Iran dan Eropa Berupaya Selamatkan Perjanjian Nuklir 2015
Pemerintah Iran bersama sejumlah negara di Benua Eropa berupaya keras menyelamatkan kesepakatan nuklir dengan Teheran. Hal itu berhadapan dengan posisi politik Amerika Serikat.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
BERLIN, SELASA — Pemerintah Iran bersama sejumlah negara di Benua Eropa berupaya keras menyelamatkan kesepakatan nuklir dengan Teheran. Langkah itu berseberangan dengan sikap politik Amerika Serikat yang justru menginginkan tekanan lebih kuat pada Iran. Tekad Teheran bersama Perancis, Jerman, Inggris, dan Rusia itu dibicarakan dalam sebuah pertemuan yang digelar di Vienna, Austria, pada Selasa (1/9/2020) kemarin.
Helga Schmid, perwakilan Uni Eropa yang memimpin pertemuan, melalui akun Twitter miliknya, mengatakan, ”Para peserta bersatu dalam tekad untuk melestarikan #IranDeal dan menemukan cara memastikan implementasi penuh dari perjanjian tersebut meskipun ada tantangan saat ini,” kata Schmid. Tidak ada komentar langsung dari perwakilan Iran, Abbas Araghchi, seusai pertemuan. Namun, menjelang pertemuan, ia mengatakan langkah Washington menjadi topik penting pembicaraan itu. Perwakilan China juga ikut dalam pertemuan itu.
Sebagaimana diwartakan, Presiden Donald Trump menarik AS keluar dari apa yang disebut Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) atas Iran secara sepihak pada 2018. Kala itu Trump mengatakan kesepakatan tentang program nuklir Iran itu sebagai sesuatu yang buruk dan perlu dinegosiasikan ulang. Kesepakatan itu menjanjikan insentif ekonomi Iran sebagai imbalan atas pembatasan program nuklirnya.
Dengan pemberlakuan kembali sanksi oleh AS, maka negara-negara lain pun berjibaku memberi bantuan pada Iran. Namun, masalah itu semakin runcing setelah Washington baru-baru ini mengumumkan memulai proses 30 hari untuk memulihkan hampir semua sanksi PBB terhadap Iran.
Washington menerapkan mekanisme ”snapback” yang merupakan bagian dari perjanjian JCPOA. Washington mengklaim masih memiliki hak itu sekalipun negara itu telah meninggalkan kesepakatan.
Penandatangan lain perjanjian JCPOA telah menolak argumen itu. Kondisi itu pun berpeluang menimbulkan krisis di Dewan Keamanan PBB. Washington mengklaim telah memberlakukan kembali sanksi, sementara sebagian besar negara di dunia mengatakan tindakan pemerintahan Trump itu adalah tindakan ilegal dan harus diabaikan.
Indonesia—sebagai Ketua DK PBB pada Agustus 2020—bersama 12 negara anggota menolak memberlakukan pembalikan sanksi terhadap Iran. Sekutu AS di DK PBB, yakni Inggris, Perancis, dan Jerman, juga ikut menolak usulan AS. Hanya AS dan Dominika yang sepakat dengan perpanjangan embargo. Penolakan itu membuat DK PBB gagal mencapai konsensus sehingga tidak bisa bertindak lebih jauh.
Indonesia—sebagai Ketua DK PBB pada Agustus 2020—bersama 12 negara anggota menolak memberlakukan pembalikan sanksi terhadap Iran. Sekutu AS di DK PBB, yakni Inggris, Perancis, dan Jerman, juga ikut menolak usulan AS.
Duta Besar Nigeria untuk PBB, Abdou Abarry, yang mengambil alih kursi kepemimpinan di DK PBB secara bergilir pada bulan ini, mengatakan belum ada perubahan sikap dari DK PBB. Perwakilan China, Fu Cong, mengatakan kepada wartawan setelah pertemuan Vienna, semua negara anggota DK PBB sepakat bahwa AS tidak lagi memiliki ”dasar hukum atau kedudukan hukum untuk memicu snapback”.
Dalam pandangan China, Washington menggunakan opsi untuk ”mencoba menyabotase atau bahkan membunuh JCPOA”. Sikap Washington diperkirakan tergantung juga dengan hasil pemilihan presiden AS pada awal November mendatang. ”AS, meskipun adidaya, hanyalah satu negara,” kata Fu. ”Jadi, negara lain sedang bergerak.”
Delegasi Rusia untuk JCPOA, Mikhail Ulyanov, juga menyinggung AS menjelang pertemuan tersebut. Dalam cuitannya, ia mengatakan pertemuan itu melibatkan semua pihak yang sepakat dengan isi kesepakatan nuklir Iran itu. Setelah pertemuan, Ulyanov mengatakan, pertemuan tersebut menunjukkan para pesertanya berkomitmen penuh pada kesepakatan nuklir dan bertekad untuk melakukan yang terbaik untuk melestarikannya.
Tujuan akhir dari kesepakatan itu adalah untuk mencegah Iran mengembangkan bom nuklir, sesuatu yang menurut Teheran tidak ingin dilakukan. Namun, sejak penarikan AS dari kesepakatan itu, Iran diduga terus-menerus melanggar pembatasan jumlah hingga tingkat kemurnian uranium, sesuatu yang dinilai dapat membuka peluang pengembangan nuklir negara itu. Itu semua dinilai menjadi strategi Teheran untuk meminta insentif ekonomi lebih banyak daripada negara-negara maju.
Mereka yang bekerja untuk menyelamatkan kesepakatan juga mencatat bahwa meskipun ada pelanggaran, Iran terus mengizinkan pengawas dari Badan Energi Atom Internasional (IAEA) untuk mengakses semua situs di negara itu.
Minggu lalu, Iran setuju untuk mengizinkan pengawas IAEA ke dua lokasi di mana negara itu dicurigai telah menyimpan atau menggunakan bahan nuklir yang tidak diumumkan pada awal tahun 2000-an. Iran sebelumnya telah berkeras bahwa badan tersebut tidak memiliki hak untuk memeriksa situs tersebut. Sebab, instalasi itu telah ada sejak sebelum JCPOA berlaku.
Araghchi mengatakan rincian mengenai hal ini telah diberikan kepada IAEA dan menolak berkomentar lebih lanjut. ”Kami benar-benar transparan dalam program nuklir kami. Badan itu selalu mendapat informasi dan sekarang mendapat informasi tentang setiap detail program kami, setiap pergerakan dalam peralatan kami,” katanya.
Berdasarkan penilaian IAEA, yang diterbitkan pada Juni, persediaan uranium yang diperkaya Iran hampir delapan kali lipat dari batas yang ditetapkan dalam perjanjian. Tingkat pengayaannya masih jauh di bawah yang dibutuhkan untuk senjata nuklir. (AP/AFP)