg, Presiden Lembaga Kajian NDN yang meneliti pemilih muda, menilai tingginya tingkat partisipasi anak muda tahun ini karena banyaknya isu genting di dunia. Ditambah lagi dengan ketidakpercayaan mereka kepada Trump.
Generasi Y dan Z lahir sebagai generasi yang sudah matang kesadaran sipilnya karena selama bertahun-tahun mengalami trauma nasional. Generasi sekarang lahir beberapa tahun sebelum serangan ”Nine Eleven” dan tumbuh di masa resesi tahun 2008. Mereka mencapai usia pemilih saat hampir semua tokoh panutan terlibat dalam politik.
”Kami generasi Z yang lahir di dunia yang sudah penuh tragedi, pergerakan, dan protes,” kata Maxwell Frost (23), mantan koordinator ”March for Our Lives”, gerakan anti-kekerasan bersenjata bentukan para penyintas penembakan massal sebuah SMA di Florida, Februari 2018.
Pemilih di bawah usia 30 tahun melihat pemungutan suara pemilu sebagai waktu untuk terlibat. Begitu pula dengan aksi protes dan unggahan mereka soal isu politik di medsos.
Kei Kawashima-Ginsberg, Direktur CIRCLE, organisasi nonpartisan yang menelaah keterlibatan anak muda di Tufts University, mengatakan, anak muda yang memilih pertama kali tahun ini sudah aktif secara politik sejak SMP atau SMA. Baik melalui unggahan media sosial maupun turun ke jalan untuk ikut aksi protes.
Tujuan akhir gerakan anak muda ini bukan memenangkan salah satu kandidat di pemilu ini saja tetapi agar di masa depan generasi muda bisa ikut menentukan arah AS di Gedung Putih dan Capitol atau Gedung Kongres AS. (LUKI AULIA)