Karena sekolah ditutup, banyak anak terpaksa bekerja di industri ilegal makanan laut dengan upah harian yang rendah.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Chit Su (15) terpaksa tinggal di rumah menguliti kepiting saja dengan neneknya sejak sekolahnya ditutup Pemerintah Thailand, Agustus 2019. Sekitar sepuluh sekolah bagi anak-anak migran Myanmar di Provinsi Ranong, Thailand selatan, ditutup dengan alasan guru-guru asal Myanmar yang mengajar di sekolah itu tidak mengantongi surat izin bekerja.
Karena sekolah ditutup, banyak anak terpaksa bekerja di industri ilegal makanan laut dengan upah harian yang rendah. ”Kerjanya berat. Kalau saya bisa belajar, saya bisa dapat pekerjaan yang tidak seberat ini. Namun, kalau saya tidak bantu nenek saya, kami tidak akan punya uang,” kata Chit Su, nama samaran anak itu untuk melindungi identitas aslinya.
Setiap harinya, Chit dan neneknya mendapat upah 7,60 dollar AS atau setara Rp 112.000. Mereka harus bekerja ekstra keras karena keluarga Chit terbelit banyak utang. Chit adalah salah satu dari 2.800 anak Myanmar yang terdampak operasi penggerebekan aparat Thailand di pusat pembelajaran migran, Ranonghtarni. Sekitar 30 guru Myanmar ditangkap dan sekolah ditutup.
Setelah sekolah Chit, ada sembilan pusat pembelajaran yang dibiayai badan amal dan donatur yang ditutup. Kementerian Pendidikan Thailand mengaku kini melacak bekas siswa sekolah-sekolah itu untuk dimasukkan ke sekolah umum, program pendidikan nonformal, dan pusat pembelajaran masyarakat.
Seperti halnya Chit, banyak mantan siswa yang bekerja di pasar ikan atau di rumah mengupas kulit kepiting untuk industri yang dikecam dunia selama beberapa tahun terakhir karena mempekerjakan warga Thailand dan migran, termasuk anak-anak, dengan upah rendah.
Berbagai organisasi nonpemerintah yang memperjuangkan hak anak mengatakan, penutupan sekolah bagi migran anak itu memaksa anak masuk ke industri ilegal dan berupah rendah.
”Konsekuensi penutupan sekolah ini menyebabkan ada buruh anak di industri perikanan. Ini bisa lebih parah karena ada pandemi Covid-19,” kata koordinator di Kelompok Migran Pekerja, Adisorn Kerdmongkol.
Buruh anak
Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengingatkan jutaan anak di seluruh dunia terancam harus bekerja apabila sekolah ditutup gara-gara pandemi. Apalagi dengan banyaknya keluarga yang kesulitan ekonomi.
Sejak pandemi melanda Thailand, proses pengerjaan makanan laut berpisah dari yang semula dilakukan di pabrik kini di rumah-rumah warga migran. Seperti di Distrik Muang, Ranong, yang mayoritas dihuni migran Myanmar, banyak anak usia 10 tahun yang menggunakan pisau untuk menguliti kepiting. Padahal, sudah ada aturan anak di bawah 15 tahun yang dilarang bekerja.
Meski ada aturan itu, survei pemerintah dan PBB tahun 2018 menunjukkan terdapat 177.000 anak usia 5-17 tahun yang menjadi buruh di Thailand dan sekitar tiga perempatnya bekerja di tempat-tempat yang berbahaya.
”Banyak anak Myanmar yang tidak sekolah dan mau bekerja karena hanya itu cara mereka bisa bertahan hidup,” kata Presiden Asosiasi Makanan Beku Thailand Panisuan Jamnarnwej.
Departemen Perlindungan dan Kesejahteraan Buruh Thailand tidak mau berkomentar tentang hal ini.
Kementerian Pendidikan Thailand mengaku tidak mengetahui jumlah pusat pembelajaran migran yang beroperasi karena banyak yang tidak mendaftarkan diri secara resmi ke pemerintah.
Lembaga-lembaga pendidikan ini tidak dibiayai oleh pemerintah dan dalam proses pembelajarannya anak-anak diajari dengan bahasa ibu mereka yang dilarang oleh Thailand.
Sekolah umum
Lembaga Save the Children menyebutkan, sejak lembaga-lembaga pendidikan di Ranong itu ditutup, ada anak-anak yang sudah didaftarkan di sekolah-sekolah umum Thailand. Ada juga yang belajar di sistem pendidikan nonformal, seperti belajar di kamp-kamp migran. Namun, ada sekitar 500 anak yang sama sekali tidak belajar sama sekali di mana pun.
Di seluruh wilayah Thailand, menurut Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), anak migran sering putus sekolah di usia 10 tahun dan 12 tahun. Mayoritas karena alasan tidak memiliki uang. ”Anak migran termasuk kelompok anak terbanyak yang putus sekolah di Thailand. Jumlahnya sekitar 200.000 anak,” kata Pejabat Ketua Misi IOM di Thailand Maria Moita,
Dari sepuluh pusat pembelajaran migran yang ditutup, hanya satu yang boleh kembali dibuka dan dikelola oleh Yayasan Asia Marist. Sekolah itu boleh dibuka setelah guru-guru Myanmar-nya mengantongi surat izin bekerja dan menambahkan kurikulum Thailand.
”Pemerintah tidak membantu apa-apa. Mereka sepertinya tidak peduli pada anak-anak itu,” kata Sekretaris Yayasan Asia Marist Prasit Rugklin.
Wakil Sekretaris Permanen Kementerian Pendidikan Thailand Wira Khaengkasikarn mengatakan, pemerintah peduli pada anak-anak migran.
Var Say Hta, biksu Myanmar yang mengelola Ranonghtarni, mengatakan, di sekolahnya ada lebih dari 1.100 anak sebelum digerebek dan ada paling tidak 150 siswa berusia 15 tahun yang kini terpaksa bekerja.
Soe Win (17), salah satu bekas siswa, kini bekerja selama 12 jam setiap harinya di pasar ikan. Ia mendapat upah 300 baht per hari dan dua hari libur per bulan untuk tugas memasukkan es batu ke dalam kotak-kotak ikan selama berjam-jam dan mengangkutnya ke dalam truk-truk.
”Lebih enak sekolah karena lebih menyenangkan. Masalahnya, ibu saya harus kerja karena ayah saya sakit. Jadi, saya harus bantu,” ujarnya. (REUTERS)