Pertarungan Pemilu Presiden di AS, Pertarungan Kepentingan di Timur Tengah
Pertarungan meraih kekuasaan di Gedung Putih, AS, menggambarkan pertarungan kepentingan negara-negara di Timur Tengah. Arah politik negara-negara itu mengindikasikan preferensi mereka meski tidak dikemukakan eksplisit.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·5 menit baca
Para pemimpin dan publik Timur Tengah, seperti juga halnya komunitas internasional di belahan bumi lainnya, kini menunggu dengan perasaan cukup tegang hasil pemilu Amerika Serikat, Selasa (3/11/2020). Pertarungan pemilu AS saat ini adalah juga pertarungan geopolitik di Timur Tengah. Itulah paradigma baru terkait dengan kepentingan AS di kawasan tersebut.
Paradigma baru itu sekaligus mengubur atau mereduksi paradigma lama tentang kepentingan AS di kawasan Timur Tengah. Paradigma lama kepentingan AS di kawasan tersebut berpijak pada dua isu klasik, yaitu jaminan keamanan bagi Israel dan pasokan minyak dari kawasan Arab Teluk ke Eropa dan Amerika Utara.
Israel, dengan keunggulan militer hampir mutlak atas semua negara Arab, kini dari segi keamanan semakin kurang bergantung kepada AS. AS pun kian kurang bergantung pada minyak Timur Tengah setelah negara adikuasa itu memiliki cadangan minyak yang semakin melimpah dan ditemukannya minyak serpih (shale oil) di negara tersebut. Dengan kemajuan teknologi yang dimilikinya, AS mampu menghasilkan bahan minyak dan gas yang terperangkap dalam batu, beberapa tahun terakhir ini.
Namun, meski peran paradigma lama itu semakin berkurang, AS tampak tetap masih sangat butuh Timur Tengah dan menolak meninggalkan kawasan itu. Ada paradigma baru yang berpijak pada tiga isu besar terkait dengan kepentingan AS di Timur Tengah yang membuat AS masih harus bertengger di kawasan tersebut.
Pertama, membendung pengaruh Rusia yang mulai dibangun lagi di Timur Tengah melalui pintu Suriah dan Libya. Rusia turun tangan secara militer dalam konflik Suriah sejak tahun 2015. Mereka membangun pangkalan laut permanen di Tartus dan pangkalan udara permanen di Khmeimim.
Rusia juga menempatkan sejumlah pesawat tempur di Pangkalan Udara Al-Jufra, Libya, dan menyebarkan milisi bayaran Wagner di negara itu.
Kedua, membendung pengaruh China yang semakin kuat di Timur Tengah. AS sangat cemas atas fenomena China yang menjalin kerja sama ekonomi dengan banyak negara di Timur Tengah, seperti Israel, Iran, Arab Saudi, Mesir, dan Uni Emirat Arab (UEA). AS kian khawatir, banyak negara Timur Tengah—Mesir, UEA, Iran, Arab Saudi, dan Jordania—bekerja sama dengan China untuk pengadaan vaksin Covid-19.
Ketiga, membendung gerakan radikal di Timur Tengah, khususnya kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS). Pada September 2014, AS telah membentuk koalisi internasional melawan NIIS dan membunuh pemimpin NIIS, Abu Bakar al-Baghdadi, di Suriah pada Oktober 2019.
Itu sebabnya, siapa pun presidennya mendatang, apakah calon petahana Presiden Donald Trump dari Republik ataupun Joe Biden dari Demokrat, AS tetap bercokol di Timur Tengah karena tiga isu besar dalam paradigma baru tersebut.
Perbedaan kepentingan
Adapun sikap para pemimpin dan publik Timur Tengah terhadap figur presiden AS mendatang bisa berbeda akibat perbedaan kepentingan terkait dengan pertarungan geopolitik di kawasan saat ini. Kubu Arab Saudi, Mesir, UEA, dan Bahrain tentu sangat berharap Presiden Donald Trump memenangi pemilu AS dan kembali menjabat presiden untuk periode kedua.
