Indonesia Ingatkan Dampak Pengabaian Multilateralisme
Tanpa multilateralisme, yang kuat akan mengambil semuanya. PBB kini menghadapi tantangan yang sama dengan pendahulunya, LBB, yang lumpuh dan gagal mencegah perang.
Oleh
Kris Mada
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia kembali mengingatkan bahaya yang ditimbulkan bila multilateralisme semakin melemah dan diabaikan. Karena itu, lembaga-lembaga multilateral harus dijaga dan kerjanya harus berdampak pada warga.
”Tanpa multilateralisme, yang kuat akan mengambil semuanya,” kata Menteri Luar Negeri Retno Marsudi pada Pertemuan Tingkat Tinggi untuk memperingati 75 tahun Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Selasa (22/9/2020) dini hari.
Seperti seluruh negara lain yang menjadi anggota PBB, Indonesia mengikuti pertemuan itu secara virtual. Indonesia mengirimkan rekaman video pidato Retno. Di ruang sidang Majelis Umum PBB, hanya boleh ada satu diplomat dari setiap negara selama pertemuan itu.
Tantangan multilateralisme terutama perilaku negara-negara yang membuat keputusan sepihak dan tidak mengindahkan negara lain maupun pelantar kerja sama bersama. Hal itu, antara lain, dilakukan Amerika Serikat. Tepat pada peringatan 75 tahun PBB, AS secara sepihak mengumumkan sanksi atas nama PBB terhadap Iran.
Washington memaksa negara lain ikut menjalankan sanksi sepihak itu. Padahal, 14 dari 15 anggota Dewan Keamanan PBB berkali-kali menolak permintaan AS untuk menyanksi Iran atas nama PBB. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pun menyatakan tidak akan menindaklanjuti sanksi AS tanpa persetujuan DK PBB.
Retno mengatakan, tantangan global terus meningkat. Negara-negara berharap amat tinggi agar PBB bisa memperkuat kepemimpinan dunia dan membawa hasil nyata. Walakin, seperti banyak lembaga dan pelantar multilateralisme lainnya, PBB semakin kesulitan menghadapi tantangan-tantangan mutakhir.
”Hal ini telah melunturkan rasa percaya atas multilateralisme. Kita tidak boleh membiarkan hal ini terus terjadi,” ujarnya.
Karena itu, Indonesia kembali mengingatkan pentingnya bagi seluruh badan dalam sistem PBB untuk memberikan hasil kerja nyata. Program PBB harus manfaat dan dampaknya pada warga dunia. ”Terkait pandemi Covid-19, sangat penting bagi PBB memfasilitasi akses seluruh negara pada obat-obatan dan vaksin yang terjangkau,” ujarnya.
PBB juga harus tetap dibuat mampu mewujudkan mandat dan menghadapi tantangan di masa mendatang. Karena itu, penting bagi PBB untuk lebih sangkil, punya kemampuan peringatan dini yang kuat, dan ligat serta lincah beradaptasi.
Retno menyebut, krisis yang dipicu Covid-19 tidak boleh memundurkan kerja sama global. Solidaritas dan kerja sama justru harus semakin diperkuat.
”Dengan semangat ini, Indonesia bersama sejumlah negara lain telah mengajukan Resolusi Majelis Umum PBB mengenai Solidaritas Global dalam Melawan COVID-19, yang menekankan peranan sentral PBB dalam penanganan pandemi,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres setuju dengan pentingnya multilateralisme. ”Dalam dunia yang saling terhubung, kita membutuhkan jaringan multilateralisme, dalam keluarga PBB, lembaga keuangan internasional, organisasi kawasan, blok perdagangan untuk bekerja sama lebih erat dan mangkus. Kita juga membutuhkan multilateralisme yang inklusif, melibatkan masyarakat mandani, dunia usaha, orang muda, pemerintah daerah,” tuturnya.
Deklarasi
Dalam deklarasi untuk memperingati 75 tahun PBB, perwakilan negara-negara anggota PBB sepakat bahwa multilateralisme adalah kebutuhan dan bukan pilihan. ”Tidak ada organisasi global lain yang memberikan harapan bagi begitu banyak orang atas dunia yang lebih baik dan menghasilkan masa depan yang kita inginkan,” demikian tertulis di pernyataan itu.
Tantangan yang saling terkait hanya bisa ditangani dengan multilateralisme yang digairahkan ulang. ”Hanya dengan bekerja sama, kita bisa membangun kelentingan melawan pandemi dan tantangan global lain di masa mendatang,” demikian tertulis di deklarasi itu.
Sayangnya, peluang dunia untuk memperkuat kerja sama dalam menghadapi pandemi bisa disebut telah lewat. Hal itu, antara lain, karena tudingan terhadap Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang dinilai terlalu lambat bertindak di tahap awal pademi. Situasi diperparah dengan keputusan AS keluar dari WHO dan berjalan sendiri.
”Perilaku negara besar menyebabkan kegagalan DK PBB,” kata pengajar di Paris Institute of Political Studies, Bertrand Badie.
Negara besar terjebak pada pandangan lama soal keamanan. Dalam pandangan itu, kemanusiaan dan masyarakat hanya terancam oleh persaingan antarnegara. ”Tanda yang buruk untuk masa depan,” ujarnya.
Kini, PBB menghadapi yang sama dengan masalah Liga Bangsa-Bangsa (LBB) yang dibentuk selepas Perang Dunia I dan lumpuh menjelang Perang Dunia II. Kelumpuhan LBB berujung pada PD II. Penyebab kelumpuhan LBB, dan kini dihadapi PBB, adalah pertarungan kekuatan di antara negara-negara besar.
Karena itu, menurut Badie, penting bagi anggota tetap DK PBB, yakni AS, China, Inggris, Perancis, dan Rusia, untuk menghapus mental perang dingin. Mereka selalu menolak ide reformasi PBB karena akan kehilangan hak istimewa atas nuklir. Reformasi juga akan merombak total tatanan global. (AFP/AP)