Di masa kepemimpinannya, Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengembangkan paket reformasi yang bertujuan menyelesaikan permasalahan struktural perekonomian Jepang. Kebijakan itu kerap disebut sebagai ”Abenomics”.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
Ketika Shinzo Abe menjabat Perdana Menteri Jepang pada tahun 2012, dia berjanji untuk menghidupkan kembali ekonomi negara dengan kebijakan yang kemudian dijuluki ”Abenomics”. Shinzo Abe mengembangkan paket reformasi yang bertujuan menyelesaikan permasalahan struktural perekonomian Jepang, khususnya masalah deflasi, rasio utang dalam negeri terhadap produk domestik bruto yang besar, pertumbuhan ekonomi negatif, hingga daya saing global yang lemah.
Ada tiga hal pokok dalam paket reformasi ekonomi ala Shinzo Abe, yang dikenal sebagai ”tiga panah”, yaitu monetary easing policy, termasuk di dalamnya penurunan angka inflasi menjadi hanya 2 persen; stimulus ekonomi dalam bentuk belanja pemerintah besar-besaran; dan reformasi struktural.
Setelah kembali ke kursi kekuasaan pada tahun 2012, Abe membuat kesepakatan dengan Bank of Japan untuk menerapkan kebijakan pelonggaran moneter yang belum pernah terjadi sebelumnya. Tujuannya mengurangi biaya pinjaman, merangsang aktivitas bisnis dan konsumsi pribadi, dan mendorong inflasi hingga 2 persen untuk mengakhiri deflasi yang menghantui ekonomi Jepang sejak 1990-an.
Kebijakan Bank of Japan membantu memperkuat daya saing eksportir Jepang dengan melemahkan yen, tetapi target inflasi tetap berada di luar jangkauan. Perekonomian Jepang secara bertahap pulih dan harga perlahan-lahan meningkat, tetapi masih jauh dari harapan. Program stimulus oleh bank sentral berhasil membantu bisnis bergerak serta menguatkan nilai tukar yen serta memberikan keuntungan tak terduga bagi eksportir yang menetes ke upah dan pekerjaan baru.
Panah kedua adalah stimulus dalam bentuk belanja pemerintah.
Ratusan miliar dollar dikucurkan oleh bank sentral Jepang sejak 2013, terutama untuk modernisasi infrastruktur di seluruh negeri. Beberapa di antaranya untuk Olimpiade Tokyo 2020, yang akhirnya diundur karena pandemi Covid-19.
Pengeluaran tersebut meningkatkan pendapatan dan investasi untuk bisnis, merangsang pasar keuangan dan real estat dan membantu mendukung pertumbuhan negara selama beberapa tahun. Akan tetapi, ekonomi Jepang sempat beberapa kali tergelincir: PDB berkontraksi antara 2014-2015 dan resesi di tahun 2020, bahkan sebelum pandemi Covid-19.
Sebuah panel ahli ekonomi Jepang di akhir Juli menyatakan bahwa negara ini memasuki masa resesi, bahkan sejak akhir 2018 setelah menikmati perbaikan ekonomi selama tujuh tahun terakhir di bawah Abe dan Abenomics.
Dengan populasi yang menua dan lebih cenderung menabung daripada menghabiskan, konsumsi tetap rendah. Dua kali kenaikan pajak konsumsi, tahun 2014 dan 2019, juga telah memukul tingkat pengeluaran.
Para ekonom sempat memperingatkan bahwa kenaikan pajak akan membuat kemunduran ekonomi. Tetapi, pemerintah bergeming karena rasio utang terhadap PDB Jepang salah satu yang tertinggi di dunia.
Dua panah pertama Abenomics tidak dapat bekerja tanpa yang ketiga dijanjikan oleh perdana menteri: reformasi struktural. Penguatan daya saing ekonomi, kendala dalam pencarian sumber energi baru, dan pemanfaatan berbagai platform inovasi disertai perbaikan regulasi dalam kerja-kerja pemerintahan adalah garis besar reformasi struktural yang diinginkan oleh Abe.
Yang menonjol dari reformasi struktural ini adalah masalah sumber daya manusia. Ada beberapa titik terang, termasuk peningkatan jumlah wanita dan orangtua di tempat kerja, dan beberapa pelonggaran kebijakan imigrasi yang ketat di negara itu, yang dapat membantu mengatasi kekurangan tenaga kerja kronis.
Tetapi, banyak rencana reformasi ”tidak cukup berani untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja,” kata Sayuri Shirai, profesor kebijakan publik Fakultas Manajemen Kebijakan Universitas Keiko, yang juga mantan anggota Dewan Kebijakan Bank of Japan. (AFP/Reuters)