Kesediaan UEA dan Bahrain membuka hubungan resmi dengan Israel dengan mediasi Trump melalui Abraham Accord dipandang oleh banyak pengamat sebagai bentuk dukungan UEA-Bahrain terhadap Trump dan mendongkrak popularitasnya dalam pemilu AS. Arab Saudi pun yang masih menolak membuka hubungan resmi dengan Israel saat ini pun mendukung hubungan resmi UEA-Bahrain dan Israel dengan memberi fasilitas pembukaan teritorial udara Arab Saudi untuk penerbangan Israel-UEA dan Bahrain serta sebaliknya.
Mesir tentu sangat berharap pula Trump terpilih lagi. Trump secara terang-terangan mendukung aksi Abdel Fatah el-Sisi menggulingkan pemerintahan Presiden Muhammad Mursi dan mengundang Sisi ke Gedung Putih. Sisi pada era Trump kembali mendapat tempat di kancah regional dan internasional.
Adapun sikap kubu Turki-Qatar bisa disebut lebih netral. Kubu ini tidak mempermasalahkan siapa presiden AS mendatang. Hubungan pemerintahan Trump dengan Turki dan Qatar secara umum baik-baik saja. Trump dan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan memiliki persamaan sikap di Libya dan Suriah. Trump dan Erdogan sama-sama pendukung Pemerintah Kesepakatan Nasional (GNA) Libya pimpinan PM Fayez al-Sarraj di Tripoli.
Trump dan Erdogan juga mempunyai banyak persamaan kepentingan di Suriah. Trump mendukung Turki bertahan di Provinsi Idlib agar wilayah itu tidak jatuh ke tangan Rusia dan rezim Presiden Bashar al-Assad. Trump dan Erdogan juga berhasil mencapai kesepahaman soal isu Kurdi di Suriah. Di Laut Tengah bagian Timur, AS lebih berperan sebagai mediator antara Turki dan Yunani yang bersitegang soal perebutan sumber-sumber gas di area itu.
Qatar pun berhasil menjaga hubungan baik dengan Trump. Pemerintahan Trump beberapa kali mengimbau agar ada rekonsiliasi antara Qatar dengan Arab Saudi, UEA, Bahrain, dan Mesir untuk menyatukan sikap negara-negara Arab Teluk dalam menghadapi Iran.
Harapan Iran-Palestina
Adapun kubu Iran tentu sangat berharap Trump kalah dalam pemilu AS. Hubungan AS-Iran pada era Trump merupakan hubungan terburuk dalam sejarah hubungan kedua negara itu. Pemerintahan Trump membatalkan secara sepihak kesepakatan nuklir Iran tahun 2015 yang dicapai pada era Presiden AS Barack Obama dan kemudian kembali menjatuhkan sanksi AS terhadap Iran.
AS membunuh pula jenderal legendaris Iran, Mayor Jenderal Qassem Soleimani, Januari 2020. Soleimani menjabat komandan Brigade al Quds, satuan elite Garda Revolusi Iran.
Sebaliknya, Iran sangat berharap Joe Biden, rival Trump dari Demokrat, yang memenangi pemilu AS dan bisa mengembalikan lagi kesepakatan nuklir Iran tahun 2015. Seperti diketahui, Biden menjabat wakil presiden saat pemerintahan Obama mencapai kesepakatan nuklir dengan Iran tahun 2015. Karena itu, Biden dianggap ikut berandil dalam kesepakatan nuklir Iran itu. Tidak tertutup kemungkinan Biden menghidupkan kembali kesepakatan nuklir Iran tahun 2015 tersebut jika ia terpilih sebagai presiden AS.
Selain Iran, Palestina juga berharap Trump kalah dalam pemilu AS. Hubungan Palestina-AS sangat buruk pada era Trump. Trump mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel pada Desember 2017 dan memindahkan kantor Kedubes AS dari Tel Aviv ke Jerusalem pada Mei 2018.
Trump lalu menutup kantor Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di Washington DC, September 2018. Langkah Trump yang merugikan Palestina berpuncak pada peluncuran proposal damai AS yang kerap disebut-sebut ”Transaksi Abad Ini”, Januari 2020.
Dengan berbagai kepentingan yang terpolarisasi, wajar jika negara-negara kawasan Timur Tengah menanti siapa presiden AS pascapemilu 3 November dengan harap-harap cemas.