Pandemi Covid-19 memaksa banyak warga dunia bekerja dari rumah. Seperti pekerja medis yang seolah tak berhenti menangani pasien Covid-19, mereka mengalami keletihan luar biasa atau "burnout" bekerja di rumah.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·5 menit baca
Tingginya kasus Covid-19 di banyak negara membuat fasilitas kesehatan kewalahan. Lama-lama kondisi ini membuat tenaga medis yang merawat pasien positif Covid-19 pun kelelahan. Situasi serupa juga bisa dialami oleh banyak orang di tempat kerjanya masing-masing. Pandemi yang berlangsung kian memperburuk kondisi ini.
Guna menekan penyebaran Covid-19, warga diimbau untuk tetap berada di rumah. Bagi sebagian orang, pekerjaan yang biasa dikerjakan di kantor mau tidak mau dikerjakan di rumah. Tugas kantor, aktivitas sehari-hari mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi, waktu bersantai dengan keluarga, dan istirahat bercampur aduk di bawah satu atap bernama rumah. Garis batas antara waktu bekerja dan waktu pribadi dengan keluarga pada akhirnya memudar.
Bekerja dari rumah ditunjang oleh teknologi informasi yang memungkinkan pertemuan virtual mungkin lebih fleksibel dan produktif. Setiap ruangan di rumah kita bisa menjadi kantor. Tetapi, lama-lama ada harga yang harus dibayar.
Mengutip laporan NordVPN Teams, Bloomberg melaporkan, orang yang bekerja dari rumah pada akhirnya memiliki jam kerja lebih panjang dari biasanya. Warga Amerika Serikat, misalnya, bekerja tiga jam lebih lama dari rumah dalam sehari. Di Inggris, Perancis, Spanyol, dan Kanada jam kerja dari rumah rata-rata bertambah dua jam dengan mayoritas orang mulai mengerjakan tugas kantornya lebih awal.
Tarik garis batas
Harvard Business Review menulis bahwa penting artinya menarik garis batas yang jelas antara jam kerja dan jam istirahat atau waktu keluarga. Dalam kondisi normal saja hal ini bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan. Situasi pandemi yang mengharuskan kita bekerja dari rumah dan proses belajar mengajar anak sekolah yang juga digelar daring semakin memperburuk kondisi.
Batas-batas waktu yang memudar, beban pekerjaan kantor dan rumah, serta terbatasnya aktivitas untuk mencari hiburan berpotensi membuat mereka yang bekerja dari rumah mengalami burnout atau kelelahan, bak tenaga medis yang berjam-jam memakai alat pelindung diri melayani gelombang pasien Covid-19 yang seperti tak ada akhirnya.
Pada bulan Mei 2019, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengklasifikasi ulang burnout dalam International Classification of Disease (ICD) versi 11. Ini sebuah klasifikasi diagnosis penyakit, gangguan, dan luka standar yang digunakan secara global, baik untuk keperluan klinis, riset, maupun klaim biaya kesehatan.
Dalam ICD-11, burnout merupakan fenomena terkait pekerjaan, bukan kondisi medis yang selama ini menjadi alasan orang berobat. WHO menjelaskan, jika seseorang mengalami perasaan kehabisan energi atau letih, meningkatnya jarak mental dari pekerjaan, perasaan negativisme atau sinisme terkait pekerjaan, serta menurunnya efektivitas kerja profesional, orang itu mengalami burnout atau kelelahan.
Ketepatan diagnosis
Meski begitu, ketika mendiagnosis kelelahan, faktor gangguan stres lain harus dikesampingkan terlebih dulu, seperti reaksi stres akut, gangguan stres pascatrauma (PTSD), atau reaksi stres lain sesuai ICD-11. Dengan demikian, diagnosis kelelahan akan terbatas hanya pada situasi kerja, bukan terkait hal lain di luar pekerjaan.
Kita cenderung berpikir, kelelahan adalah masalah individual yang berujung pada anjuran mengikuti kelas yoga atau meditasi. Tetapi, itu tidak menyelesaikan akar persoalan.
Mengembangkan kecerdasan emosional seperti optimisme, rasa syukur, dan harapan bisa menjadi bahan bakar orang untuk sukses. Namun, ketika seseorang kelelahan, kita harus bertanya mengapa hal itu terjadi. Dalam hal ini, ikut lebih banyak kelas yoga atau mediasi bukanlah jawaban.
Berdasarkan kategori kelelahan yang baru di ICD-11, tanggung jawab untuk mencegah atau mengatasi kelelahan bukan lagi ada pada individu pekerja, melainkan pihak pemberi kerja.
Christina Maslach, pakar burnout terkemuka sekaligus salah seorang yang mengembangkan standar emas mengukur kelelahan dengan Maslach Burnout Inventory (MBI), khawatir definisi kelelahan dalam ICD-11 itu membuat kita menyelesaikan masalah kelelahan dari arah yang berbeda, yaitu dari individu. Artinya, ketika kelelahan menimpa seorang pekerja, orang itulah yang harus diintervensi.
Survei Gallup terhadap 7.500 karyawan menemukan ada lima alasan tertinggi terjadinya kelelahan, yaitu perlakuan tak adil di tempat kerja, beban kerja menumpuk, peran kerja yang tidak jelas, kurangnya komunikasi dan dukungan dari pimpinan, dan tekanan waktu yang tak masuk akal.
Daftar di atas jelas memperlihatkan bahwa akar masalah kelelahan tidak melulu bergantung pada individu, yang sebenarnya bisa dihindari jika para pimpinan di tempat kerja bisa mencegahnya dari awal.
Buat waktu transisi
Lalu, apa yang bisa kita lakukan untuk memisahkan pekerjaan dan kehidupan personal kita atau setidaknya menyeimbangkan keduanya saat bekerja dari rumah? Salah satunya, menetapkan waktu transisi antara sebelum dan saat kerja. Ini bisa dilakukan dengan, misalnya, lari pagi sebelum mulai bekerja. Waktu lari diibaratkan sebagai waktu tempuh kita menuju kantor di saat normal. Memakai pakaian rapi saat bekerja dan menggantinya dengan pakaian lebih santai saat sore hari juga bisa jadi alternatif.
Sebelum pandemi, sejumlah perusahaan, misalnya, sudah mulai menetapkan jam kerja empat hari dalam seminggu atau mengurangi total jam kerja dalam seminggu. Jam kerja yang lebih pendek ternyata menghasilkan produktivitas yang lebih tinggi.
“Lebih sehat dan kami bekerja dengan lebih baik,” kata Jan Schulz-Hofen, pendiri perusahaan manajemen peranti lunak Planio di Berlin beberapa waktu lalu. Ia menerapkan hari kerja empat hari dalam seminggu.
Di Inggris, Kongres Serikat Pekerja (TUC) mendorong empat hari kerja seminggu pada akhir abad ini dan mendapat dukungan Partai Buruh. “Itu akan mengurangi stres akibat kerja dan meningkatkan kesetaraan gender,” kata Kepala Ekonomi TUC Kate Bell.
Kelelahan bisa dicegah. Setiap pimpinan atau pemberi kerja memiliki kesempatan untuk mencegahnya jika bisa menciptakan suasana kerja yang sehat dan memerhatikan setiap detail kebutuhan para pekerjanya. (REUTERS)