Arab Saudi Dukung Solusi Komprehensif Konflik Palestina-Israel
Pemerintah Arab Saudi mendukung solusi komprehensif konflik Palestina dengan menekankan pembentukan negara Palestina dengan batasan wilayah sebelum Perang Timur Tengah tahun 1967.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
KAIRO, RABU — Arab Saudi menyatakan dalam pertemuan Liga Arab, Rabu (9/9/2020), bahwa pemerintahannya mendukung semua upaya untuk mencapai solusi komprehensif dalam penyelesaian konflik Palestina-Israel. Tanpa menyebut secara langsung tentang kesepakatan normalisasi antara Uni Emirat Arab dan Israel, keterangan tertulis yang dirilis Kementerian Luar Negeri Arab Saudi mengacu pernyataan Menteri Luar Negeri Pangeran Faisal bin Farhan menyebutkan bahwa Riyadh menekankan kembali pembentukan negara Palestina dengan batasan wilayah sebelum Perang Arab-Israel 1967.
Penegasan Pangeran Faisal dalam pertemuan para menlu Liga Arab yang digelar secara virtual karena pandemi Covid-19 itu juga menekankan soal kedudukan ibu kota negara Palestina, yang kini tengah diperjuangkan, di Jerussalem Timur. Hal lain yang juga ditekankan Riyadh adalah wilayah-wilayah yang direbut Israel dalam perang tahun 1967, termasuk Tepi Barat dan Jerusalem Timur, harus dikembalikan kepada rakyat Palestina.
Posisi Arab Saudi, seperti ditegaskan Pangeran Faisal tersebut, mengulang pernyataan yang disampaikan Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz al-Saud dalam pembicaraan via telepon dengan Presiden AS Donald Trump, Minggu (6/9/2020). Saat itu Raja Salman menyampaikan keinginan Raja Salman juga menegaskan kembali keinginan kuat Arab Saudi mencapai solusi yang adil dan permanen terkait Palestina sebagai titik awal perwujudan Inisiatif Damai Arab.
Inisiatif Damai Arab diajukan oleh mendiang Raja Abdullah bersama para pemimpin negara Arab lainnya. Lewat inisiatif itu, negara-negara Arab setuju berdamai dengan Israel. Syaratnya, Israel keluar dari daerah-daerah yang didudukinya sejak 1967 dan Jerusalem Timur menjadi ibu kota Palestina.
Namun, pada 13 Agustus lalu, Uni Emirat Arab (UEA) menjadi negara Arab pertama dalam lebih dari 20 tahun terakhir yang menjalin kesepakatan hubungan diplomatik dengan Israel. Kesepakatan tersebut dinilai banyak kalangan lebih sebagai cermin kekhawatiran bersama atas meluasnya pengaruh Iran di kawasan.
Palestina melunak
Dalam pernyataan di Liga Arab mengenai normalisasi hubungan UEA-Israel, Menlu Palestina Riyad al-Maliki menyebut normalisasi hubungan UEA-Israel sebagai sebuah kejutan dan guncangan yang menghantam konsensus negara-negara Arab atas dorongan terbentuknya negara Palestina merdeka. Pernyataan ini lebih lunak dari komentar-komentar sebelumnya oleh Palestina.
Maliki menghindari penggunaan kata-kata ”pengkhianatan” selama mengemukakan pandangan Otoritas Palestina terhadap normalisasi hubungan UEA-Israel itu. Dia baru menggunakan bahasa lebih keras terhadap Israel dengan menyebut negara itu telah menjajah rakyat Palestina hingga melakukan tindakan rasis terhadap mereka.
Kepada Pemerintah AS, Maliki menuding bahwa pemerintahan Donald Trump melakukan pemerasan, tekanan, dan penyerangan terhadap Palestina dan negara-negara Arab. Ia juga menyuarakan kekecewaan pemerintah dan rakyat Palestina terhadap tiadanya konsensus di kalangan negara-negara Arab saat Palestina meminta agar digelar konferensi tingkat tinggi luar biasa untuk membahas normalisasi hubungan UEA-Israel.
Maliki menyerukan penolakan bersama oleh negara-negara anggota Liga Arab terhadap normalisasi UEA-Israel sebelum upacara penandatanganan kesepakatan damai dua negara itu digelar di Washington DC, 15 September mendatang.
Delegasi Pemerintah Israel akan dipimpin langsung oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dalam penandatanganan perjanjian normalisasi itu. Sementara dari UEA, delegasi akan dipimpin oleh Menlu Sheikh Abdullah bin Zayed Al Nahyan. Upacara penandatanganan normalisasi itu sendiri direncanakan akan berlangsung di halaman selatan Taman Mawar, Gedung Putih. Namun, kondisi cuaca terakhir akan ikut menentukan lokasi penandatanganan tersebut.
Netanyahu tampaknya telah mempersiapkan diri untuk peristiwa yang dalam pandangannya merupakan sebuah peristiwa bersejarah: perdamaian Israel dan negara Arab. Melalui akun Twitter-nya, dia menyatakan kebanggaannya bisa hadir memenuhi undangan Presiden Donald Trump dan berpartisipasi dalam upacara bersejarah di Gedung Putih: penandatanganan kesepakatan normalisasi hubungan dengan UEA.
Kantor berita WAM milik Pemerintah UEA mengonfirmasi soal delegasi negara itu. Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan, penguasa sehari-hari UEA, tidak akan hadir.
Bujuk negara lain
Penolakan dari sejumlah negara Arab untuk mengikuti jejak UEA dalam menormalisasi hubungan dengan Israel, yang dilakukan oleh Arab Saudi dan Bahrain, tidak menghentikan agresivitas Pemerintah AS dan Israel untuk menawarkan normalisasi hubungan dengan Israel ke negara lain. Pemerintah Chad kini tengah didekati untuk membahas kemungkinan pembukaan kedutaan besar di Jerusalem.
Upaya pendekatan itu disampaikan langsung Netanyahu, Selasa (8/9/2020), seusai bertemu delegasi Chad yang dipimpin Abdelkerim Idriss Deby, putra Presiden Chad Idriss Deby Itno.
”Kami membahas penunjukan duta besar dan pembukaan misi diplomatik, termasuk kemungkinan membuka kedutaan besar di Jerusalem,” cuit Netanyahu via Twitter.
Netanyahu mengumumkan pembaruan hubungan dengan Chad ketika berkunjung ke wilayah Afrika tengah tahun lalu. Chad, salah satu negara termiskin di dunia, bukan anggota Liga Arab. Namun, negara itu merupakan anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), organisasi yang mendukung pembentukan negara Palestina merdeka.
Netanyahu telah berusaha untuk menormalkan hubungan negara Yahudi itu dengan negara-negara Arab dan Muslim serta mendorong pengakuan internasional yang lebih besar atas Jerusalem.
Kedatangan delegasi Chad ke Jerussalem menyusul kedatangan delegasi Pemerintah Serbia yang memutuskan memindahkan kedutaannya dari Tel Aviv ke Jerusalem. Serbia menjadi negara Eropa pertama yang mengikuti AS dalam melakukan langkah tersebut. (AP/REUTERS/AFP/SAM)