Pascapandemi, Perempuan Akan Tersisih dari Perkantoran
Akibat pandemi Covid-19 pula, kehidupan perkantoran pun akan berubah. Posisi meja kursi pasti akan dibuat berjarak dan akan dipasang pembatas transparan.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
Pandemi Covid-19 membuat kehidupan kita jungkir balik sejak awal tahun 2020. Untuk mencegah penularan Covid-19, hampir semua negara memberlakukan kebijakan karantina dan pembatasan sosial.
Banyak perkantoran, pabrik, atau tempat kerja di mana pun yang meminta karyawannya bekerja saja dari rumah sampai sekarang.
Akibat pandemi Covid-19 ini pula, kehidupan perkantoran pun akan berubah. Posisi meja kursi pasti akan dibuat berjarak dan akan ada pembatas transparan yang dipasang.
Selain itu, akan ada juga larangan berjabat tangan dan peringatan protokol kesehatan di mana-mana. Namun, perubahan yang paling akan terasa nanti kemungkinan berkurangnya atau ketiadaan perempuan yang bekerja di kantor atau pabrik.
Ada kekhawatiran jika pandemi Covid-19 berakhir dan kehidupan perkantoran kembali normal, perempuan akan tetap bekerja dari rumah karena mengemban tanggung jawab rumah tangga yang lebih berat.
”Ada kekhawatiran perempuanlah yang harus tetap bekerja dari rumah. Kalau begitu, nanti bisa jadi perkantoran isinya hanya laki-laki,” kata Direktur Eksekutif Perempuan Perserikatan Bangsa-Bangsa Phumzile Mlambo-Ngcuka.
Survei terbaru oleh leanin.org, kelompok hak-hak perempuan, dan konsultan global McKinsey & Company, menunjukkan perempuan atau ibu tiga kali lebih mungkin dibandingkan dengan laki-laki atau ayah untuk mengemban tanggung jawab sebagian besar pekerjaan rumah tangga dan perawatan anak selama Covid-19.
Banyak perkantoran atau tempat kerja di seluruh dunia yang ditutup ketika karantina atau pembatasan sosial gara-gara Covid-19, Maret lalu. Akibatnya, jutaan karyawan bekerja dari jarak jauh atau dari rumah.
Bagi banyak orang, masih belum jelas kapan mereka bisa kembali bekerja di kantor dan banyak yang mungkin akan memilih untuk tetap bekerja dari rumah terus.
Hak setara
Jika orangtua diberi pilihan untuk kembali ke tempat kerja atau tetap bekerja dari rumah, kata Wakil Sekretaris Jenderal PBB Mlambo-Ngcuka, banyak perempuan kemungkinan akan memilih bekerja dari rumah.
”Sebenarnya tempat perempuan bukan di dapur. Covid-19 ini juga tidak bisa menjadi alasan perempuan harus ada di rumah atau duduk di dapur dengan laptop, sementara tempat laki-laki di kantor,” kata Mlambo-Ngcuka.
Menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO), di seluruh dunia, rata-rata perempuan melakukan lebih banyak, 75 persen, pekerjaan rumah tangga yang tidak berbayar. Dalam laporan tahun 2018, pekerjaan semacam itu menghambat partisipasi dan kemajuan perempuan dalam angkatan kerja.
ILO menemukan sekitar 606 juta perempuan usia kerja mengaku mereka tidak bekerja lagi di kantor karena harus mengurus rumah tangga. Jumlah ini jauh lebih banyak ketimbang laki-laki yang mengurus rumah tangga, yakni 41 juta orang.
Berkurangnya jumlah perempuan yang bekerja di kantor gara-gara Covid-19 ini akan membuat kemajuan gerakan pemberdayaan perempuan mundur berpuluh-puluh tahun.
”Kalau mundur begitu, sia-sia kemajuan yang sudah kita peroleh selama ini. Banyak perempuan yang mau kembali ke kantor,” kata Presiden Kelompok HAM Organisasi Nasional untuk Perempuan Christian Nunes.
Nunes menambahkan, sampai saat ini saja mereka masih harus berjuang keras untuk membuat perempuan berdaya dan bekerja di kantor serta mendudukkan perempuan di posisi tertinggi di tempat kerja.
”Kita sudah terbiasa bekerja dan mengurus anak dan sanggup melakukan beragam peran dalam waktu bersamaan,” ujarnya.
Namun, Mlambo-Ngcuka mengatakan, perusahaan atau industri menyadari perlunya menjaga keseimbangan antara karyawan perempuan dan laki-laki karena keharusan untuk inklusif.
”Pengusaha perlu menyadari ini dan bertindak untuk memastikan mereka tidak mengambil konsekuensi yang tidak diinginkan karena membuat tempat kerja menjadi tempat berkumpulnya laki-laki,” ujarnya.
Namun, Kepala Eksekutif Catalyst, kelompok yang mengadvokasi perempuan dalam bisnis, Lorraine Hariton, mengatakan, banyak faktor—tidak hanya tugas rumah tangga—yang akan memengaruhi keputusan keluarga tentang siapa yang akan kembali ke tempat kerja.
”Sampai saat ini, kita tidak tahu kita nanti akan seperti apa dan dunia baru akan seperti apa. Ada banyak variabel yang akan menentukan keputusan laki-laki atau perempuan yang harus kembali ke tempat kerja,” ujarnya. (REUTERS)